Secara global, jumlah kekayaan dunia yang tersimpan dalam rekening yurisdiksi "tax haven" (bebas pajak) di berbagai penjuru jagat raya diperkirakan mencapai sekitar 7,6 triliun dolar AS (setara Rp102.600 triliun).

Hal terungkap dalam investigasi jurnalis Guardian, Luke Harding, yang mengambil data tersebut berdasarkan ahli ekonomi asal Amerika Serikat, Gabriel Zucman.

Dalam jumlah tersebut, tulis Harding, Zucman juga memperkirakan bahwa kehilangan potensi penerimaan pajak yang bisa diterima negara-negara secara global mencapai 200 miliar dolar AS (setara Rp12.700 triliun) per tahun.

Bila jumlah negara dan yurisdiksi yang ada di tingkat internasional tercatat sekitar 200 negara, maka setiap negara diperkirakan secara kasar kehilangan potensi pajak lebih dari Rp60 triliun per tahun.

Besarnya jumlah potensi pajak yang raib itu bila dapat ditarik sebenarnya bisa dimanfaatkan setiap negara dalam melakukan pembangunan di negerinya sendiri (yang bermanfaat tidak hanya bagi kalangan kaya, tetapi juga kelas menengah hingga bawah dalam suatu negara).

Karena itulah, penyingkapan "Panama Papers" atau Dokumen Panaman yang mengguncang sektor perekonomian internasional juga merupakan hal yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Khususnya bagi Republik Indonesia, yang saat ini juga sedang menggencarkan penerimaan pajak terutama dalam rangka membiayai beragam proyek infrastruktur di berbagai daerah di Tanah Air.

Koalisi lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Forum Pajak Berkeadilan juga menyatakan bahwa fenomena terungkapnya banyak individu dan perusahaan yang diduga terkait upaya penghindaran pajak dalam "Panama Papers" sebenarnya merupakan momentum untuk membasmi praktik penghindaran pajak di Indonesia.

"Panama Papers menunjukkan bahwa dunia sudah berada di era darurat kejahatan pajak. Hal ini harus menjadi momentum bagi Pemerintah Indonesia untuk segera membasmi praktik penghindaran pajak, pengelakan pajak dan praktik pencucian uang oleh wajib pajak Indonesia, baik perorangan maupun badan hukum," kata Koordinator Forum Pajak Berkeadilan, Ah Maftuchan, dalam rilis, Kamis (7/4).

Forum Pajak Berkeadilan terdiri atas Perkumpulan Prakarsa, Seknas PWYP Indonesia, International NGO for Indonesia Development (Infid), Transparency International Indonesia (TII), Asppuk, The Habibie Center, ICW (Indonesia Corruption Watch), IGJ (Indonesia for Global Justice), IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice), ILR (Indonesian Legal Roundtable), P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Yappika dan YLKI (Yayasan Layanan Konsumen Indonesia).

Menurut Ah Maftuchan, dengan banyaknya pengusaha dan elite Indonesia yang masuk dalam daftar yang ada di Dokumen Panama, hal tersebut dinilai mengonfirmasi bahwa praktik-praktif kotor dalam menghindari dan mengelak pajak telah menjadi ancaman serius bagi Indonesia.

Ah Maftuchan yang juga menjabat sebagai merupakan Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa berpendapat, ancaman serius itu karena dapat mengurangi mobilisasi penerimaan pajak untuk pembiayaan pembangunan di berbagai daerah, serta menunjukkan besarnya potensi penerimaan pajak Indonesia yang menguap.

Ia mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera membentuk Gugus Kerja Anti-Mafia Kejahatan Pajak yang berisi gabungan antara lembaga pemerintah dan nonpemerintah yang kredibel. "Gugus Tugas bekerja untuk mengusut daftar nama yang masuk Panama Papers dan negara surga pajak lainnya," usulnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo berjanji segera mengumumkan hasil kajian pemerintah terkait informasi nama-nama orang Indonesia dalam dokumen milik firma hukum asal Panama Mossack Fonseca yang bocor atau yang dikenal sebagai "Panama Papers".

"Nanti akan saya sampaikan kalau sudah final semuanya," kata Presiden Jokowi di Halmahera Utara, Rabu (6/4).

Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui beberapa nama WNI yang tercantum dalam "Panama Papers", mirip dengan beberapa nama dalam data yang dimiliki DJP untuk menilai aset para wajib pajak di luar negeri.

"Dari pengamatan sepintas, yang sama memang lumayan banyak (dengan data yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak/DJP). Tapi persentasenya kecil," katanya di Jakarta, Jumat (8/4).

Bambang mengatakan sangat wajar apabila WNI memiliki perusahaan bayangan di yuridiksi bebas pajak (offshore) untuk mengembangkan usaha di luar negeri, asalkan perusahaan itu tidak digunakan untuk menghindar dari kewajiban perpajakan.

Untuk itu, Bambang memastikan DJP akan mengecek kembali validitas dari laporan investigasi mengenai dugaan kejahatan penghindaran pajak itu, terutama nama-nama para wajib pajak yang diduga mempunyai aset besar di luar negeri.

"Kita hanya tertarik pada nama-nama di 'Panama Papers' yang diyakini kuat mempunyai rekening di luar negeri, karena itu menjadi sumber yang bagus untuk 'tax amnesty'," ujarnya.

Ia menegaskan data terkait dugaan korupsi dan kejahatan pajak yang telah dipublikasikan secara global itu merupakan pelengkap dari data milik DJP yang berasal dari otoritas pajak resmi negara-negara yang tergabung dalam forum G20.

Sedangkan terkait pembahasan RUU Pengampunan Pajak, Bambang mengharapkan semua fraksi di DPR bisa menyepakati semua poin-poin dalam aturan hukum tersebut, agar kebijakan repatriasi dana di luar negeri ini dapat segera diimplementasikan.

Namun di lain pihak, Forum Pajak Berkeadilan meminta kepada pemerintah untuk membatalkan rencana "tax amnesty" atau pengampunan pajak yang dinilai bakal tidak optimal dalam meningkatkan penerimaan pajak.

"Batalkan rencana pemberian pengampunan pajak kepada wajib pajak super kaya karena akan kontraproduktif terhadap upaya optimalisasi penerimaan pajak," ucap Ah Maftuchan.

Menurut dia, pengampunan pajak akan menjadi langkah mundur penegakan hukum perpajakan dan pencucian uang, serta akan melemahkan wibawa pemerintah di hadapan orang super kaya dan korporasi.

Kemudian, lanjutnya, pengampunan pajak juga dinilai akan melukai wajib pajak kecil-menengah yang selama ini patuh bayar pajak.

Presiden Joko Widodo menegaskan pemerintah tidak akan hanya bergantung kepada pengampunan pajak atau "tax amnesty" untuk mendapat tambahan penerimaan bagi pembangunan negara.

"Ada atau tidak ada 'tax amnesty', kita sudah membuat kalkulasi kalkulasi. Tidak ada ketergantungan kepada 'tax amnesty'," kata Jokowi ditemui usai memberi pengarahan dalam Rapimnas III Ditjen Pajak di Jakarta, Selasa (29/3).

Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan dalam pengarahan kepada sejumlah kepala kanwil dinas perpajakan, Presiden meminta target penerimaan pajak sebesar Rp1.360 triliun dapat tercapai baik dengan maupun tanpa "tax amnesty".                                                                      
                                                                   
                                                                                  Tata ulang
Selain itu, Indonesia juga dinilai perlu mempelopori penataan ulang terhadap sistem keuangan dan ekonomi global yang diwarnai banyak ketimpangan dari terindikasi terungkapnya "Panama Papers" tentang individu terkait perusahaan penghindar pajak di luar negeri.

"Sistem ekonomi harus segera dilakukan penataan ulang. Indonesia perlu mempelopori perubahan tata kelola keuangan global," kata Program Manager International NGO for Indonesia Developmet (Infid) Khoirun Nikmah.

Menurut Khoirun Nikmah, tata kelola keuangan global yang perlu diubah antara lain terkait sistem perpajakan, serta penghentian rezim kerahasiaan data perpajakan dan perbankan.

Selain itu, ujar dia, perubahan tata kelola itu juga harus mencakup soal pertukaran informasi antarnegara dan penguatan hukum, administrasi dan kelembagaan perpajakan.

"Presiden Jokowi dapat menggunakan forum G-20 sebagai ruang untuk mendesakkan agenda-agenda tersebut," imbuhnya.

Ia juga menyatakan Presiden juga dapat mengusulkan pembentukan Badan Perpajakan Dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko mengungkapkan, potensi pajak yang menguap dari Indonesia karena praktik pelarian uang haram tiap tahun diprediksi jumlahnya hampir Rp200 triliun setiap tahunnya.

"Tingginya aliran uang haram dari Indonesia diakibatkan rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak yaitu kelompok kaya, superkaya dan korporasi, tingginya prevalensi korupsi pajak, praktik penggelapan dan penghindaran pajak dengan metode perekayaan keuangan yang rumit, rendahnya kinerja otoritas pajak Indonesia," kata Dadang Trisasongko.

Sedangkan Koordinator Nasional LSM Publish What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah mengungkapkan, di tengah rendahnya rasio pajak sektor pertambangan yang hanya mencapai 9,4 persen mengindikasikan masih maraknya praktik penghindaran dan pengemplangan pajak di sektor tersebut.

Secara hukum memang bukanlah merupakan hal ilegal mendirikan perusahaan di luar negeri. Namun, bila orang-orang yang memiliki banyak harta terus diizinkan untuk melakukan hal itu dengan niat menghindari pajak, tidak pelak tingkat ketimpangan atau kesenjangan pendapatan akan makin melebar, dan dapat memicu konflik sosial.

Karena itu, wajar bila negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, mulai melakukan penyelidikan terhadap nama-nama yang tercatat dalam "Panama Papers". (*)


Pewarta : Muhammad Razi Rahman
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024