Jayapura (ANTARA) - Kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua yang diberikan pemerintah untuk Provinsi Papua  melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang diubah dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2008. UU 21/2001 telah mengatur kewenangan pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan kualitas hidup orang asli Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua terdiri 79 pasal mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan otsus, salah satunya kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.

Pemberian kewenangan tersebut dilakukan agar penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua dapat memenuhi rasa keadilan, mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat, mendukung terwujudnya penegakan hukum dan menampakkan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat asli Papua.

Namun, kebijakan otonomi Khusus (yang disebut-sebut sebagai jalan tengah antara masyarakat Papua dengan pemerintah ini akan segera berakhir. Bahkan, sebagian kalangan dengan kepentingannya masing-masing, ada yang menganggap kebijakan khusus ini gagal, namun sisanya tak memungkiri jika ada perubahan yang dibuat oleh adanya otonomi khusus.

Keberhasikan di bidang pendidikan, misalnya saja jika pada 2003 angka melek aksara di Papua dan Papua Barat sebelumnya tercatat 31 persen, maka dengan adanya otsus dapat ditekan menjadi 24 persen.

Penurunan ini dapat dilakukan pemerintah daerah karena ada anggaran yang disediakan untuk peningkatan kualitas pendidikan melalui program-program kegiatan. Belum lagi pada tiga bidang prioritas lainnya yang menjadi fokus otsus yakni kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat hingga pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan laut, bandara hingga fasilitas pelayanan publik seperti pasar dan perkantoran.

Hal itu diakui tokoh Papua yang banyak berkecimpung dalam dunia pendidikan di Bumi Cenderawasih James Modouw, mengatakan pada awal adanya otsus, komunitas adat terpencil di wilayahnya menjadi fokus perhatian untuk diberdayakan.

Pihaknya bersama gereja dan LSM terkait begitu semangat meningkatkan kualitas hidup masyarakat ini melalui pendidikan. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat ini justru terbengkelai dari perhatian pemerintah, dan pada akhirnya komunitas ini menjadi kantong atau penyumbang angka buta aksara terbesar, di mana seharusnya dari angka 24 persen bisa kembali turun menjadi 15-17 persen.

"Sehingga, hal-hal seperti inilah yang harus diperbaiki ke depannya jika otsus Papua masih akan diberikan bagi Provinsi Papua," kata James kepada Antara.

Bagi James, kebijakan otsus yang merupakan jalan tengah, hingga kini merasa bahwa belum ada hal lain yang bisa ditemukan atau ditempuh sesuai dengan konstitusi negara.

Ia mengakui, Otsus merupakan jalan tengah yang diambil negara untuk memenuhi tuntutan masyarakat Papua kala itu. Sehingga dengan apa yang sudah diberikan negara tersebut, jika ada kekurangan maka harus dicari cara untuk menyelesaikannya.

"Jadi memang harus mencari jalan, apa yang gagal itu dicari caranya agar dapat dilengkapi atau diperbaiki kedepan," ujarnya. 

Selain di bidang pendidikan, dampak otsus juga bisa dilihat dalam beberapa data makro pembangunan, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, gini rasio, pertumbuhan ekonomi hingga Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Angka kemiskinan turun

Asisten Bidang Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi Papua Muhammad Musa'ad mengatakan jika dilihat dari data-data makro pembangunan, kemiskinan kemudian IPM, lalu pertumbuhan ekonomi, gini rasio, pengangguran semuanya menunjukkan progres atau perkembangan yang baik.

Bahkan Papua sempat mendapat penghargaan karena termasuk provinsi yang menurunkan kemiskinan terbesar, pasalnya pada 2000, angka kemiskinan Papua mencapai 46 persen, namun sekarang sudah turun menjadi 26 persen.

Ada penurunan hingga 20 persen yang dapat dicapai Papua sejak tahun dimulainya otsus. Sedangkan jika pada enam bulan terakhir ini angka kemiskinan Papua ternyata meningkat, hal tersebut dikarenakan adanya pandemi.

"Faktor utamanya COVID-19, sehingga kami juga tidak bisa apa-apa, namun naiknya hanya beberapa poin saja dan tidak tinggi, lalu gini rasio sebelumnya 0,46 skrng sdh 0,38 poin, jadi artinya pengangguran dulu sebelum otsus bisa mencapai hingga 8 persen lebih, sekarang tinggal 3,6 persen saja," katanya.

Revisi Otsus Papua kembali menjadi materi menarik untuk diperbincangkan belakangan ini. Rencana pengusulan otsus jilid dua maupun revisi terus menjadi konsumsi publik, baik di daerah maupun nasional.

Musaad menjelaskan pada prinsipnya Pemerintah Provinsi Papua sesuai dengan arahan gubernur, kini tidak lagi pada posisi mengusulkan perubahan undang-undang karena usulan tersebut sudah diberikan sejak 2014, lalu 2015 sudah ada Surat Presiden kepada DPR RI untuk ditetapkan di dalam prolegnas, namun semua itu tidak terjadi. Sehingga kini tingkat koordinasi berada pada posisi Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua.

Oleh karena itu, lanjutnya, pihaknya menggunakan pasal 76 yakni mengenai pemekaran yang dapat diusulkan melalui masyarakat melakui DPRP dan MRP.

Pemprov Papua juga tetap pada posisi perubahan undang undang mendesak karena sejak beberapa tahun lalu sudah diusulkan perubahan, di mana tidak bisa bersifat parsial atau sepotong-sepotong, apalagi hanya dua pasal.

Sehingga karena sudah tidak sesuai dengan dinamika perkembangan kebutuhan kepentingan masyarakat Papua, pemerintah daerah tetap berpendirian bahwa ada lima kerangka yang harus menjadi perhatian dalam ketentuan undang-undang tersebut.

"Pertama adalah kerangka kewenangan, di mana kewenangan yang ada di otsus harus dirasionalkan kembali  sehingga kekhususannya menjadi nyata, karena dalam prinsip undang-undang otsus itu adalah pengakuan dan penyerahan kewenangan. Itu prinsip dasar, undang-undang otsus memberikan arahan untuk kewenangan-kewenangan yang harus diakui, seperti halnya hak ulayat dan ada yang harus diserahkan. Setelah itu, baru membahas kewenangan kekhususan, apakah provinsi atau pusat," ujar Musa'ad.

Yang kedua, menurut Musa'ad, yakni kerangka kelembagaan di mana setelah ada kewenangan maka butuh adanya mesin birokrasi kelembagaan untuk mengelola kewenangan itu, bagaimana mengelola hubungan antar DPRP dan MRP, bagaimana hubungan DPRP dengan Pemprov, bagaimana hubungan Pemprov dengan MRP dan lain sebagai, undang-undang otsus tersebut belum tuntas mengaturnya.

"Sehingga ini kesempatan yang baik bagi DPRP, MRP dan Pemprov  untuk memperbaiki persoalan yang ada,"katanya.

Di antara hubungan kelembagaan otoritas tersebut, bagaimana pertimbangan dan persetujuan MRP misalnya harus diatur dengan baik, menurut Musaad, supaya tidak ada lagi kesan MRP ini seperti mati suri dan tidak punya kewenangan, atau kesan Pemprov Papua bekerja sendiri, maka diatur sedemikian rupa agar tiga pilar ini menjadi satu kekuatan.

Kemudian, bagaimana hubungan provinsi dan kabupaten kota bukan karena hubungan kepentingan seperti saat ini, di mana jika berbicara mengenai otsus, maka kabupaten kota merasa bagian dari provinsi sedangkan yang lain tidak ada hubungannya.

"Kebanyakan mengarah pada Undang Undang 23 bukan 21, ini juga harus diluruskan dan diperbaiki supaya hubungan provinsi kabupaten kota menjadi kuat atau satu untuk menjalankan program-program dalam kerangka otsus," katanya lagi.

Bagian ketiga adalah keuangan di mana meskipun ada otsus, namun pengelolaan keuangan dan segala macamnya menggunakan mekanisme umum. Berbeda dengan provinsi lain, sehingga bagaimana kekhususan dalam mengelola keuangan ini, makanya Papua mengusulkan agar ini juga harus diperbaiki supaya lebih efektif.

Jangan sampai terkesan ada uang banyak, lanjut Musa'ad, tapi tidak ada efektifitasnya sehingga akan diperbaiki ke depannya. Jika perlu, diusulkan tidak perlu adanya dana DAU, DAK dan dana bagi hasil, kesemuanya itu harus masuk dalam satu kerangka dana otsus, baru diatur kembali karena selama ini yang diketahui publik besarannya mencapai triliun lebih.

"Namun yang diributkan hanya dana yang jumlahnya kecil, sedangkan yang besar yakni pada dana untuk kementerian dan lembaga hingga Rp17 triliun tidak disinggung, jadi jika ingin dikatakan ada efek dari dana ini maka semuanya harus disatukan menjadi satu sumber pembiayaan yaitu otsus," katanya lagi.

Berikutnya mengenai kebijakan pemerintahan, di mana selalu berbenturan dengan kebijakan kebijakan bersifat sektoral. Ketika ingin mengembangkan perikanan di-bypass dengan kebijakan perikanan kelautan, di mana terkadang peraturan daerah khusus (perdasus) juga harus kalah dengan peraturan menteri (permen).

Apalagi orientasi ASN, menurut mantan kepala Bappeda Papua, masa orientasinya patrilineal jadi tumbuh pada pusat semua, padahal memiliki perdasus dan akhirnya terjadilah tumpang tindih antara kebijakan di daerah dengan nasional.

"Hal ini sering terjadi, sehingga inilah yang akan diperbaiki ke depannya, lalu yang terakhir dan yang penting, harus berani menyelesaikan masalah-masalah hukum dan HAM," tegas Musa'ad.

Musa'ad menjelaskan kelima hal tersebutlah yang diperjuangkan oleh pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Papua kini Lukas Enembe dan Klemen Tinal sejak 2014, tidak hanya berbicara mengenai uang karena ke depan besaran dua persen sudah tidak ada, dan hal ini bukanlah untuk mengantisipasi kondisi kini saja, sejak lama pihaknya sudah berupaya mengantisipasinya.

"Kami sudah pikirkan bahwa suatu saat nanti hal ini akan terjadi, sehingga gubernur punya perspektif jauh ke depan dan akhirnya diusulkan untuk diperbaiki, bukan karena kini waktunya sudah mepet, kemudian dimunculkan seakan-akan waktunya terbatas," ujarnya lagi.

Kajian evaluasi otsus

Langkah Pemprov Papua mengedepankan revisi otsus disinergikan dengan kajian yang dilakukan pihak akademisi setempat. Dari sisi akademisi, pada beberapa bidang sasaran otsus, di mana tidak dapat disebutkan capaiannya optimal dari hasil evaluasi namun ada pencapaian yang tercatat.

"Di semua lini ada progresnya, tapi tidak maksimal seperti yang diharapkan, meskipun demikian tetap ada prosesnya," kata Ketua Tim Evaluasi Otsus Dr. Basir Rohrohmana kepada Antara.

Menurut Basir, hasil evaluasi yang dilakukan dari sisi akademisi sudah diserahkan kepada Gubernur Papua Lukas Enembe kala itu.

Pihaknya tidak mengevaluasi secara keseluruhan, menurut Basir, seperti pertambangan, tidak langsung tapi mengarah ke sasaran pokok saja yakni empat bidang prioritas dan dasar-dasarnya saja.

Akademisi Universitas Cenderawasih Basir mengatakan pihaknya juga melihat adanya kebijakan yang tumpang tindih, namun bukan sekedar kebijakan karena undang-undang otsus bertabrakan dengan undang-undang struktural yang ada dan itu yang menjadi masalah utama.

Seperti bidang pendidikan, menurut Basir, jika menghormati undang-undang pendidikan nasional atau daerah maka akan berbenturan dengan otsus Papua, contoh kecilnya pada pasal 56, di mana kewenangan dalam mengurus jenjang pendidikan hingga SMP dilakukan oleh kabupaten dan kota, sedangkan SMA dikembalikan lagi kewenangannya kepada provinsi.

"Padahal tuntutan otsus menyatakan semua jenis pendidikan di Papua adalah menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi," ujar Basir.

Kemudian kebijakan, memang jika dilihat beberapa kebijakan pemerintah pusat dianggap begitu jauh menginterversi penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua. Di mana, paket kebijakan itu sebetulnya cukup bagus dalam rangka mempercepat pembangunan di Papua.

Memang menurut pemerintah pusat itu cukup bagus, tapi di lain pihak memberikan dampak seakan-akan membingungkan, apakah harus mengikuti otsus ataukah kebijakan dari pusat. 

Tidak hanya itu, lanjutnya, dalam draf yang diserahkan tim kajian otsus kepada Gubernur Papua Lukas Enembe, berisi tiga poin penting yakni evaluasi otsus, pemekaran wilayah serta pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi.

Sekelumit langkah panjang perjuangan dalam mengusulkan revisi dan evaluasi otsus Papua  maka semua pihak berharap jika otonomi khusus masih diperpanjang maka kekurangan yang ada dapat dilengkapi serta diperbaiki sehingga masyarakat orang asli Papua betul-betul dapat terpenuhi kualitas hidupnya dengan diberlakukan kebijakan kekhususan pemerintah melalui revisi UU No 21 tahun 2001.
 

Pewarta : Hendrina Dian Kandipi
Editor : Muhsidin
Copyright © ANTARA 2024