Jayapura (ANTARA News Papua) - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang Papua (KMSTRP) meminta Pemprov Papua menerbitkan moratorium izin pemanfaatan hutan untuk industri, baik industri kayu, perkebunan maupun lainnya.

"Kami merekomendasikan agar Pemprov Papua menerbitkan kebijakan penundaan izin baru pertambangan, perkebunan sawit, dan kehutanan dalam bentuk Instruksi Gubernur dengan masa berlaku minimal tiga tahun," ujar perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Johnny Teddy Wakum, di Jayapura.

Ia menjelaskan, hutan di Provinsi Papua yang luasnya mencapai 30.387.499 hektare (ha) atau 94,88 persen dari luas total wilayah administrasi, mengalami deforestasi yang serius dalam dua dekade terakhir.

Menurut dia, dari hasil kajian Forest Watch Indonesia dalam tujuh tahun terakhir pada periode 2009-2016 menunjukkan bahwa deforestasi di Provinsi Papua mencapai 147.411,51 ha per tahun.

Penyebab dari hal tersebut adalah ekspansi industri berbasis lahan seperti pertambangan, perkebunan sawit dan kehutanan (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam/IUPHHK-HA dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri/IUPHHK-HTI).

Hingga 2017, ada sebanyak 187 izin industri berbasis lahan, yang terdiri dari 82 Izin Usaha Pertambangan, 75 Izin Usaha Perkebunan Sawit, dan 22 IUPHHK-HA serta delapan IUPHHK-HTI dengan total luas konsesi izin sebesar 9.841.061,7 ha atau 30,73 persen dari luas total wilayah administrasi Provinsi Papua.

"KMSTRP menunjukkan bahwa banyak izin pertambangan, perkebunan sawit, dan kehutanan yang bermasalah, tidak `clear and clean` (non CnC), tumpang tindih dengan kawasan lindung, tumpang tindih antar konsesi, tidak memenuhi kewajibannya kepada negara yang mengakibatkan potensi kerugian negara hingga mengakibatkan konflik," katanya.

Sementara itu, Mulfizar yang juga dari LBH Papua mengklaim tak satu pun izin usaha pertambangan di Provinsi Papua yang membayarkan "land rent".

Bila mengacu kepada PP No. 9/2012 tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak, dimana land rent untuk izin eksplorasi sebesar dua dolar AS/ha dan untuk izin produksi sebesar empat dolar AS/ha, ditemukan potensi kehilangan penerimaan negara dari 75 izin usaha pertambangan sebesar 6.760.678,68 dolar AS atau setara dengan Rp94.649.501.520,00 (dengan kurs satu dolar AS = Rp14.000).

"Dengan menggunakan standar biaya pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMU) berpola asrama berdasarkan standar Dinas Pendidikan Provinsi Papua 2017 sebesar Rp1,8 miliar, maka potensi penerimaan dari land rent ini bisa membangun 52 bangunan SMU di Provinsi Papua," katanya.

Karenanya selama pelaksanaan kebijakan penundaan izin baru diberlakukan, Pemerintah Provinsi Papua perlu membentuk tim evaluasi yang terdiri dari OPD, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan perwakilan masyarakat adat, untuk mengevaluasi seluruh izin-izin pertambangan, perkebunan sawit, dan kehutanan (existing permits) di Provinsi Papua.

"Hasil evaluasi tim tersebut digunakan Pemerintah Provinsi Papua sebagai dasar untuk menata izin, mencabut izin yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memperbaiki sistem perizinan yang terintegrasi, transparan, partisipatif dan akuntabel," kata dia. 

Pewarta : Dhias Suwandi
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024