Jakarta (Antaranews Papua)  - Jaringan Advokat Publik Indonesia mengharapkan Komisi Pemberantasan Korupsi agar cermat dan objektif dalam menangani perkara dugaan korupsi yang berkaitan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Potensi ketidakcermatan dalam menempatkan pihak yang bersalah (error in persona) dalam perkara itu amat besar, kata Koordinator Jaringan Advokat Publik (JAP)  indonesia Moin Tualeka di Jakarta,  Sabtu.

JAP Indonesia dalam keterangan tertulisnya berpendapat, KPK seharusnya memperdalam dugaan pelanggaran yang berkaitan dengan periode penyelesaian kewajiban berupa penjualan aset-aset milik para debitur. Sepatutnya, pihak yang berwenang dan diduga melakukan pelanggaran segera diproses hukum.

"KPK harus lebih cermat dan objektif, jangan sampai salah dalam menetapkan kesalahan hukum pada seseorang (error in persona)," kata Moin Tualeka.

Moin mencermati perkara yang saat ini diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan terdakwa mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.

Syaf didakwa bersama-sama dengan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia/BDNI melakukan pelanggaran sehubungan dengan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL).

Kendati demikian, Moin berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Syafruddin sangat erat berkaitan dengan wewenang pihak lain.

"Karakteristik perkara itu juga kental dimensi perdata, karena berkaitan dengan perjanjian kredit antara petani tambak dan BDNI yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wahyuni Mandira (PT WM)," ujar Moin.

Fakta selanjutnya, kata Moin, BDNI telah menyerahkan aset senilai Rp4 triliun kepada BPPN untuk menyelesaikan kewajiban. Ketika BPPN berakhir masa tugasnya pada tahun 2004, dilakukan penyerahan aset kepada Kementerian Keuangan.

Selanjutnya melalui Perusahaan Pengelola Aset (PPA) aset tersebut dijual. Menurut audit investigatif BPK tahun 2017, aset itu dijual oleh PPA hanya Rp220 miliar.

Penjualan aset dilakukan pada pada 2007. Sementara itu hak tagih BPPN terhadap BDNI diserahkan pada pada tahun 2004.

Moin menyatakan bahwa berdasarkan fakta dan kronologi tersebut, perlu diingat bahwa penyerahan aset itu merupakan bagian dari mekanisme penyelesaian kewajiban BLBI atas nama BDNI berdasarkan kebijakan KKSK.

"Pokok masalahnya di situ. Berkaitan dengan penjualan aset jaminan petambak oleh PPA," ujar Moin.

Persatuan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Dipasena pernah melaporkan dugaan korupsi penjualan aset perusahaan tersebut ke KPK pada tahun 2015. PPA menjual aset Dipasena Group kepada perusahaan asal Thailand Charoen Pokphand melalui Konsorsiun Neptune pada tahun 2007.  (*)

Pewarta : Sri Muryono
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024