Timika (Antaranews Papua) - Sejumlah warga Timika, Kabupaten Mimika, Papua, mengaku kecewa terhadap kinerja kepolisian resort Mimika yang telah mengeluarkan surat pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3) kasus dugaan pembuatan ijazah palsu Wakil Bupati Buton Selatan.
"Kami nilai penyidik Polres Mimika telah menciderai hak warga Indonesia untuk mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya," kata Z Sonny Awom Sonny, salah satu warga Timika yang kecewa atas SP3 itu, ketika ditemui, di Timika, Senin.
Sebelumnya pada 25 April 2017, Reki Tafre, mantan kepsek SMPN Banti, Distrik Tembagapura, dilaporkan ke Polres Mimika oleh Yohanes F Aibekob, atas dugaan ijazah palsu yang digunakan oleh Wakil Bupati Buton Selatan pada pilkada 2017.
"Kami ingin agar kasus ini dilanjutkan dengan memperhatikan bukti-bukti serta pernyataan pihak-pihak yang berkompeten seperti Kepala SMPN Banti saat ini, para alumni serta kepala Dinas Pendidikan Mimika, Jenny Usmanny," ujarnya.
Polres Mimika pada 1 Mei 2018 mengehentikan proses penyidikan dengan mengeluarkan SP3 nomor B/544/V/2018/Reskrim perihal pemberitahuan penghentian penyidikan yang ditujukan kepada pelapor atas nama Yohanes F Aibekob.
Landasan terbitnya SP3 tersebut, adalah pernyataan Kepala Sekolah SMPN Banti, Tembagapura, Reki Tafre, bahwa pada 2005 yang bersangkutan pernah menandatangani ijazah tersebut.
Penyidik merujuk pada Pedoman Penulisan Ijazah dan Komputerisasi Blanko Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional Tahun 2004/2005 mengatur bahwa yang berhak menandatangani ijazah adalah kepala sekolah atau kepala madrasah penyelenggara sesuai dengan kewenangannya, dengan demikian Reki Tafre berhak menandatangani ijazah tersebut.
Selain itu, karena tidak ada data pendukung seperti buku induk di sekolah maupun di Dinas Pendidikan Dasar dan Budaya Kabupaten Mimika, maka tidak dapat dibuktikan adanya pemalsuan surat atau ijazah yang dituduhkan dalam perkara tersebut.
Terkait SP3 itu, Sonny mengatakan berdasarkan surat keterangan Kadisdik Mimika, SMP Negeri Banti baru dibuka pada 2003.
SMPN Banti baru menamatkan siswanya pada tahun 2006. Sementara ijazah yang ditandatangi oleh Reki Tafre tahun 2005.
"Fakta ini saja kan sudah jelas dan terang benderang bahwa dugaan pembuatan ijazah palsu itu sangat mungkin," ujarnya.
Sebagai warga Mimika, Sonny berharap agar proses hukum terkait dugaan ijazah palsu di Papua terutama di Mimika harus ditanggapi serius sebab jika tidak maka di kemudian hari ada oknum-oknum yang memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi dan menciderai pendidikan di Papua. (*)
"Kami nilai penyidik Polres Mimika telah menciderai hak warga Indonesia untuk mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya," kata Z Sonny Awom Sonny, salah satu warga Timika yang kecewa atas SP3 itu, ketika ditemui, di Timika, Senin.
Sebelumnya pada 25 April 2017, Reki Tafre, mantan kepsek SMPN Banti, Distrik Tembagapura, dilaporkan ke Polres Mimika oleh Yohanes F Aibekob, atas dugaan ijazah palsu yang digunakan oleh Wakil Bupati Buton Selatan pada pilkada 2017.
"Kami ingin agar kasus ini dilanjutkan dengan memperhatikan bukti-bukti serta pernyataan pihak-pihak yang berkompeten seperti Kepala SMPN Banti saat ini, para alumni serta kepala Dinas Pendidikan Mimika, Jenny Usmanny," ujarnya.
Polres Mimika pada 1 Mei 2018 mengehentikan proses penyidikan dengan mengeluarkan SP3 nomor B/544/V/2018/Reskrim perihal pemberitahuan penghentian penyidikan yang ditujukan kepada pelapor atas nama Yohanes F Aibekob.
Landasan terbitnya SP3 tersebut, adalah pernyataan Kepala Sekolah SMPN Banti, Tembagapura, Reki Tafre, bahwa pada 2005 yang bersangkutan pernah menandatangani ijazah tersebut.
Penyidik merujuk pada Pedoman Penulisan Ijazah dan Komputerisasi Blanko Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional Tahun 2004/2005 mengatur bahwa yang berhak menandatangani ijazah adalah kepala sekolah atau kepala madrasah penyelenggara sesuai dengan kewenangannya, dengan demikian Reki Tafre berhak menandatangani ijazah tersebut.
Selain itu, karena tidak ada data pendukung seperti buku induk di sekolah maupun di Dinas Pendidikan Dasar dan Budaya Kabupaten Mimika, maka tidak dapat dibuktikan adanya pemalsuan surat atau ijazah yang dituduhkan dalam perkara tersebut.
Terkait SP3 itu, Sonny mengatakan berdasarkan surat keterangan Kadisdik Mimika, SMP Negeri Banti baru dibuka pada 2003.
SMPN Banti baru menamatkan siswanya pada tahun 2006. Sementara ijazah yang ditandatangi oleh Reki Tafre tahun 2005.
"Fakta ini saja kan sudah jelas dan terang benderang bahwa dugaan pembuatan ijazah palsu itu sangat mungkin," ujarnya.
Sebagai warga Mimika, Sonny berharap agar proses hukum terkait dugaan ijazah palsu di Papua terutama di Mimika harus ditanggapi serius sebab jika tidak maka di kemudian hari ada oknum-oknum yang memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi dan menciderai pendidikan di Papua. (*)