Jakarta (ANTARA) - Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membatasi mobilitas (pergerakan) orang mengharuskan sebagian warga harus menjalani berbagai kegiatan baik bekerja atau belajar dari rumah.
Kebijakan yang dikemas melalui sistem ganjil genap menurut Kepala Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta merupakan "rem darurat" mengingat masih banyak masyarakat yang tidak patuh dengan kebijakan pembatasan perkantoran sampai dengan 50 persen.
Pertanyaannya apa yang membuat masyarakat tidak patuh? Benarkan mereka tidak betah berlama-lama di rumah?
Apa yang menyebabkan mereka tidak betah di rumah. Pertanyaan itu rupanya menjadi perhatian Rubi Rusli, arsitek asal Indonesia.
Dia mengakui masyarakat tentunya tidak betah setelah berbulan-bulan menjalani berbagai aktivitas di rumah. Untuk itu para arsitek Indonesia sudah memiliki konsep rumah adaptif yang sanggup menyesuaikan dengan berbagai peristiwa termasuk wabah yang mengharuskan berlindung di rumah untuk waktu yang lama.
Rubi Roesli mengatakan warga Jakarta bisa memanfaatkan rumah berkonsep adaptif di tengah wabah COVID-19 yang mengharuskan berkegiatan dari tempat tinggal masing-masing.
Mengutip hasil survei Rumah.com Consumer Sentiment Study H2 2020 yang dilakukan terhadap 1.007 responden sepanjang Januari-Juni 2020, hasrat untuk memiliki hunian sendiri pasca pandemi ini paling banyak diungkapkan oleh responden dari kalangan muda usia 22-29 tahun, yakni sebanyak 44 persen.
Bagi arsitektur, angka-angka di atas menggambarkan adanya dua pekerjaan rumah besar terkait dengan pasar masa depan. Pertama, bagaimana menjawab keinginan dan kebutuhan segmen milenial yang aktif dan dinamis.
Kedua, secara bersamaan juga harus mampu menjawab tuntutan beradaptasi terhadap efek pandemi COVID-19.
Inovasi
Rubi mengatakan rumah adaptif merupakan inovasi dalam desain arsitektur yang memasukkan problem kesehatan.
Rubi mengamati, ada kecenderungan perubahan gaya hidup baru di kalangan masyarakat sebagai respon atas kondisi pandemi ini.
Orang-orang menjadi lebih peduli terhadap faktor kesehatan yang diperlihatkan melalui pilihan makanan sehat dan gaya hidup sehat seperti meningkatnya aktivitas berolahraga, kata pendiri “Biroe Architecture & Interior” ini.
Bayangkan, sekarang banyak yang tiba-tiba bercocok tanam sayuran di rumah. Selain merupakan tren gaya hidup untuk mendapatkan makanan dari sumber yang lebih dekat dan segar. Hal itu mungkin juga dilatari kekhawatiran terhadap masalah distribusi pangan.
Perubahan lain yang ia lihat adalah meningkatnya kecenderungan orang untuk berbelanja daring guna meminimalisir interaksi dengan orang lain karena kekhawatiran terhadap penularan kuman.
Selain itu jangan lupa, ada “budaya baru” di kalangan karyawan yang dipaksa bekerja di rumah (work from home/wfh) selama berbulan-bulan terakhir.
Arsitek Rubi Roesli (HO/Dokpri)
Ruby menangkap, kebutuhan yang terlihat jelas di kalangan konsumen properti terkait kondisi pandemi saat ini adalah ruang untuk berolahraga. Selain itu melakukan hobinya di rumah (walau ukurannya minimalis) serta ruangan yang bisa mengakomodasi kebutuhan bekerja di rumah.
Kecenderungan-kecenderungan seperti ini telah direspon para arsitek. Di saat orang butuh ruang jarak jauh, bisa rapat virtual dan bicara nyaman tanpa terganggu suara anak-anak, sementara di sisi lain anak-anak juga butuh ruang untuk belajar daring.
Persialannya tidak bisa dipungkiri, orang yang bekerja di rumah juga butuh "me time space" (waktu pribadi). Namun Rubi percaya, dunia arsitek serta pengembang properti akan semakin kreatif mencari solusi atas berbagai masalah tersebut.
Menyesuaikan
Adanya keinginan masyarakat rumah adaptif dibenarkan oleh Presiden Direktur PT Aesler Grup International (Aesler) Jang Rony Yuwono. Dia mengatakan banyak warga Jakarta yang meminta untuk menyesuaikan desain rumahnya agar sesuai dengan penerapan wfh.
Dia mengakui ada cukup banyak permintaan penyesuaian desain arsitektur dengan banyaknya penerapan wfh sejak masa pandemi.
Bagi Aesler, kata Jang Rony, merebaknya virus corona adalah tantangan tersendiri untuk menghadirkan desain arsitektur ruang yang lebih kreatif dan mengintegrasikan pola hidup baru.
Untuk menghadapi berbagai kejadian tidak terduga seperti pandemic corona ini, Aesler
sudah menyiapkan desain hunian dengan konsep yang mereka sebut "future proofing
homes".
Konsep ini merupakan bangunan yang didesain dengan pola pikir "antisipasi" terhadap kejadian tidak terduga di masa depan. Desain itu harus mampu meminimalisasi shock effect dan physical stresses yang terjadi akibat kejadian tidak terduga tersebut.
Konsep ini berbeda dengan yang selama ini diusung oleh beberapa arsitek lainnya, yang notabene kebanyakan memberikan solusi sebatas ruang-ruang dengan social distancing ataupun pencegahan melalui penggunaan sekat ruang.
Lebih dari sekadar kejadian insidental, Jang Rony memahami bahwa kejadian seperti COVID-19 bisa saja terjadi rutin bahkan menjadi siklus tahunan dalam bentuk berbeda.
Karena itu, ketika mendesain sebuah hunian berskala besar, seorang arsitek juga harus memikirkan berbagai kemungkinan krisis seperti pangan dan ekonomi. Bahkan politik dan lain-lain yang akan mempengaruhi pola hidup dan produk hunian.
Lalu bagaimanakah desain hunian “future
proofing homes”? Jang Rony mengatakan apabila hunian itu merupakan kawasan perumahan harus dipastikan apakah memiliki fasilitas lengkap sehingga saat terjadi wabah penghuni tidak perlu keluar dari lingkungan.
Kemudian dalam hunian/atau rumah itu harus diperbanyak kesan di luar rumah untuk menghindarkan kejenuhan, sediakan ruang belajar dan ruang bekerja. Penting pemanfaatan ruang tengah dan dapur serta terakhir berikan sentuhan penghijauan sebagai paru-paru rumah.
Produk properti yang didesain dengan konsep ini mampu menjadi "resilient" atau "tahan banting" terhadap risiko akibat kejadian tidak terduga di masa depan.
Karya desain arsitektur Aesler bisa dilihat pada proyek pencakar langit seperti Skysuites di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan dan Meisterstadt Batam, yang digagas oleh Almarhum Presiden RI BJ Habibie yang memang didisain untuk mampu beradaptasi terhadap berbagai kondisi di luar lingkungannya.
Jang siap untuk menyesuaikan desain arsitektur di Jakarta agar sesuai dengan kebutuhan dalam menghadapi wabah COVID-19.
Dengan sentuhan rumah adaptif diharapkan desain hunian yang 'mungkin' membosankan bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan, bahkan penghuni betah berlama-lama di rumah tidak lagi mencari teman untuk kumpul-kumpul.
Kebijakan yang dikemas melalui sistem ganjil genap menurut Kepala Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta merupakan "rem darurat" mengingat masih banyak masyarakat yang tidak patuh dengan kebijakan pembatasan perkantoran sampai dengan 50 persen.
Pertanyaannya apa yang membuat masyarakat tidak patuh? Benarkan mereka tidak betah berlama-lama di rumah?
Apa yang menyebabkan mereka tidak betah di rumah. Pertanyaan itu rupanya menjadi perhatian Rubi Rusli, arsitek asal Indonesia.
Dia mengakui masyarakat tentunya tidak betah setelah berbulan-bulan menjalani berbagai aktivitas di rumah. Untuk itu para arsitek Indonesia sudah memiliki konsep rumah adaptif yang sanggup menyesuaikan dengan berbagai peristiwa termasuk wabah yang mengharuskan berlindung di rumah untuk waktu yang lama.
Rubi Roesli mengatakan warga Jakarta bisa memanfaatkan rumah berkonsep adaptif di tengah wabah COVID-19 yang mengharuskan berkegiatan dari tempat tinggal masing-masing.
Mengutip hasil survei Rumah.com Consumer Sentiment Study H2 2020 yang dilakukan terhadap 1.007 responden sepanjang Januari-Juni 2020, hasrat untuk memiliki hunian sendiri pasca pandemi ini paling banyak diungkapkan oleh responden dari kalangan muda usia 22-29 tahun, yakni sebanyak 44 persen.
Bagi arsitektur, angka-angka di atas menggambarkan adanya dua pekerjaan rumah besar terkait dengan pasar masa depan. Pertama, bagaimana menjawab keinginan dan kebutuhan segmen milenial yang aktif dan dinamis.
Kedua, secara bersamaan juga harus mampu menjawab tuntutan beradaptasi terhadap efek pandemi COVID-19.
Inovasi
Rubi mengatakan rumah adaptif merupakan inovasi dalam desain arsitektur yang memasukkan problem kesehatan.
Rubi mengamati, ada kecenderungan perubahan gaya hidup baru di kalangan masyarakat sebagai respon atas kondisi pandemi ini.
Orang-orang menjadi lebih peduli terhadap faktor kesehatan yang diperlihatkan melalui pilihan makanan sehat dan gaya hidup sehat seperti meningkatnya aktivitas berolahraga, kata pendiri “Biroe Architecture & Interior” ini.
Bayangkan, sekarang banyak yang tiba-tiba bercocok tanam sayuran di rumah. Selain merupakan tren gaya hidup untuk mendapatkan makanan dari sumber yang lebih dekat dan segar. Hal itu mungkin juga dilatari kekhawatiran terhadap masalah distribusi pangan.
Perubahan lain yang ia lihat adalah meningkatnya kecenderungan orang untuk berbelanja daring guna meminimalisir interaksi dengan orang lain karena kekhawatiran terhadap penularan kuman.
Selain itu jangan lupa, ada “budaya baru” di kalangan karyawan yang dipaksa bekerja di rumah (work from home/wfh) selama berbulan-bulan terakhir.
Ruby menangkap, kebutuhan yang terlihat jelas di kalangan konsumen properti terkait kondisi pandemi saat ini adalah ruang untuk berolahraga. Selain itu melakukan hobinya di rumah (walau ukurannya minimalis) serta ruangan yang bisa mengakomodasi kebutuhan bekerja di rumah.
Kecenderungan-kecenderungan seperti ini telah direspon para arsitek. Di saat orang butuh ruang jarak jauh, bisa rapat virtual dan bicara nyaman tanpa terganggu suara anak-anak, sementara di sisi lain anak-anak juga butuh ruang untuk belajar daring.
Persialannya tidak bisa dipungkiri, orang yang bekerja di rumah juga butuh "me time space" (waktu pribadi). Namun Rubi percaya, dunia arsitek serta pengembang properti akan semakin kreatif mencari solusi atas berbagai masalah tersebut.
Menyesuaikan
Adanya keinginan masyarakat rumah adaptif dibenarkan oleh Presiden Direktur PT Aesler Grup International (Aesler) Jang Rony Yuwono. Dia mengatakan banyak warga Jakarta yang meminta untuk menyesuaikan desain rumahnya agar sesuai dengan penerapan wfh.
Dia mengakui ada cukup banyak permintaan penyesuaian desain arsitektur dengan banyaknya penerapan wfh sejak masa pandemi.
Bagi Aesler, kata Jang Rony, merebaknya virus corona adalah tantangan tersendiri untuk menghadirkan desain arsitektur ruang yang lebih kreatif dan mengintegrasikan pola hidup baru.
Untuk menghadapi berbagai kejadian tidak terduga seperti pandemic corona ini, Aesler
sudah menyiapkan desain hunian dengan konsep yang mereka sebut "future proofing
homes".
Konsep ini merupakan bangunan yang didesain dengan pola pikir "antisipasi" terhadap kejadian tidak terduga di masa depan. Desain itu harus mampu meminimalisasi shock effect dan physical stresses yang terjadi akibat kejadian tidak terduga tersebut.
Konsep ini berbeda dengan yang selama ini diusung oleh beberapa arsitek lainnya, yang notabene kebanyakan memberikan solusi sebatas ruang-ruang dengan social distancing ataupun pencegahan melalui penggunaan sekat ruang.
Lebih dari sekadar kejadian insidental, Jang Rony memahami bahwa kejadian seperti COVID-19 bisa saja terjadi rutin bahkan menjadi siklus tahunan dalam bentuk berbeda.
Karena itu, ketika mendesain sebuah hunian berskala besar, seorang arsitek juga harus memikirkan berbagai kemungkinan krisis seperti pangan dan ekonomi. Bahkan politik dan lain-lain yang akan mempengaruhi pola hidup dan produk hunian.
Lalu bagaimanakah desain hunian “future
proofing homes”? Jang Rony mengatakan apabila hunian itu merupakan kawasan perumahan harus dipastikan apakah memiliki fasilitas lengkap sehingga saat terjadi wabah penghuni tidak perlu keluar dari lingkungan.
Kemudian dalam hunian/atau rumah itu harus diperbanyak kesan di luar rumah untuk menghindarkan kejenuhan, sediakan ruang belajar dan ruang bekerja. Penting pemanfaatan ruang tengah dan dapur serta terakhir berikan sentuhan penghijauan sebagai paru-paru rumah.
Produk properti yang didesain dengan konsep ini mampu menjadi "resilient" atau "tahan banting" terhadap risiko akibat kejadian tidak terduga di masa depan.
Karya desain arsitektur Aesler bisa dilihat pada proyek pencakar langit seperti Skysuites di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan dan Meisterstadt Batam, yang digagas oleh Almarhum Presiden RI BJ Habibie yang memang didisain untuk mampu beradaptasi terhadap berbagai kondisi di luar lingkungannya.
Jang siap untuk menyesuaikan desain arsitektur di Jakarta agar sesuai dengan kebutuhan dalam menghadapi wabah COVID-19.
Dengan sentuhan rumah adaptif diharapkan desain hunian yang 'mungkin' membosankan bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan, bahkan penghuni betah berlama-lama di rumah tidak lagi mencari teman untuk kumpul-kumpul.