Makassar (ANTARA) - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Makassar meminta kepada masyarakat agar bijak dalam menyikapi status pasien, baik yang pasien dalam pemantauan (PDP) maupun positif COVID-19 dan tidak menuduh dokter maupun tenaga kesehatan berkonspirasi.
Humas IDI Makassar dr Wachyudi Muchsin di Makassar, Sabtu, mengatakan opini yang berkembang di masyarakat mengenai status pasien tidak boleh dibiarkan dan harus diklarifikasi dengan data empiris.
"Kita sudah disibukkan dengan masalah COVID-19 ini dan setelah beberapa bulan, muncul permasalahan baru yang menuding para dokter dan nakes berkonspirasi dalam penetapan status. Ini tidak benar dan ini adalah fitnah yang keji," ujarnya.
Ia mengatakan stigma negatif yang dialamatkan kepada dokter dan tenaga medis mengakibatkan terjadinya protes dan keributan dalam penetapan status pasien. Baik itu PDP atau positif COVID-19.
Wachyudi menyatakan, beragam komentar bermunculan, ada yang membenarkan, ada yang menyalahkan bahkan ada pula yang menuduh ini konspirasi dokter agar mendapatkan untung besar dalam penanganan kasus corona .
"Semua tudingan itu adalah fitnah. Mewakili dokter, pertama, saya ingin mengucapkan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya kepada seluruh masyarakat yang keluarganya meninggal terpapar virus corona, baik itu dalam status PDP maupun positif COVID-19. Yang menjadi korban tidak melihat status, banyak juga dokter dan nakes," katanya.
Dia dan sejumlah dokter di IDI Makassar menilai saat ini yang menjadi kelemahan di Indonesia adalah masih lambannya proses diagnostik pada kasus COVID-19 ini.
Kemampuan laboratorium masih sangat terbatas, sehingga antrian sampel yang sangat banyak membutuhkan waktu kisaran 1-2 minggu, sampel atau diagnosanya bisa diketahui.
Menurut dia, mesti segera ada solusi dalam menghadapi kondisi yang penuh keterbatasan. Untuk kasus yang masih berstatus PDP dan meninggal dunia, pemerintah melalui Tim Gugus COVID mengambil pilihan yang dianggap lebih aman untuk pemakamannya secara prosedur, dengan tujuan dapat menekan laju penyebaran penyakit yang sangat cepat.
"Di sini terkadang timbul persoalan. Banyak yang tidak menerima hasil swab yang ternyata negatif, dan sudah meninggal di makamkan dengan protap COVID-19. Kejadian ini akan menjadi warning bagi pemerintah, jika hal seperti ini terus berlanjut," ucapnya.
Dokter Wachyudi yang juga Ketua Kempo Makassar ini mengaku jika permasalahan tentang pembentukan opini atau stigma masyarakat jika tidak dicarikan solusinya akan membahayakan kepercayaan masyarakat terhadap dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
"Stigma bahwa rumah sakit dan tenaga medis menjadikan kasus-kasus seperti itu sebagai pemanfaatan anggaran, adalah tidak benar. Pertanyaannya negara dapat uang dari mana, ratusan juta dikalikan semua pasien COVID-19 seluruh Indonesia, itu dari mana semua anggarannya," ucapnya lagi.*
Humas IDI Makassar dr Wachyudi Muchsin di Makassar, Sabtu, mengatakan opini yang berkembang di masyarakat mengenai status pasien tidak boleh dibiarkan dan harus diklarifikasi dengan data empiris.
"Kita sudah disibukkan dengan masalah COVID-19 ini dan setelah beberapa bulan, muncul permasalahan baru yang menuding para dokter dan nakes berkonspirasi dalam penetapan status. Ini tidak benar dan ini adalah fitnah yang keji," ujarnya.
Ia mengatakan stigma negatif yang dialamatkan kepada dokter dan tenaga medis mengakibatkan terjadinya protes dan keributan dalam penetapan status pasien. Baik itu PDP atau positif COVID-19.
Wachyudi menyatakan, beragam komentar bermunculan, ada yang membenarkan, ada yang menyalahkan bahkan ada pula yang menuduh ini konspirasi dokter agar mendapatkan untung besar dalam penanganan kasus corona .
"Semua tudingan itu adalah fitnah. Mewakili dokter, pertama, saya ingin mengucapkan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya kepada seluruh masyarakat yang keluarganya meninggal terpapar virus corona, baik itu dalam status PDP maupun positif COVID-19. Yang menjadi korban tidak melihat status, banyak juga dokter dan nakes," katanya.
Dia dan sejumlah dokter di IDI Makassar menilai saat ini yang menjadi kelemahan di Indonesia adalah masih lambannya proses diagnostik pada kasus COVID-19 ini.
Kemampuan laboratorium masih sangat terbatas, sehingga antrian sampel yang sangat banyak membutuhkan waktu kisaran 1-2 minggu, sampel atau diagnosanya bisa diketahui.
Menurut dia, mesti segera ada solusi dalam menghadapi kondisi yang penuh keterbatasan. Untuk kasus yang masih berstatus PDP dan meninggal dunia, pemerintah melalui Tim Gugus COVID mengambil pilihan yang dianggap lebih aman untuk pemakamannya secara prosedur, dengan tujuan dapat menekan laju penyebaran penyakit yang sangat cepat.
"Di sini terkadang timbul persoalan. Banyak yang tidak menerima hasil swab yang ternyata negatif, dan sudah meninggal di makamkan dengan protap COVID-19. Kejadian ini akan menjadi warning bagi pemerintah, jika hal seperti ini terus berlanjut," ucapnya.
Dokter Wachyudi yang juga Ketua Kempo Makassar ini mengaku jika permasalahan tentang pembentukan opini atau stigma masyarakat jika tidak dicarikan solusinya akan membahayakan kepercayaan masyarakat terhadap dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
"Stigma bahwa rumah sakit dan tenaga medis menjadikan kasus-kasus seperti itu sebagai pemanfaatan anggaran, adalah tidak benar. Pertanyaannya negara dapat uang dari mana, ratusan juta dikalikan semua pasien COVID-19 seluruh Indonesia, itu dari mana semua anggarannya," ucapnya lagi.*