Jakarta (Antaranews Papua) - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) tengah merancang rencana investigasi dengan Boeing terkait jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 di Tanjung Karawang, Jawa Barat, Senin (29/10).    
   
"Kami punya rencana investigasi seperti apa kemudian dia masuk mana saja yang bisa dibantu," kata Investigator Transportasi Udara KNKT Ony Suryo Wibowo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis.

Selain itu, ia juga meminta buku panduan (manual book) Boeing-737 Max 8 untuk dipelajari sebagai bagian dari proses investigasi.  

"Buku. Kita kan ga punya buku, manual book untuk Max-8," katanya.   

Dia mengatakan akan berupaya menemukan kotak hitam yang kedua, karena sampai saat ini dirinya masih belum bisa menentukan kotak hitam yang telah didapatkan itu Flight Data Recorder (FDR) atau Cockpit Voice Recorder (CVR).  

Ony menjelaskan apabila CVR tidak ditemukan, maka akan sangat sulit untuk melakukan investigasi karena tidak ada data kuat.     

"Ya akan sulit. Kita ga punya data apapun. Apabila hanya FDR itu bisa tapi itu kan angka, kalau ketemu angka itu kan gambar sebenarnya seperti apa. Mungkin kalau CVR nya aja, ngomong-ngomong di cockpit. Saya melotot ke anda, emangnya FDR tahu matanya kemana tangannya kemana, intonasinya seperti apa," katanya.

Sementara itu, KNKT hanya memiliki 30 hari untuk menemukan kotak hitam lainnya.

Tim gabungan yang diturunkan untuk melakukan proses investigasi Lion Air JT 610 yang jatuh di Perairan Karawang, Senin (29/10) menduga kotak hitam Cockpit Voice Recorder (CVR) berada tidak jauh dari tempat ditemukannya Flight Data Recorder (FDR).
    
Kepala Balai Teknologi Survey Kelautan BPPT M Ilyas  yang ikut dalam proses pencarian menyebut kisaran jaraknya hanya sekitar 200 sampai 300 meter saja.

"Jaraknya sekitar 200 sampai 300 meter sajalah," kata Ilyas di Posko JCTI2, Tanjung Priok, Jakarta.

Menurut Ilyas, sejak awal Kapal Riset Baruna Jaya I milik BPPT yang digunakan mencari kotak hitam Lion Air JT 610 memang sudah mendeteksi dua sinyal yang satu di antaranya menghasilkan temuan FDR.

Proses pencarian CVR menjadi sulit karena di bawah laut yang menjadi titik pencarian ada pipa pertamina yang membuat Kapal Baruna Jaya tak bisa menurunkan jangkar di situ.

"Tadi itu karena ada pipa Pertamina kami harus mudur sekitar 550 meter untuk mengoperasikan Remote Operating Vehicle. Tapi karena sulitnya arus kami pindah ke titik lain yang diduga menyimpan banyak serpihan," ucap dia.

Teknologi multibeam echo sounder sonar dan side scan sonar yang dimiliki BPPT pun bukan kali ini saja digunakan.

Menurut Ilyas, sebelumnya teknologi ini juga sempat dipakai ketika kejadi kapal karam di Danau Toba, Sumatera Utara dan tsunami Palu, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu.

"Kali ini kombinasi. Kapal riset Baruna Jaya milik Indonesia ini saja perangkat multibeam-nya sampai 11 kg," ucap dia.

Sementara itu, Ketua KNKT, Soerjanto menyatakan, saat diangkut dari laut, FDR harus dicuci dengan air tawar terlebih dahulu dan direndam dalam kotak berisi air sebelum dikeringkan dan diteliti di laboratorium.

"Prosedurnya begitu. Karena khawatir ada bagian yang menyusut dan rusak ketika proses pengeringan. Kalau di laboratium kami lakukan ada alatnya divakum sehingga pengeringannya tidak merusak memory card," katanya.

Temuan FDR ini juga disebut sudah terlepas dari cangkangnya dan ditemukan di antara serpihan pesawat lainnya.

Tetapi teknologi crash protection box punya kekuatan yang besar mulai dari tahan di kedalaman 5000 meter, kuat menahan beban sampai 100G, dan mampu bertahan setengah jam dalam suhu 1000 derajat celcius.

"Data yang tersimpan di dalam FDR pun bisa bertahan 25 jam selama penerbangan. Sinyalnya juga bertahan selama 30 hari. Kami akan proses langsung ke lab begitu pun ketika yang satunya ketemu," ujar Soerjanto.

Pewarta : Juwita Trisna Rahayu dan Aubrey Kandelila Fanani
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024