Sosok pahlawan nasional asal Biak Frans Kaisiepo dapat menjadi panutan bagi masyarakat Papua karena integritas perjuangannya mengangkat derajat kesejahteraan orang asli Papua ke dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terus digelorakan hingga akhir hayat.
Kesetian, kejujuran, dan komitmen Frans Kaisiepo itu diteguhkan kembali lewat Maria Magdalena (75), istri sang pahlawan nasional Frans Kaisiepo, saat berada di Biak terkait dengan penetapan gambar almarhum pada uang kertas baru NKRI emisi tahun 2016.
Maria Magdalena mengatakan bahwa pahlawan nasional Frans Kaisiepo selama hidupnya menjabat Gubernur Irian Barat (kini Papua) terkenal dengan sikap anti-Belanda yang kuat.
Data sejarah Frans Kaisiepo semasa hidup, kenang Maria, telah meminta anaknya, Markus Kaisiepo, ketika itu untuk mengganti papan nama sekolah yang bertuliskan Papua Bestuurschool menjadi Irian Bestuurschool.
Bagi mantan anggota Hakim Tertinggi DPA ini, nama Irian mencerminkan sikap hidup dan semangat persatuan untuk menolak kehadiran Belanda yang berusaha berkuasa kembali pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI.
Sejak muda, Kaisiepo telah dikenal sebagai aktivis gerakan kemerdekaan Republik Indonesia di wilayah Irian (sekarang kembali bernama Papua).
Ketika pemerintah Belanda menangkap Silas Papare, pendiri Partai Kemerdekaan Irian Indonesia (PKII), bersama beberapa aktivis pro-Republik setelah mengibarkan bendera Merah Putih pada tanggal 17 Agustus 1947, Kaisiepo dan Johan Ariks memutuskan untuk meneruskan perjuangan rekan mereka menyatukan wilayah Irian ke pangkuan Indonesia.
Pada masa perjuangan, 3 hari menjelang Proklamasi, tepatnya 14 Agustus 1945, Kaisiepo dan beberapa rekan seperjuangannya memperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya di Kampung Harapan Jayapura.
Bahkan, beberapa hari sesudah Proklamasi (31 Agustus 1945), Kaisiepo dan rekan-rekannya melaksanakan upacara dengan pengibaran bendera Merah Putih dan nyanyian lagu kebangsaan.
Pada tanggal 10 Juli 1946, pahlawan Trikora ini mendirikan Partai Indonesia Merdeka yang diketuai Lukas Rumkofen. Pada bulan yang sama, Kaisiepo juga berangkat ke Sulawesi utara sebagai salah satu anggota Delegasi RI dalam Konferensi Malino 1946.
Frans Kaisiepo tercatat sebagai satu-satunya putra Irian yang hadir dalam salah satu perundingan paling penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia tersebut.
Dalam Konferensi yang sama juga nama Irian diusulkan Frans Kaisiepo untuk mengganti nama Papua sekaligus menyatakan penolakan atas skenario usulan pembentukan Negara Indonesia Timur.
Selang 2 tahun setelah Konferensi, gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pecah di Biak, Irian dengan Kaisiepo tercatat sebagai salah satu penggerak insiden tersebut.
Setahun berikutnya (1949), putra Irian sejati ini menolak penunjukan dirinya sebagai wakil Belanda untuk wilayah Nugini dalam Konferensi Meja Bundar di Nederland, Belanda berdasar alasan tidak mau didikte oleh Belanda.
Atas sikap penolakan itu, Frans Kaisiepo harus menerima kenyataan disekap sebagai tahanan politik mulai 1954 hingga 1961.
Pascapenahanan, Kaisiepo mendirikan Partai Politik Irian pada tahun 1971 yang bertujuan utama menggabungkan wilayah Nugini sebagai bagian NKRI. Pada masa-masa inilah salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah RI pecah dengan dimulainya Trikora (Tiga Komando Rakyat) oleh Presiden RI Soekarno pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta.
Frans Kaisiepo juga sering melindungi para sukarelawan yang diam-diam melakukan infiltrasi ke wilayah Irian Barat tersebut.
Hasil utama Trikora adalah Perjanjian New York pada tanggal 15 Agustus 1963 yang memaksa Belanda menyerahkan kekuasaan politis atas Irian Barat ke tangan Indonesia.
Melalui pengawasan PBB, pemerintah RI berhak atas pengembangan wilayah Irian mulai 1963 hingga 1969 sebelum rakyat Papua memutuskan untuk terus bergabung atau lepas dari tangan Indonesia.
Kaisiepo sendiri terus berjuang menyatukaan Irian dengan RI sesuai dengan impiannya sejak awal. Pada tahun 1969, impian ini terbayar dengan masuknya Irian sebagai propinsi paling muda di Indonesia (saat itu).
Pada tahun 1972, Kaisiepo dilantik sebagai salah satu anggota MPR RI sebelum akhirnya menjabat anggota Hakim Tertinggi Dewan Pertimbangan Agung sejak 1973 hingga 1979.
Berdasar Keputusan Presiden Nomor 077/TK/1993, nama Frans Kaisiepo selanjutnya dikenang sebagai satu dari deretan pahlawan nasional Indonesia disertai penganugrahan Bintang Mahaputra Adipradana Kelas Dua.
Frans Kaisiepo pria kelahiran Wardo, 10 Oktober 1921, wafat pada tanggal 10 April 1979 dalam usia 57 tahun. Sebagai salah satu putra terbaik Irian, beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih di Distrik Biak Kota.
Di samping anugrah Trikora, nama Frans Kaisiepo juga telah diabadikan menjadi bandar udara di Biak, nama kapal perang TNI AL, diabadikan dalam mata uang kerta pecahan Rp10 ribu emisi terbaru pada tanggal 19 Desember 2016 serta diabadikan Pemerintah Kabupaten Biak Numfor dengan membangun Taman Frans Kaisiepo di kawasan bandara.
Istri almarhum, Maria Magdalena Kaisiepo, berharap perjuangan Frans Kaiseipo bisa diteladani kalangan generasi muda Papua untuk meningkatkan hasil pembangunan di wilayah timur Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Bapak sudah hidup tenang di surga karena harapan cita-citanya untuk membangun pendidikan orang asli Papua telah direaliasikan Pemerintah Provinsi Papua saat ini," ujarnya.
Pada kenyataan sekarang, lanjut Maria, bisa lihat di berbagai kabupaten/kota, pemimpinnnya orang asli Papua serta pendidikan orang Papua sudah meningkat dari sarjana, magister, hingga pendidikan doktor (S-3).
"Perjuangan almarhum Frans Kaisiepo tidak mengangkat senjata, tetapi berjuang untuk menyejahterakan orang asli Papua," ucap istri Frans Kaisiepo. (*)
Kesetian, kejujuran, dan komitmen Frans Kaisiepo itu diteguhkan kembali lewat Maria Magdalena (75), istri sang pahlawan nasional Frans Kaisiepo, saat berada di Biak terkait dengan penetapan gambar almarhum pada uang kertas baru NKRI emisi tahun 2016.
Maria Magdalena mengatakan bahwa pahlawan nasional Frans Kaisiepo selama hidupnya menjabat Gubernur Irian Barat (kini Papua) terkenal dengan sikap anti-Belanda yang kuat.
Data sejarah Frans Kaisiepo semasa hidup, kenang Maria, telah meminta anaknya, Markus Kaisiepo, ketika itu untuk mengganti papan nama sekolah yang bertuliskan Papua Bestuurschool menjadi Irian Bestuurschool.
Bagi mantan anggota Hakim Tertinggi DPA ini, nama Irian mencerminkan sikap hidup dan semangat persatuan untuk menolak kehadiran Belanda yang berusaha berkuasa kembali pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI.
Sejak muda, Kaisiepo telah dikenal sebagai aktivis gerakan kemerdekaan Republik Indonesia di wilayah Irian (sekarang kembali bernama Papua).
Ketika pemerintah Belanda menangkap Silas Papare, pendiri Partai Kemerdekaan Irian Indonesia (PKII), bersama beberapa aktivis pro-Republik setelah mengibarkan bendera Merah Putih pada tanggal 17 Agustus 1947, Kaisiepo dan Johan Ariks memutuskan untuk meneruskan perjuangan rekan mereka menyatukan wilayah Irian ke pangkuan Indonesia.
Pada masa perjuangan, 3 hari menjelang Proklamasi, tepatnya 14 Agustus 1945, Kaisiepo dan beberapa rekan seperjuangannya memperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya di Kampung Harapan Jayapura.
Bahkan, beberapa hari sesudah Proklamasi (31 Agustus 1945), Kaisiepo dan rekan-rekannya melaksanakan upacara dengan pengibaran bendera Merah Putih dan nyanyian lagu kebangsaan.
Pada tanggal 10 Juli 1946, pahlawan Trikora ini mendirikan Partai Indonesia Merdeka yang diketuai Lukas Rumkofen. Pada bulan yang sama, Kaisiepo juga berangkat ke Sulawesi utara sebagai salah satu anggota Delegasi RI dalam Konferensi Malino 1946.
Frans Kaisiepo tercatat sebagai satu-satunya putra Irian yang hadir dalam salah satu perundingan paling penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia tersebut.
Dalam Konferensi yang sama juga nama Irian diusulkan Frans Kaisiepo untuk mengganti nama Papua sekaligus menyatakan penolakan atas skenario usulan pembentukan Negara Indonesia Timur.
Selang 2 tahun setelah Konferensi, gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pecah di Biak, Irian dengan Kaisiepo tercatat sebagai salah satu penggerak insiden tersebut.
Setahun berikutnya (1949), putra Irian sejati ini menolak penunjukan dirinya sebagai wakil Belanda untuk wilayah Nugini dalam Konferensi Meja Bundar di Nederland, Belanda berdasar alasan tidak mau didikte oleh Belanda.
Atas sikap penolakan itu, Frans Kaisiepo harus menerima kenyataan disekap sebagai tahanan politik mulai 1954 hingga 1961.
Pascapenahanan, Kaisiepo mendirikan Partai Politik Irian pada tahun 1971 yang bertujuan utama menggabungkan wilayah Nugini sebagai bagian NKRI. Pada masa-masa inilah salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah RI pecah dengan dimulainya Trikora (Tiga Komando Rakyat) oleh Presiden RI Soekarno pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta.
Frans Kaisiepo juga sering melindungi para sukarelawan yang diam-diam melakukan infiltrasi ke wilayah Irian Barat tersebut.
Hasil utama Trikora adalah Perjanjian New York pada tanggal 15 Agustus 1963 yang memaksa Belanda menyerahkan kekuasaan politis atas Irian Barat ke tangan Indonesia.
Melalui pengawasan PBB, pemerintah RI berhak atas pengembangan wilayah Irian mulai 1963 hingga 1969 sebelum rakyat Papua memutuskan untuk terus bergabung atau lepas dari tangan Indonesia.
Kaisiepo sendiri terus berjuang menyatukaan Irian dengan RI sesuai dengan impiannya sejak awal. Pada tahun 1969, impian ini terbayar dengan masuknya Irian sebagai propinsi paling muda di Indonesia (saat itu).
Pada tahun 1972, Kaisiepo dilantik sebagai salah satu anggota MPR RI sebelum akhirnya menjabat anggota Hakim Tertinggi Dewan Pertimbangan Agung sejak 1973 hingga 1979.
Berdasar Keputusan Presiden Nomor 077/TK/1993, nama Frans Kaisiepo selanjutnya dikenang sebagai satu dari deretan pahlawan nasional Indonesia disertai penganugrahan Bintang Mahaputra Adipradana Kelas Dua.
Frans Kaisiepo pria kelahiran Wardo, 10 Oktober 1921, wafat pada tanggal 10 April 1979 dalam usia 57 tahun. Sebagai salah satu putra terbaik Irian, beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih di Distrik Biak Kota.
Di samping anugrah Trikora, nama Frans Kaisiepo juga telah diabadikan menjadi bandar udara di Biak, nama kapal perang TNI AL, diabadikan dalam mata uang kerta pecahan Rp10 ribu emisi terbaru pada tanggal 19 Desember 2016 serta diabadikan Pemerintah Kabupaten Biak Numfor dengan membangun Taman Frans Kaisiepo di kawasan bandara.
Istri almarhum, Maria Magdalena Kaisiepo, berharap perjuangan Frans Kaiseipo bisa diteladani kalangan generasi muda Papua untuk meningkatkan hasil pembangunan di wilayah timur Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Bapak sudah hidup tenang di surga karena harapan cita-citanya untuk membangun pendidikan orang asli Papua telah direaliasikan Pemerintah Provinsi Papua saat ini," ujarnya.
Pada kenyataan sekarang, lanjut Maria, bisa lihat di berbagai kabupaten/kota, pemimpinnnya orang asli Papua serta pendidikan orang Papua sudah meningkat dari sarjana, magister, hingga pendidikan doktor (S-3).
"Perjuangan almarhum Frans Kaisiepo tidak mengangkat senjata, tetapi berjuang untuk menyejahterakan orang asli Papua," ucap istri Frans Kaisiepo. (*)