Timika (Antaranews Papua) - Tokoh masyarakat Amungme di Kabupaten Mimika, Yosep Yopi Kilangin menegaskan PT Freeport harus menyelesaikan pembayaran kompensasi pemanfaatkan tanah hak ulayat masyarakat setempat untuk operasi pertambangan, sejak tahun 1970-an hingga kini sebelum melakukan negosiasi divestasi saham 51 persen dengan Pemerintah Indonesia.

Berbicara kepada Antara di Timika, Yopi Kilangin mengatakan selama 50 tahun Freeport beroperasi di Tembagapura, Mimika, Papua, belum ada pembayaran ganti rugi atau kompensasi tanah hak ulayat masyarakat Suku Amungme.

"Freeport itu melakukan usaha di tanah hak ulayat Amungme. Tanah yang dijadikan tempat untuk mengeruk keuntungan Freeport itu Tuhan tempatkan kami orang Amungme turun-temurun. Dari dulu sejak orang-orang tua kami masih hidup sampai sekarang Freeport belum pernah bayar itu," kata Yopi Kilangin.

Ia menilai sah-sah saja kalau sekarang ini Pemerintah Indonesia menuntut kepesertaan saham yang lebih besar dalam perusahaan pertambangan Freeport.

Hanya saja bagi masyarakat, katanya, titik soal bukan pada penguasaan saham mayoritas oleh Pemerintah Indonesia atas Freeport, tetapi hak dasar masyarakat Amungme sebagai pemilik tanah atas area konsensi pertambangan Freeport dihargai.

"Yang harus dilakukan yaitu bayar kompensasi yang mencakup tiga hal utama yaitu hak pertambangan atas batu, pasir emas, tembaga, perak dan lain-lainnya yang telah digali dan dieskploitasi selama 50 tahun.

Selanjutnya tanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang sangat parah di Mimika sehingga terjadi perubahan sosial terhadap kehidupan masyarakat Amungme dan Kamoro di Mimika serta kewajiban sosial perusahaan harus tetap berjalan terus. Tiga hal ini harus menjadi perhatian utama oleh pemerintah dan Freeport," tegas Yopi Kilangin.

Ketua DPRD Mimika periode 2004-2009 itu menerangkan, pada awal operasinya di Tembagapura, Freeport mengundang almarhum Mozes Kilangin (ayah kandung Yopi Kilangin) untuk menyelesaikan permasalahan dengan warga Amungme di wilayah Tembagapura saat memulai kegiatan eksplorasi.

Saat itu pejabat Freeport yang dipimpin Jhon Kury datang menjemput Mozes Kilangin di Kampung Kiliarma, Agimuga menggunakan helikopter.

"Semua orang Freeport tahu bahwa almarhum bapak saya datang menemui masyarakat di Utikini (kampung sekitar Tembagapura). Awalnya masyarakat bersembunyi dengan peralatan panah di semak-semak. Melihat Pak Mozes Kilangin datang, mereka keluar semua dari tempat persembunyiannya. Beliau menyampaikan bahwa apa yang dilakukan oleh Freeport hanya ingin menguji kandungan apa yang ada di dalam batu di atas gunung itu," jelasnya.

Guna meyakinkan masyarakat Amungme, almarhum Mozes Kilangin menyampaikan bahwa pengujian kandungan batu gunung Tembagapura itu ibarat mencoba tembakau. Saat itu masyarakat Amungme biasanya membeli tembakau di daerah Paniai dengan cara barter.

"Bapak saya menyampaikan, jika batu-batu itu ternyata memiliki kandungan yang bernilai ekonomis tinggi (emas, tembaga dan perak) maka kelak Freeport akan datang untuk duduk berbicara soal harga yang harus dia bayar untuk bisa mengolah batu-batu itu. Karena itulah, masyarakat menyetujui Freeport untuk melanjutkan kegiatannya. Batu besar tempat bapak saya duduk untuk berbicara dengan masyarakat Amungme itu masih ada sampai sekarang di Kampung Utikini sebagai tempat perjanjian dengan Freeport," tutur Yopi Kilangin.

Namun pernyataan pihak Freeport untuk kembali menemui masyarakat Amungme guna menyelesaikan pembayaran kompensasi hak ulayat atas area konsensi pertambangan sejak saat itu hingga kini tidak pernah dilakukan.

"Kalau mau jujur, kami orang Amungme dibohongi oleh Freeport. Sejak zaman orang-orang tua kami yang sudah meninggal sampai sekarang dimana gunung-gunung, hutan dan sungai kami sudah habis, hal itu tidak pernah direalisasikan oleh Freeport. Sampai kapan kami harus menunggu dan menagih janji Freeport ini," tanya Yopi Kilangin.

Ia berharap pemerintah dibawah pimpinan Presiden Joko Widodo memperhatikan "luka orang Amungme" atas persoalan pertambangan Freeport di wilayahnya.

"Sebelum pemerintah membicarakan soal divestasi saham 51 persen dengan pihak Freeport, tolong ini harus diselesaikan. Jangan sampai luka ini terus terbawa ke generasi berikutnya. Karena sampai kapanpun luka besar ini tetap kami rasakan. Jangan sampai perjalanan Freeport ke depan tetap akan terus ada duri jika masalah ini tidak pernah diselesaikan secara baik dan bermartabat." ujar Yopi.

Yopi tidak bisa merinci seberapa besar biaya kompensasi hak ulayat yang harus dibayarkan oleh Freeport kepada masyarakat Amungme, termasuk Kamoro atas operasi pertambangannya selama lebih dari 50 tahun di Tembagapura, Mimika.

"Saya tidak tahu, tapi kita harus duduk berbicara. Harus ada itikad baik untuk menyelesaikan masalah ini. Menurut kami, Presiden Jokowi harus mengundang kami tokoh-tokoh masyarakat Amungme dan Kamoro untuk mendengarkan hal ini," ujarnya.

Yopi Kilangin secara khusus meminta Ali Mochtar Ngabalin selaku Staf Khusus Presiden Jokowi yang merupakan anak adat Papua untuk memfasilitasi pertemuan antara tokoh masyarakat Amungme dan Kamoro dengan Presiden Jokowi guna membicarakan soal kompensasi hak ulayat serta masa depan pertambangan Freeport di Tembagapura, Mimika, Papua.

"Meno (teman) Ali Mochtar sebagai anak adat Papua, tolong bantu memfasilitasi hal ini," pinta Yopi Kilangin.

Pewarta : Evarianus Supar
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024