Jakarta (ANTARA) - Amir dan Hassan dalam kisah The Kite Runner, adalah dua saudara berbeda ibu yang menjalin persahabatan erat namun persahabatan itu retak karena kesalahan Amir.
Saat mereka bermain layangan, Hassan membantu Amir 'memenangkan' satu layangan yang berhasil mereka putuskan dari benangnya. Untuk mengejar layangan itu, Hassan harus mengalami peristiwa yang menyakitkan. Namun, Amir hanya diam saja waktu melihat sahabatnya terluka.
Setelah peristiwa nahas itu, persahabatan Amir dan Hassan merenggang dan membuat Amir jengah. Lebih parah lagi, keegoisan membuat Amir 'tak sengaja' memfitnah Hassan di depan ayahnya. Hassan pun diusir ayah Amir keluar dari rumah mereka hingga membuat Amir dihantui rasa bersalah.
Kisah persahabatan Amir dan Hassan dalam cerita itu memang mengalami pasang-surut.
Begitu pula kisah persahabatan pada umumnya, dimana akan selalu ada momen-momen yang menjadi krusial pada saat relasi kita dengan sang sahabat dibangun
Surut sedikit terhadap waktu, untuk PDI Perjuangan dan Gerakan Indonesia Raya, momen krusial itu mungkin adalah penandatanganan sesuatu perjanjian yang dinamakan "Perjanjian Batu Tulis" oleh Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto pada 16 Mei 2009.
Saat itu, PDI Perjuangan sudah menjadi partai politik yang mapan --sebagai "jawaban" dari PDI yang sebelumnya dikooptasi pemerintahan Orde Baru-- sementara Partai Gerindra adalah pendatang baru yang menjanjikan. Megawati-Prabowo bersekutu dalam kontestasi Pemilu 2009 berhadapan dengan Wiranto-Jusuf Kalla dan petahana, Susilo Yudhoyono-Budiono.
Belum ada yang mengetahui seperti apa isi dokumen perjanjian yang sebenarnya. Namun berdasarkan informasi yang beredar, terdapat tujuh poin kesepakatan yang intinya memberi gambaran kedekatan kedua partai politik itu.
Apalagi di poin terakhir, menurut pernyataan Prabowo selaku ketua Dewan Pembina DPP Partai Gerindra, adalah berisi pernyataan PDI Perjuangan untuk mendukung pencalonan Prabowo sebagai calon presiden pada Pemilu 2014.
Namun semua perjanjian itu tidak terlaksana, bahkan hingga sampai poin ketujuh pun tidak.
PDI Perjuangan memilih mencalonkan Joko Widodo dari Solo, Jawa Tengah, untuk melawan pencalonan Prabowo, yang akhirnya membuat mayoritas masyarakat memilih Jokowi daripada Prabowo.
"Kalau Anda manusia, lalu ada di pihak saya, bagaimana? Ya pikirkan saja. Saya tidak mengerti apa salah saya. Saya menghormati beliau (Megawati)," kata Prabowo, di Jakarta, Minggu (16/3/2014) menyinggung Perjanjian Batu Tulis yang dia tandatangani bersama ketua umum DPP PDI Perjuangan itu.
Meski demikian, Prabowo dan Megawati pada akhirnya tetap menjalin dan membangun komunikasi yang baik untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang bersatu.
Buktinya, pada acara Presidential Lecture bertajuk "Internalisasi dan Pembumian Pancasila" yang digagas Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Megawati buka-bukaan tentang hubungan baiknya dengan Prabowo telah terjalin sebelum Prabowo kembali ke Tanah Air pada 2 Januari 2000. Sejak reformasi, Prabowo memang sempat meninggalkan Indonesia untuk beberapa waktu.
"Dulu saya ambil beliau yang keleweran. Saya marah, siapa yang buang beliau jadi stateless? Saya marah pada menteri luar negeri, saya marah pada panglima (TNI). Apapun juga, beliau manusia Indonesia. Pulangkan. Itu tanggung jawab kita," kata Megawati, saat memberikan sambutannya.
Setelah bertahun-tahun, bisa jadi sikap Megawati pada waktu itu ternyata kemudian mengilhami Jokowi juga. Kendati pernah bersaing ketat pada Pemilu 2014 dan 2019, Jokowi pada akhirnya tetap merangkul Prabowo dalam kabinetnya. Selisih perolehan suara menjadi penentu hasil.
Jokowi seakan memberi contoh kepada rakyat mengenai arti sebenarnya dari demokrasi adalah terbuka, adil, baik, dan jujur. "Lebih baik kita adu program saja yang santun. Jelekin sono jelekin sini, itu enggak baik. Enggak memberi pendidikan politik yang baik pada rakyat," kata Jokowi.
Jokowi tak ingin rakyat terpengaruh dengan polarisasi karena politik identitas yang selama ini membelenggu kehidupan demokrasi di Indonesia.
Sebut saja, seperti panggilan slapstick yang terbagi dua, cebong dan kampret, di jagat maya yang acap menjadi pertunjukan tak beretika, dimana keduanya hanya akan saling menafikan peluang kebenaran yang nyata disebutkan dari pihak lain. Kenyataan itu masih sering terjadi sampai sekarang, terlepas faktor-faktor lain yang menjadi pendorong.
Seolah, apa pun yang dilakukan oleh kubu sebelah selalu salah, namun bagi junjungannya selalu benar tanpa cacad cela sedikitpun. Cebong merujuk orang yang seolah memberi dukungan pada kubu Jokowi, sedangkan kampret disematkan pada pendukung kubu Prabowo Subianto.
Padahal tak ada yang pasti dalam kontestasi politik, kecuali kepentingan untuk berbakti kepada bangsa dan negara. Kontestasi politik sejatinya suatu metode beradab untuk mencari dan menghasilkan pemimpin terbaik dalam sistem demokrasi.
Dan tujuan dari berpolitik adalah cerita yang happy ending, bukan sad ending!
Negara ini sudah banyak menerima tekanan dari luar, namun musuh hanya selalu dicari dari dalam.
Pandemi Covid-19 adalah bentuk nyata adanya serangan tersebut yang kebetulan datangnya dari luar Indonesia. Dimana kita sebagai makhluk hidup? Apa masih mau dipaksa berdiam diri, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Apa jadinya jika kesulitan tersebut ditambahi dengan konflik saudara di antara kita? Haruskah kita memusuhi si fulan hanya karena memiliki pandangan yang mendukung kubu tertentu, padahal dia benar? Sementara, yang kita agung-agungkan adalah kubu lainnya hanya karena kebetulan punya opini cerdas namun salah kaprah.
Seharusnya kedua kubu itu bisa bertukar pikiran secara jernih dan jujur sehingga muncul ide-ide brilian untuk melawan rongrongan pihak luar yang nyata ini.
Jokowi yang menjadi presiden sedang memberikan sinyal rekonsiliasi, karena hanya dia yang bisa meredam kebisingan nan merisaukan itu.
Ia menunjuk orang dari "kubu sebelah", yaitu Sandiaga Uno sebagai menteri pariwisata dan ekonomi kreatif setelah sebelumnya juga menunjuk Prabowo Subianto (menteri pertahanan) dan Edhy Prabowo (menteri KKP).
Rabu ini, Jokowi akan melantik enam menteri baru. Mereka adalah M Luhthfie sebagai menteri perdagangan, menggantikan Agus Suparmanto, Tri Rismaharini (menteri sosial, menggantikan Juliari Batubara), dan Budi G Sadikin (menteri kesehatan, menggantikan Letnan Jenderal TNI (Purn) dr Terawan A Putranto).
Kemudian Wahyu S Trenggono (menteri KKP menggantikan Edhy Prabowo), Yaqut Cholil Quomas (menteri agama, menggantikan Jenderal TNI (Hon) (Purn) Fachrul Razi), dan Sandiaga Uno (menteri pariwisata dan ekonomi kreatif menggantikan Wishnutama Kusubandio).
Tentu kita berharap segala amanah dan kepercayaan itu mesti dilaksanakan dengan penuh integritas oleh orang-orang yang ditunjuk. Selebihnya tentu saja ada tantangan lain karena pandemi belum selesai, kita semua harus menyelesaikan dengan segala kreasi dan inovasi yang kita miliki.
Wakil Presiden, Ma'ruf Amin, telah menyerukan kepada seluruh komponen bangsa untuk melakukan rekonsiliasi kembali hubungan persaudaraan yang sebelumnya renggang karena berbeda pandangan politik saat penyelenggaraan pemilihan umum.
Apabila warga bangsa ini masih terkotak-kotakan dalam pandangan politik berbeda, maka pembangunan dan stabilitas keamanan maupun ekonomi tentu akan ikut terganggu.
Kritik sepanjang konstruktif tentu boleh saja. Asal tidak boleh sampai ada permusuhan di antara sesama anak bangsa.
Saat mereka bermain layangan, Hassan membantu Amir 'memenangkan' satu layangan yang berhasil mereka putuskan dari benangnya. Untuk mengejar layangan itu, Hassan harus mengalami peristiwa yang menyakitkan. Namun, Amir hanya diam saja waktu melihat sahabatnya terluka.
Setelah peristiwa nahas itu, persahabatan Amir dan Hassan merenggang dan membuat Amir jengah. Lebih parah lagi, keegoisan membuat Amir 'tak sengaja' memfitnah Hassan di depan ayahnya. Hassan pun diusir ayah Amir keluar dari rumah mereka hingga membuat Amir dihantui rasa bersalah.
Kisah persahabatan Amir dan Hassan dalam cerita itu memang mengalami pasang-surut.
Begitu pula kisah persahabatan pada umumnya, dimana akan selalu ada momen-momen yang menjadi krusial pada saat relasi kita dengan sang sahabat dibangun
Surut sedikit terhadap waktu, untuk PDI Perjuangan dan Gerakan Indonesia Raya, momen krusial itu mungkin adalah penandatanganan sesuatu perjanjian yang dinamakan "Perjanjian Batu Tulis" oleh Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto pada 16 Mei 2009.
Saat itu, PDI Perjuangan sudah menjadi partai politik yang mapan --sebagai "jawaban" dari PDI yang sebelumnya dikooptasi pemerintahan Orde Baru-- sementara Partai Gerindra adalah pendatang baru yang menjanjikan. Megawati-Prabowo bersekutu dalam kontestasi Pemilu 2009 berhadapan dengan Wiranto-Jusuf Kalla dan petahana, Susilo Yudhoyono-Budiono.
Belum ada yang mengetahui seperti apa isi dokumen perjanjian yang sebenarnya. Namun berdasarkan informasi yang beredar, terdapat tujuh poin kesepakatan yang intinya memberi gambaran kedekatan kedua partai politik itu.
Apalagi di poin terakhir, menurut pernyataan Prabowo selaku ketua Dewan Pembina DPP Partai Gerindra, adalah berisi pernyataan PDI Perjuangan untuk mendukung pencalonan Prabowo sebagai calon presiden pada Pemilu 2014.
Namun semua perjanjian itu tidak terlaksana, bahkan hingga sampai poin ketujuh pun tidak.
PDI Perjuangan memilih mencalonkan Joko Widodo dari Solo, Jawa Tengah, untuk melawan pencalonan Prabowo, yang akhirnya membuat mayoritas masyarakat memilih Jokowi daripada Prabowo.
"Kalau Anda manusia, lalu ada di pihak saya, bagaimana? Ya pikirkan saja. Saya tidak mengerti apa salah saya. Saya menghormati beliau (Megawati)," kata Prabowo, di Jakarta, Minggu (16/3/2014) menyinggung Perjanjian Batu Tulis yang dia tandatangani bersama ketua umum DPP PDI Perjuangan itu.
Meski demikian, Prabowo dan Megawati pada akhirnya tetap menjalin dan membangun komunikasi yang baik untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang bersatu.
Buktinya, pada acara Presidential Lecture bertajuk "Internalisasi dan Pembumian Pancasila" yang digagas Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Megawati buka-bukaan tentang hubungan baiknya dengan Prabowo telah terjalin sebelum Prabowo kembali ke Tanah Air pada 2 Januari 2000. Sejak reformasi, Prabowo memang sempat meninggalkan Indonesia untuk beberapa waktu.
"Dulu saya ambil beliau yang keleweran. Saya marah, siapa yang buang beliau jadi stateless? Saya marah pada menteri luar negeri, saya marah pada panglima (TNI). Apapun juga, beliau manusia Indonesia. Pulangkan. Itu tanggung jawab kita," kata Megawati, saat memberikan sambutannya.
Setelah bertahun-tahun, bisa jadi sikap Megawati pada waktu itu ternyata kemudian mengilhami Jokowi juga. Kendati pernah bersaing ketat pada Pemilu 2014 dan 2019, Jokowi pada akhirnya tetap merangkul Prabowo dalam kabinetnya. Selisih perolehan suara menjadi penentu hasil.
Jokowi seakan memberi contoh kepada rakyat mengenai arti sebenarnya dari demokrasi adalah terbuka, adil, baik, dan jujur. "Lebih baik kita adu program saja yang santun. Jelekin sono jelekin sini, itu enggak baik. Enggak memberi pendidikan politik yang baik pada rakyat," kata Jokowi.
Jokowi tak ingin rakyat terpengaruh dengan polarisasi karena politik identitas yang selama ini membelenggu kehidupan demokrasi di Indonesia.
Sebut saja, seperti panggilan slapstick yang terbagi dua, cebong dan kampret, di jagat maya yang acap menjadi pertunjukan tak beretika, dimana keduanya hanya akan saling menafikan peluang kebenaran yang nyata disebutkan dari pihak lain. Kenyataan itu masih sering terjadi sampai sekarang, terlepas faktor-faktor lain yang menjadi pendorong.
Seolah, apa pun yang dilakukan oleh kubu sebelah selalu salah, namun bagi junjungannya selalu benar tanpa cacad cela sedikitpun. Cebong merujuk orang yang seolah memberi dukungan pada kubu Jokowi, sedangkan kampret disematkan pada pendukung kubu Prabowo Subianto.
Padahal tak ada yang pasti dalam kontestasi politik, kecuali kepentingan untuk berbakti kepada bangsa dan negara. Kontestasi politik sejatinya suatu metode beradab untuk mencari dan menghasilkan pemimpin terbaik dalam sistem demokrasi.
Dan tujuan dari berpolitik adalah cerita yang happy ending, bukan sad ending!
Negara ini sudah banyak menerima tekanan dari luar, namun musuh hanya selalu dicari dari dalam.
Pandemi Covid-19 adalah bentuk nyata adanya serangan tersebut yang kebetulan datangnya dari luar Indonesia. Dimana kita sebagai makhluk hidup? Apa masih mau dipaksa berdiam diri, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Apa jadinya jika kesulitan tersebut ditambahi dengan konflik saudara di antara kita? Haruskah kita memusuhi si fulan hanya karena memiliki pandangan yang mendukung kubu tertentu, padahal dia benar? Sementara, yang kita agung-agungkan adalah kubu lainnya hanya karena kebetulan punya opini cerdas namun salah kaprah.
Seharusnya kedua kubu itu bisa bertukar pikiran secara jernih dan jujur sehingga muncul ide-ide brilian untuk melawan rongrongan pihak luar yang nyata ini.
Jokowi yang menjadi presiden sedang memberikan sinyal rekonsiliasi, karena hanya dia yang bisa meredam kebisingan nan merisaukan itu.
Ia menunjuk orang dari "kubu sebelah", yaitu Sandiaga Uno sebagai menteri pariwisata dan ekonomi kreatif setelah sebelumnya juga menunjuk Prabowo Subianto (menteri pertahanan) dan Edhy Prabowo (menteri KKP).
Rabu ini, Jokowi akan melantik enam menteri baru. Mereka adalah M Luhthfie sebagai menteri perdagangan, menggantikan Agus Suparmanto, Tri Rismaharini (menteri sosial, menggantikan Juliari Batubara), dan Budi G Sadikin (menteri kesehatan, menggantikan Letnan Jenderal TNI (Purn) dr Terawan A Putranto).
Kemudian Wahyu S Trenggono (menteri KKP menggantikan Edhy Prabowo), Yaqut Cholil Quomas (menteri agama, menggantikan Jenderal TNI (Hon) (Purn) Fachrul Razi), dan Sandiaga Uno (menteri pariwisata dan ekonomi kreatif menggantikan Wishnutama Kusubandio).
Tentu kita berharap segala amanah dan kepercayaan itu mesti dilaksanakan dengan penuh integritas oleh orang-orang yang ditunjuk. Selebihnya tentu saja ada tantangan lain karena pandemi belum selesai, kita semua harus menyelesaikan dengan segala kreasi dan inovasi yang kita miliki.
Wakil Presiden, Ma'ruf Amin, telah menyerukan kepada seluruh komponen bangsa untuk melakukan rekonsiliasi kembali hubungan persaudaraan yang sebelumnya renggang karena berbeda pandangan politik saat penyelenggaraan pemilihan umum.
Apabila warga bangsa ini masih terkotak-kotakan dalam pandangan politik berbeda, maka pembangunan dan stabilitas keamanan maupun ekonomi tentu akan ikut terganggu.
Kritik sepanjang konstruktif tentu boleh saja. Asal tidak boleh sampai ada permusuhan di antara sesama anak bangsa.