Jayapura (Antara Papua) - Manajemen PT Pertamina (Persero) Marketing Operation Region (MOR) VIII Maluku-Papua meminta dukungan pemerintah daerah untuk turut mengatur dan menertibkan para pengecer BBM di wilayah yang bersangkutan.

General Manager Pertamina MOR VIII, Made Adi Putra di Jayapura, menjelaskan hal tersebut diperlukan agar masyarakat setempat, khususnya yang menjadi objek dari program "BBM Satu Harga" tidak dirugikan.

Ia mengakui, khusus di wilayah pelosok, masih minimnya keberadaan lembaga penyalur membuat pertumbuhan pengecer BBM tidak terkendali. Harga yang dijual pun tergolong cukup tinggi, hingga berlipat-lipat dibanding harga yang dijual Pertamina.

Made juga menegaskan bila Pertamina tidak memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengendalikan pengecer BBM.

"Jangan kan di pelosok, di Jayapura yang sudah terbuka saja pengecer banyak dan sulit dikendalikan," kata dia.

Diakuinya masalah ini juga menjadi salah satu kendala dari program "BBM Satu Harga" sehingga dampak ke masyarakat kurang maksimal meski pihaknya sudah menggelontorkan ratusan miliar rupiah untuk operasional program tersebut.

Sebelumnya, pada 8 September 2017, Direktur Pemasaran PT Pertamina (Persero) Muhammad Iskandar menyebutkan ada tambahan biaya operasional dari program BBM Satu Harga sebesar Rp600 miliar sampai Rp700 miliar pada semester pertama.

Iskandar mengklarifikasi bahwa tidak ada kerugian yang berdampak pada perusahaan akibat program yang ditugaskan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tersebut untuk menyamaratakan harga BBM hingga ke daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T).

"Bukan kerugian, memang ada tambahan biaya termasuk ongkos angkut pesawatnya saja bisa Rp49 ribu per liter, sementara kita jual solar Rp5.150. Itu yang menambah biaya dari operating cost. Tahun ini nambahnya sekitar Rp600 miliar hingga Rp700 miliar," katanya. (*)

Pewarta : Pewarta: Dhias Suwandi
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024