Jakarta (ANTARA) - Pasien COVID-19 yang menjalani isolasi mandiri perlu memperhatikan sejumlah hal agar tak berujung duka misalnya perburukan kondisi yang bisa mengancam nyawa.
Pertama, pastikan upaya untuk memutus rantai penularan penyakit akibat infeksi virus SARS-CoV-2 itu dilakukan oleh pasien terkonfirmasi positif tanpa gejala dan bergejala ringan tanpa sesak.
Hal ini seperti diungkap Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi dalam sebuah webinar tentang fakta dan hoaks COVID-19 seputar pejuang isolasi mandiri, dikutip Minggu.
Sesak napas bisa dideteksi melalui hitung napas. Normalnya, seseorang bernapas 16-20 kali per menit. Saat napasnya terhitung di atas 24 kali per menit, maka dia sudah mengalami sesak.
Anda juga bisa memanfaatkan oximeter untuk mengukur saturasi oksigen atau berapa banyak oksigen di dalam darah Anda. Saturasi oksigen dianggap normal saat angka pada alat menunjukkan 95-100 persen.
"Kalau ada gejala sesak napas dan lemas, segeralah ke fasilitas kesehatan agar Anda lebih mudah mengakses layanan kesehatan," tutur Nadia.
Kemudian, dari sisi fasilitas, pasien sebaiknya berada di ruangan sendiri dengan ventilasi baik di rumah. Rekomendasi ini untuk memungkinkan udara segar dan bersih masuk sebanyak mungkin dan ini bisa dilakukan dengan membuka jendela.
Jika ini tidak memungkinkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan pasien perlu ditempatkan pada bagian rumah tertentu dan pergerakannya di sekitar rumah harus dibatasi.
Kemudian, bila pasien ini tinggal bersama anggota keluarga yang masuk dalam kelompok berisiko tinggi terpapar COVID-19 seperti bayi, lansia, pasien penyakit komorbid (penyerta) dan gangguan imunitas, maka perlu juga tambahan pembatas ruangan di rumah.
"Kalau tidak punya ruang sendiri, pembatas, maka lebih baik isolasi terpusat yakni di fasilitas pelayanan kesehatan (misalnya di Wisma Atlet)," tutur Nadia.
Pasien juga sebaiknya menggunakan kamar mandi dan toilet terpisah dari anggota keluarga lain yang sehat, bila memungkinkan.
Kalaupun ini tak tersedia, segeralah bersihkan ruangan menggunakan disinfektan dan pastikan pasien serta anggota yang tinggal serumah dengannya mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan kegiatan.
Selain itu, pastikan pakaian, alat makan dan seprai dicuci terpisah serta perabotan dibersihkan dengan sabun atau disinfektan. Gunakan air bersuhu 60-90 derajat Celcius saat mencuci, dan sarung tangan (bila yang mencuci bukan pasien).
Selama isoman, tetap di rumah selama 14 hari walaupun tidak bergejala, berjemur antara pukul 10.00-13.00, menerapkan etika batuk, mengenakan masker 24 jam begitu juga dengan anggota keluarga lain.
Pasien juga perlu mencatat suhu dan saturasi oksigen menggunakan oximeter atau menghitung napas.
"Isolasi mandiri selesai setelah 10 hari apabila tanpa gejala dan ditambah 3 hari bebas gejala untuk mereka yang bergejala. Setelahnya, Anda tak perlu melakukan pemeriksaan rapid atau PCR ulang," kata Nadia.
Idealnya, pencatatan dilakukan setidaknya sekali sehari untuk setiap tanda dan gejala, komplikasi atau tanda bahaya, seperti mengalami sesak napas, napas berat, mengeluh nyeri dada, tampak dehidrasi.
Untuk pasien anak-anak, biasanya mereka sering kali tiba-tiba tampak bingung, tidak mau makan, bibir atau wajah membiru.
Terkadang, pasien yang melakukan isolasi mengalami perburukan kondisi. Menurut Nadia, ini biasanya dipengaruhi kekebalan tubuhnya atau pasien sedang kondisi tubuh tidak fit.
Selain itu, ada juga risiko terkena varian baru virus salah satunya varian Delta yang mampu meningkatkan keparahan sehingga berpotensi besar menyebabkan kematian.
Terkait pasien yang bisa melakukan isoman, Dr. April Baller dari WHO menambahkan, mereka ini tidak memiliki penyakit penyerta misalnya penyakit kardiovaskular atau penyakit paru-paru kronis dan tidak berusia lanjut.
Kemudian mengenai pencatatan gejala, Kepala Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Prikasih, dr. Gia Pratama menyarankan pasien bisa membuat semacam catatan harian. Catatan ini memuat informasi mengenai gejala, suhu, saturasi oksigen, frekuensi nadi, laju napas dan keluhan lain.
Obat dan asupan nutrisi
Selama melakukan isolasi mandiri, pasien perlu mendapatkan asupan makanan bernutrisi dan obat-obatan sesuai gejala untuk membantu pemulihannya.
Nadia menuturkan, pasien bergejala ringan biasanya diresepkan dokter sejumlah obat antara lain antivirus dan sesuai gejala mereka. Bila ada demam, maka pasien dibolehkan meminum paracetamol untuk menurunkan demam.
"Prinsipnya isolasi mandiri itu kita memberi kesempatan pada tubuh untuk membangun sistem kekebalan optimal demi melawan virus. Selain fokus melawan virus, ditambah booster dengan berbagai macam obat-obatan," tutur dia.
Pastikan dosis dan cara minum obat yang tepat agar tidak memunculkan penyakit lainnya semisal sakit lambung.
Selain obat, pasien juga perlu mendapatkan asupan vitamin C cukup. Ada beberapa pilihan, yakni yang sifatnya non-acidic tiga kali sehari satu tablet (500 mg) selama 2 pekan, atau vitamin C tablet isap dua kali sehari satu tablet (500 mg) selama sebulan atau multivitamin mengandung vitamin B, C, E dan zink dua tablet sehari (satu bulan).
Vitamin lainnya yakni vitamin D satu kali sehari satu tablet 400-1000 IU, lalu obat herbal yang teregistrasi di BPOM dan obat rutin penyakit sebelumnyma misalnya hipertensi, diabetes atau asma (bila ada).
"Kalau bergejala ringan tanpa sesak biasanya diberikan Oseltamivir, atau Favipiravir, juga Azithromycin. Tetapi jangan men-stok karena obat-obatan ini harus diberikan di bawah pengawasan dokter," kata Nadia yang merekomendasikan pasien mengakses laman farmaplus.kemkes.go.id. untuk memeriksa ketersediaan obat.
Selama isoman, mereka bisa mengakses fasilitas telemedisin yang difasilitasi pemerintah melalui laman isoman.kemkes.go.id/periksa.
Di sisi lain, para pejuang isoman juga perlu memperhatikan kesehatan mental mereka. Ada berbagai cara yang bisa dilakukan antara lain berkomunikasi dengan teman-teman, membaca buku dan berhati-hati terhadap hoaks.
"Kalau kita terkena COVID-19, tidak ada hoaks yang akan membantu kita. Lebih baik tanya pada sumber-sumber yang betul-betul terpercaya," kata Nadia.
Pertama, pastikan upaya untuk memutus rantai penularan penyakit akibat infeksi virus SARS-CoV-2 itu dilakukan oleh pasien terkonfirmasi positif tanpa gejala dan bergejala ringan tanpa sesak.
Hal ini seperti diungkap Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi dalam sebuah webinar tentang fakta dan hoaks COVID-19 seputar pejuang isolasi mandiri, dikutip Minggu.
Sesak napas bisa dideteksi melalui hitung napas. Normalnya, seseorang bernapas 16-20 kali per menit. Saat napasnya terhitung di atas 24 kali per menit, maka dia sudah mengalami sesak.
Anda juga bisa memanfaatkan oximeter untuk mengukur saturasi oksigen atau berapa banyak oksigen di dalam darah Anda. Saturasi oksigen dianggap normal saat angka pada alat menunjukkan 95-100 persen.
"Kalau ada gejala sesak napas dan lemas, segeralah ke fasilitas kesehatan agar Anda lebih mudah mengakses layanan kesehatan," tutur Nadia.
Kemudian, dari sisi fasilitas, pasien sebaiknya berada di ruangan sendiri dengan ventilasi baik di rumah. Rekomendasi ini untuk memungkinkan udara segar dan bersih masuk sebanyak mungkin dan ini bisa dilakukan dengan membuka jendela.
Jika ini tidak memungkinkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan pasien perlu ditempatkan pada bagian rumah tertentu dan pergerakannya di sekitar rumah harus dibatasi.
Kemudian, bila pasien ini tinggal bersama anggota keluarga yang masuk dalam kelompok berisiko tinggi terpapar COVID-19 seperti bayi, lansia, pasien penyakit komorbid (penyerta) dan gangguan imunitas, maka perlu juga tambahan pembatas ruangan di rumah.
"Kalau tidak punya ruang sendiri, pembatas, maka lebih baik isolasi terpusat yakni di fasilitas pelayanan kesehatan (misalnya di Wisma Atlet)," tutur Nadia.
Pasien juga sebaiknya menggunakan kamar mandi dan toilet terpisah dari anggota keluarga lain yang sehat, bila memungkinkan.
Kalaupun ini tak tersedia, segeralah bersihkan ruangan menggunakan disinfektan dan pastikan pasien serta anggota yang tinggal serumah dengannya mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan kegiatan.
Selain itu, pastikan pakaian, alat makan dan seprai dicuci terpisah serta perabotan dibersihkan dengan sabun atau disinfektan. Gunakan air bersuhu 60-90 derajat Celcius saat mencuci, dan sarung tangan (bila yang mencuci bukan pasien).
Selama isoman, tetap di rumah selama 14 hari walaupun tidak bergejala, berjemur antara pukul 10.00-13.00, menerapkan etika batuk, mengenakan masker 24 jam begitu juga dengan anggota keluarga lain.
Pasien juga perlu mencatat suhu dan saturasi oksigen menggunakan oximeter atau menghitung napas.
"Isolasi mandiri selesai setelah 10 hari apabila tanpa gejala dan ditambah 3 hari bebas gejala untuk mereka yang bergejala. Setelahnya, Anda tak perlu melakukan pemeriksaan rapid atau PCR ulang," kata Nadia.
Idealnya, pencatatan dilakukan setidaknya sekali sehari untuk setiap tanda dan gejala, komplikasi atau tanda bahaya, seperti mengalami sesak napas, napas berat, mengeluh nyeri dada, tampak dehidrasi.
Untuk pasien anak-anak, biasanya mereka sering kali tiba-tiba tampak bingung, tidak mau makan, bibir atau wajah membiru.
Terkadang, pasien yang melakukan isolasi mengalami perburukan kondisi. Menurut Nadia, ini biasanya dipengaruhi kekebalan tubuhnya atau pasien sedang kondisi tubuh tidak fit.
Selain itu, ada juga risiko terkena varian baru virus salah satunya varian Delta yang mampu meningkatkan keparahan sehingga berpotensi besar menyebabkan kematian.
Terkait pasien yang bisa melakukan isoman, Dr. April Baller dari WHO menambahkan, mereka ini tidak memiliki penyakit penyerta misalnya penyakit kardiovaskular atau penyakit paru-paru kronis dan tidak berusia lanjut.
Kemudian mengenai pencatatan gejala, Kepala Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Prikasih, dr. Gia Pratama menyarankan pasien bisa membuat semacam catatan harian. Catatan ini memuat informasi mengenai gejala, suhu, saturasi oksigen, frekuensi nadi, laju napas dan keluhan lain.
Obat dan asupan nutrisi
Selama melakukan isolasi mandiri, pasien perlu mendapatkan asupan makanan bernutrisi dan obat-obatan sesuai gejala untuk membantu pemulihannya.
Nadia menuturkan, pasien bergejala ringan biasanya diresepkan dokter sejumlah obat antara lain antivirus dan sesuai gejala mereka. Bila ada demam, maka pasien dibolehkan meminum paracetamol untuk menurunkan demam.
"Prinsipnya isolasi mandiri itu kita memberi kesempatan pada tubuh untuk membangun sistem kekebalan optimal demi melawan virus. Selain fokus melawan virus, ditambah booster dengan berbagai macam obat-obatan," tutur dia.
Pastikan dosis dan cara minum obat yang tepat agar tidak memunculkan penyakit lainnya semisal sakit lambung.
Selain obat, pasien juga perlu mendapatkan asupan vitamin C cukup. Ada beberapa pilihan, yakni yang sifatnya non-acidic tiga kali sehari satu tablet (500 mg) selama 2 pekan, atau vitamin C tablet isap dua kali sehari satu tablet (500 mg) selama sebulan atau multivitamin mengandung vitamin B, C, E dan zink dua tablet sehari (satu bulan).
Vitamin lainnya yakni vitamin D satu kali sehari satu tablet 400-1000 IU, lalu obat herbal yang teregistrasi di BPOM dan obat rutin penyakit sebelumnyma misalnya hipertensi, diabetes atau asma (bila ada).
"Kalau bergejala ringan tanpa sesak biasanya diberikan Oseltamivir, atau Favipiravir, juga Azithromycin. Tetapi jangan men-stok karena obat-obatan ini harus diberikan di bawah pengawasan dokter," kata Nadia yang merekomendasikan pasien mengakses laman farmaplus.kemkes.go.id. untuk memeriksa ketersediaan obat.
Selama isoman, mereka bisa mengakses fasilitas telemedisin yang difasilitasi pemerintah melalui laman isoman.kemkes.go.id/periksa.
Di sisi lain, para pejuang isoman juga perlu memperhatikan kesehatan mental mereka. Ada berbagai cara yang bisa dilakukan antara lain berkomunikasi dengan teman-teman, membaca buku dan berhati-hati terhadap hoaks.
"Kalau kita terkena COVID-19, tidak ada hoaks yang akan membantu kita. Lebih baik tanya pada sumber-sumber yang betul-betul terpercaya," kata Nadia.