Timika (Antara Papua) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menggandeng Dewan Adat di seluruh kabupaten dan kota di Papua untuk membantu menekan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Menteri PPPA Yohana Yembise di Timika, Senin, mengatakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Tanah Papua merupakan yang tertinggi di Indonesia sehingga membutuhkan keterlibatan semua pihak termasuk lembaga adat untuk menurunkannya.

"Kita sekarang membutuhkan dukungan dan merangkul semua lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, terutama dewan adat untuk membantu memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak di Tanah Papua," kata Yohana.

Menteri asal Papua itu mengaku sudah melakukan pertemuan dengan sejumlah dewan adat seperti Dewan Adat Kabupaten Biak, Dewan Adat Kabupaten Jayawijaya di Wamena serta Dewan Adat Kabupaten Merauke guna membicarakan langkah-langkah bersama menurunkan dan menekan angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Kegiatan serupa, demikian Yohana, akan dilakukan di berbagai kabupaten dan kota lainnya di Provinsi Papua dan Papua Barat.

"Saya mohon dukungan dewan adat dan tokoh agama untuk membantu pemerintah untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak. Setiap bulan Maret saya melaporkan perkembangan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia ke PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Kita semua berharap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia, terutama di Papua dapat kita turunkan," harap Yohana.

Sehubungan dengan itu, pada 16-17 November mendatang Kementerian PPPA akan menggelar rapat kerja nasional di Magelang, Jawa Tengah untuk menghimpun data jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dari semua provinsi dan kabupaten-kota di Indonesia.

Yohana juga meminta dukungan media massa untuk mendorong partisipasi warga agar berani melaporkan setiap kasus kekerasan yang dialami perempuan dan anak sebab masih banyak kasus serupa terpendam akibat ketidakberanian untuk melaporkannya kepada aparat kepolisian maupun Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang telah terbentuk di semua kabupaten/kota.

"Saya mengimbau media agar juga membantu bilamana terjadi kekerasan maka kita wajib melaporkannya," ujar Yohana.

Mantan staf pengajar pada Universitas Cenderawasih Jayapura itu mengakui baru sedikit dari jumlah kasus kekerasan yang dialami perempuan dan anak di Papua yang dilaporkan kepada pihak terkait.

Hal itu, katanya, akibat masih kurangnya penyebarluasan informasi hingga ke seluruh pelosok kampung di seluruh Papua.

Menteri Yohana belum lama ini juga telah mengumpulkan aparat penegak hukum di Sorong, Papua Barat, terutama yang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak agar menerapkan UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua terhadap UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Ia berharap aparat penegak hukum juga menerapkan UU yang sama dalam penanganan kasus kejahatan seksual yang menimpa seorang bocah berusia enam tahun di Abepura, Jayapura beberapa waktu lalu.

"Saya akan ke Jayapura untuk melihat penanganan kasus itu di sana. Sebab penyidik akan menggelar rekonstruksi kasusnya dalam waktu dekat. Saya harap penyidik tidak ragu menerapkan UU Nomor 17 Tahun 2016," jelas Yohana.

Pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang mengakibatkan anak itu meninggal, cacat atau tertular penyakit berbahaya maka bisa dikenakan hukuman tembak mati, hukuman seumur hidup dan suntikan kebiri.

Tidak itu saja, pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak akan diumumkan ke publik identitasnya dan dipasangi chips pada tubuh pelaku. (*)

Pewarta : Pewarta: Evarianus Supar
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024