Jakarta (ANTARA News) - Tokoh rakyat Papua, Nicolaas Jouwe, menegaskan para serdadu atau opsir Belanda membentuk Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1965 untuk memusuhi Indonesia dan mengganggu keamanan di wilayah paling timur NKRI itu.
"Saya adalah ketua National Liberation Council of West Papua (Dewan Pembebasan Nasional Papua Barat). Saya bukan OPM. OPM itu justru didirikan opsir-opsir Belanda pada 1965 bersamaan dengan pecahnya G-30 S PKI," katanya di Jakarta Senin.
Ditemui di sela acara santap siang yang diselenggarakan Antara bagi Wartawan Stasiun TV SBS Australia, Mark Davis, kemudian Nicolaas mengatakan para serdadu atau opsir Belanda tersebut melatih anak-anak muda Papua menjadi sukarelawan untuk melawan Indonesia.
"Anak-anak muda Papua itu pun kemudian disuruh tentara Belanda untuk membentuk OPM," kata perancang Bendera Bintang Kejora kelahiran Jayapura pada 24 November 1923 ini.
Canggung
Dalam bagian lain penjelasannya, Nicolaas juga menyinggung tentang kondisi Papua setelah lebih dari 50 tahun bersama NKRI sejak PBB (UNTEA) menyerahkan pemerintahan Irian Barat kepada Indonesia pada 1 Mei 1963.
Menurut dia, rakyat Papua masih harus membiasakan dirinya sebagai bagian dari warga negara Indonesia.
"Mereka masih canggung dan sedikit asing," katanya.
Namun kondisi tersebut tidak dapat dilepaskan dari perlakuan Belanda yang mengisolasi dan melarang rakyat Papua untuk bersekolah sejak negeri itu menjajah Tanah Papua pada 1828 hingga Soekarno dan Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
"Selama 117 tahun itu, kami (rakyat Papua) praktis hidup di zaman batu," katanya.
Obsesi perjuangan Nicolaas Jouwe bagi kemajuan rakyatnya di Tanah Papua telah pun tertuang dalam buku berjudul "Nicolaas Jouwe Back to Indonesia: Step, Thought and Desire" (2014).
Dalam buku itu, tokoh yang pernah berseberangan dengan Indonesia ini mengatakan kembalinya dirinya ke NKRI ditandai dengan kunjungannya ke Jayapura pada 2009 setelah puluhan tahun menetap di Belanda dimaksudkan untuk "membantu rakyat Papua maju".
Selama di Indonesia, Mark Davis, jurnalis kawakan Stasiun TV SBS Australia, melakukan peliputan investigatif di Jayapura pada 6 - 11 Mei.
"Saya adalah ketua National Liberation Council of West Papua (Dewan Pembebasan Nasional Papua Barat). Saya bukan OPM. OPM itu justru didirikan opsir-opsir Belanda pada 1965 bersamaan dengan pecahnya G-30 S PKI," katanya di Jakarta Senin.
Ditemui di sela acara santap siang yang diselenggarakan Antara bagi Wartawan Stasiun TV SBS Australia, Mark Davis, kemudian Nicolaas mengatakan para serdadu atau opsir Belanda tersebut melatih anak-anak muda Papua menjadi sukarelawan untuk melawan Indonesia.
"Anak-anak muda Papua itu pun kemudian disuruh tentara Belanda untuk membentuk OPM," kata perancang Bendera Bintang Kejora kelahiran Jayapura pada 24 November 1923 ini.
Canggung
Dalam bagian lain penjelasannya, Nicolaas juga menyinggung tentang kondisi Papua setelah lebih dari 50 tahun bersama NKRI sejak PBB (UNTEA) menyerahkan pemerintahan Irian Barat kepada Indonesia pada 1 Mei 1963.
Menurut dia, rakyat Papua masih harus membiasakan dirinya sebagai bagian dari warga negara Indonesia.
"Mereka masih canggung dan sedikit asing," katanya.
Namun kondisi tersebut tidak dapat dilepaskan dari perlakuan Belanda yang mengisolasi dan melarang rakyat Papua untuk bersekolah sejak negeri itu menjajah Tanah Papua pada 1828 hingga Soekarno dan Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
"Selama 117 tahun itu, kami (rakyat Papua) praktis hidup di zaman batu," katanya.
Obsesi perjuangan Nicolaas Jouwe bagi kemajuan rakyatnya di Tanah Papua telah pun tertuang dalam buku berjudul "Nicolaas Jouwe Back to Indonesia: Step, Thought and Desire" (2014).
Dalam buku itu, tokoh yang pernah berseberangan dengan Indonesia ini mengatakan kembalinya dirinya ke NKRI ditandai dengan kunjungannya ke Jayapura pada 2009 setelah puluhan tahun menetap di Belanda dimaksudkan untuk "membantu rakyat Papua maju".
Selama di Indonesia, Mark Davis, jurnalis kawakan Stasiun TV SBS Australia, melakukan peliputan investigatif di Jayapura pada 6 - 11 Mei.