Jakarta (ANTARA) - Dari kejauhan Natalia Partyka tak jauh berbeda dari yang lain.

Footwork-nya (teknik pengaturan langkah kaki agar lebih efektif saat bermain) luar biasa. Backhand dan forehand-nya keras sekali. Refleksnya sangat bagus. Pertahanannya kokoh.

Dia terlihat bagaikan petenis meja papan atas dunia.

Namun begitu dilihat dari dekat, dia lebih menakjubkan lagi.

Saat bersiap mengambil servis, Partyka yang sejak lahir sudah tanpa lengan kanan, dengan hati-hati menyeimbangkan bola di ujung siku sebelum melemparkan bola ke udara untuk kemudian jatuh menimpa bidang bet yang digenggam satu-satunya lengan yang dia punya, untuk kemudian dia arahkan kepada lawan.

Itu gambaran Partyka saat tampil pada Olimpiade London 2012.

Kini, dalam usianya yang sudah 32 tahun, Partyka menjadi salah satu atlet termenonjol selama Paralimpiade Tokyo 2020.

Tokyo 2020 adalah Paralimpiade keenamnya. Tapi juga dia OIimpian dari empat Olimpiade yang pernah diikutinya. Dalam kata lain, dia mengikuti Olimpiade sekaligus Paralimpiade, namun di Tokyo ini dia hanya mengikuti Paralimpiade.

Dia menjadi satu dari 15 Paralimpian sepanjang masa yang pernah tampil dalam Olimpiade dan Paralimpiade sekaligus.

Sembilan tahun lalu dalam Olimpiade London, dia dikalahkan atlet Belanda Jie Lin dalam babak 32 besar.

Saat itu dia berkata, "bagi saya disabilitas itu biasa. Saya bermain di lapangan yang sama dengan yang lain. Saya melakukan latihan yang sama."

"Kita punya tujuan yang sama, impian yang sama dan saya bisa bermain seperti mereka. Saya agak bosan terus-terusan ditanya soal disabilitas."

Namun dia senang pencapaian dan aksi lapangannya menjadi inspirasi untuk yang lain.

"Mungkin orang melihat saya menjadi sadar bahwa disabilitas mereka bukan akhir segalanya," sambung dia.

"Mungkin orang melihat saya dan kemudian berpikiran bahwa mereka bisa melakukan hal lebih besar ketimbang yang mereka kira. Saya memang inspirasi, saya tak bisa menolaknya."

Tenis meja panggilan hidupnya

Kini di Tokyo, Paralimpian superstar Polandia ini sudah mengawali penampilan Paralimpiade keenamnya dengan menang straight set 3-0 atas atlet Jepang Takeuchi Nozomoi dalam babak pendahuluan kelas 10 tunggal putri para-tenis meja Paralimpiade Tokyo 2020.

Sekalipun sudah biasa menang dan tengah memburu medali emas tunggal putri para-tenis meja yang kelimanya secara berturut-turut dalam Paralimpiade, Partyka menganggap Paralimpiade kali ini kompetisi yang paling sengit.

"Saya bisa bilang semua pemain putri dalam kategori saya sudah banyak mencapai kemajuan. Mereka sungguh jauh lebih baik dibandingkan dengan beberapa tahun lalu, jadi saya bisa katakan levelnya nyaris sama," kata dia kepada laman Olympics.com setelah mengalahkan Nozomoi.

Tetap saja, dia haus gelar, tak pernah puas dengan satu medali atau satu kemenangan. "Menang", kata dia, "terasa lebih baik" sekalipun tak akan bisa ditempuh dengan cara mudah.

Jika lawan-lawannya nanti tampil semakin baik dan semakin lapar, maka itu artinya dia pun harus lebih baik lagi dari yang sudah-sudah.

Dia sendiri sudah terbiasa tampil di atas rata-rata guna menjadi yang terbaik. Dan sejak awal karirnya dalam Paralimpiade, Partyka sudah memastikan namanya selalu terpatri dalam hati semua orang.

Dia melewati Paralimpiade perdananya di Sydney pada 2000, dalam usia 11 tahun, sehingga membuatnya menjadi atlet Paralimpiade termuda sepanjang masa, bahkan tak ada atlet Olimpiade yang melakukan debut dalam usia semuda dia.

Di Sydney itu semua orang semakin terpukau manakala si anak ajaib dari Polandia ini memenangkan dua pertandingan sebelum terhenti pada babak ketiga.

Tersenyum mengingat pengalamannya di Sydney itu, Partyka bijak berkata, "Paralimpiade Sydney membantu saya mempersiapkan diri dalam menghadapi Paralimpiade-paralimpiade berikutnya."

Kata-kata ini bukan bualan, pun bukan demi menghibur diri. Karena setelah kegagalan di Sydney itu, Partyka memenangi total lima emas Paralimpiade dalam disiplin yang dia mainkan, mulai dari Olimpiade Athena 2004.

Dan empat tahun setelah merebut medali emas Paralimpiade pertamanya di Athena 2004, Partyka memutuskan tampil baik dalam Olimpiade maupun pada Paralimpiade Beijing 2008.

Bersama atlet Afrika Selatan Natalie du Toit, dia menjadi dua atlet yang tampil dalam Olimpiade sekaligus Paralimpiade di Beijing 2008 itu.

"Selalu menjadi impian saya bisa lolos Olimpiade," kata dia mengenang Olimpiade pertamanya itu.

“Yang pertama saya itu gila banget karena saya menghabiskan waktu satu jam di zona media usai menyelesaikan pertandingan. Semua penonton mendukung saya, dan media tertarik kepada kisah hidup saya."

Pengalaman di Beijing membuat Partyka ketagihan. Dia mengulanginya lagi pada Olimpiade London 2012 ketika lolos ke babak 32 besar tunggal putri Olimpiade. Hal ini sungguh mengungkapkan kekuatan sejatinya dalam memainkan tenis meja.

Belum mau berhenti

Di London 2012 itu pun dia berkata, "Segala hal tentang diri saya tercipta dari tenis meja. Cabang olahraga ini mengajari saya tentang 'kerja keras', 'pantang menyerah', dan 'berjuanglah selalu demi mimpimu'".

Ketika laman Olympics.com bertanya, manakah yang paling berat, Olimpiade atau Paralimpiade? Partyka tak ragu menjawab.

"Olimpiade jauh lebih mudah karena saya tak punya tekanan apa-apa. Tak ada yang mengharapkan saya memperoleh medali, saya cuma menikmati Olimpiade tanpa ada stres dan tekanan apa pun."

Tetapi dalam Paralimpiade semua itu berbeda, sambung dia. "Ini enggak gampang tapi saya senang sekali masih bisa mengalahkan semua orang."

Pengoleksi sekitar 30 medali kejuaraan dunia ini juga berbicara tentang keseimbangan dalam bagaimana Paralimpiade disajikan, termasuk di Tokyo ini.

Dalam soal ini, dia mendukung presentasi bahwa penyandang disabilitas itu juga manusia biasa seperti yang lain.

Untuk itu pula dia sangat menyukai video kampanye "WeThe15" yang dipresentasikan pada pembukaan Paralimpiade Tokyo dua hari lalu. "WeThe15" mengacu kepada jumlah penyandang disabilitas di seluruh dunia yang mencapai 15 persen dari total penduduk dunia.

"Video itu adalah cara yang baik dalam menunjukkan kepada semua orang bertubuh lengkap bahwa orang-orang difabel itu ada dan mereka juga normal. Kami menjalani kehidupan normal,” kata dia, artikulatif.

Tetapi Partyka juga ingin mendapatkan pengakuan bahwa betapa hebatnya paralimpian-paralimpian itu. Bagi dia sendiri, kualitas "superhero" paralimpian-paralimpian adalah juga sumber inspirasinya.

“Setiap kali saya mengikuti Paralimpiade, saya melihat semua atlet dan orang punya kisahnya masing-masing dan itu menginspirasi sekali."

Inspirasi itu pula yang menguatkan tekadnya untuk tak cepat-cepat meninggalkan arena sehingga sekalipun Tokyo 2020 menjadi Paralimpiade yang keenamnya, paralimpian Polandia ini belum terpikir mengakhiri karir.

“Saya seperti veteran. Tapi saya belum setua itu! Saya baru berusia 32 tahun, jadi saya kira saya masih muda, dan masih cukup muda untuk terus bermain."

"Anda tahu, tenis meja adalah panggilan hati saya dan itu juga mata pencaharian saya, jadi saya kira saya bisa merengkuh apa yang saya bisa rengkuh, oleh karena itu saya belum terpikir mengakhiri karir."

Dia justru fokus untuk kian kuat mencengkeram dominasi para-tenis meja.

Kamis 26 Agustus ini pukul 14.20 WIB dia akan menjajal atlet Paralimpiade Turki Meve Cansu Demir, untuk menapaki lagi jalan mendaki menuju dominasi itu.

Pewarta : Jafar M Sidik
Editor : Muhsidin
Copyright © ANTARA 2024