Jakarta (ANTARA) - Bagi para mahasiswa yang belajar ilmu politik di tahun 1970-1980an, serangan Rusia ke Ukraina harusnya tidak mengejutkan. Sejak berakhirnya perang dingin tahun 1989, para pemerhati politik luar negeri tampaknya melupakan pentingnya percaturan keseimbangan kekuasaan (balance of power) dan menghindari prinsip Machiavelian realpolitik dalam hubungan international.
Terbuai dengan harapan utopia dunia multipolar baru pascabubarnya Uni Soviet di tahun 1991 dengan karakteristik egaliter humanisme yang tinggi, kita seolah tidak mengindahkan diktum dari Thomas Hobbes sampai Carl von Clausewitz, abai pengalaman sejarah dari Majapahit sampai Mataram. Bahwa politik (luar negeri) secara esensial berkiblat pada kekuasaan fisik ataupun pengaruh, dan dalam ekosistem yang anarkis di mana perang – senjata, ekonomi, ideologi maupun siber – semata menjadi alat mencapai tujuan akhir.
Dengan demikian, solusi apapun terkait krisis di Ukraina hari ini tidak bisa ditentukan hukum internasional, pembelaan hak asasi ataupun argumentasi kedaulatan. Penyelesaian krisis ini secara pragmatis harus melalui pendekatan realpolitik dan keseimbangan kekuasaan negara digdaya.
Tulisan ini tidak membenarkan agresi militer Rusia ataupun menaifkan kedaulatan Republik Rakyat Ukraina. Namun para nakhoda politik luar negeri kita mahfum bahwa serangan Rusia bersumbu dari perambahan lingkup pengaruh yang menjadi karakteristik politik daratan Eropa sejak zaman Napoleon Bonaparte.
Pada tahun 1999 dan 2004 NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) menambah 10 anggota baru yang semuanya mantan negara bagian atau satelit Uni Soviet. Walau merasa keberatan, Moskow saat itu tidak mengemukakan protes yang berkepanjangan.
Namun ketika KTT NATO 2008 di Bucharest mendeklarasikan rencana memasukkan Georgia dan Ukraina sebagai anggota, ini tidak bisa ditolerir oleh Rusia. Persepsi diperburuk dengan proses integrasi Ukraina ke dalam Uni Eropa. Rencana memasukkan dua negara baru ini dalam NATO menjadi suatu kesalahan taktis Amerika dan sekutunya yang merusak keseimbangan kekuasaan yang rawan di Eropa.
Seketika persepsi Moskow terhadap NATO berubah: Dari persaingan di kancah internasional menjadi ancaman keamanan langsung terhadap Rusia dengan bahaya nyata kepada kelangsungan rezim Putin.
Inilah yang dimaksud Presiden Rusia Vladimir Putin ketika pada 23 Februari 2022 menyampaikan, "keprihatinan dan kekhawatiran terbesar kami...saya mengacu pada ekspansi NATO ke arah timur, yang memindahkan infrastruktur militernya semakin dekat ke perbatasan Rusia".
Tanpa membenarkan, tapi ini kenyataanya ini hal yang juga dilakukan Israel saat melancarkan serangan preemptive ke Mesir dan Suriah tahun 1967.
Empat bulan setelah KTT NATO di Bucharest, Rusia menyerang Georgia dengan alasan membela rakyat Abkhazia dan Ossetia Selatan. Dalih yang sama kini digunakan untuk membela penduduk Donetsk dan Luhansk dalam wilayah Ukraina.
Kita tidak boleh lupa bahwa sejak 2004, Ukraina telah dua kali melewati protes massal dari rakyat - Revolusi Oranye tahun 2004 dan Euromaidan 2014 - yang keduanya menjatuhkan seorang pemimpin Ukraina yang pro-Rusia.
Tidak berlebihan jika Moskow berprasangka "revolusi" terus akan merambah melewati perbatasan dan suatu hari terjadi di Rusia. Tidak mengherankan juga pascaEuromaidan, Rusia langsung menyerang semenanjung Krimea untuk mengamankan pangkalan mereka di Sevastopol.
Akademisi ternama Paul Kennedy menulis: “Semakin besar sebuah negara berkuasa, semakin banyak investasi mereka untuk mempertahankan kekuasaan tersebut”.
Pergerakan NATO, khususnya kehendak Amerika Serikat, terhadap Ukraina mengikis investasi terhadap kejayaan Rusia yang telah dibangun oleh Putin selama dua dekade terakhir.
Lantas apa solusi untuk krisis Ukraina? Dan apa peran Indonesia?
Untuk menjawab itu, marilah kita pragmatis.
Pertama, jangan berharap banyak dari PBB. Yang berkonflik adalah negara pemegang hak veto. Selain dari seruan, imbauan, dan bantuan kemanusiaan untuk penduduk sipil, sebenarnya tidak banyak yang bisa dilakukan PBB.
Dalam hal ini, Kementerian Luar Negeri menunjukkan prinsip kehati-hatian yang terukur dengan tidak serta merta membebek sanksi yang diterapkan Amerika, NATO dan Jepang.
Pejambon lebih baik membangun suatu koalisi kemanusiaan internasional guna menolong pengungsi dan korban sipil di Ukraina. Mirip dengan inisiatif yang ditunjukkan untuk Rohingya pada 2018. Inisiatif ini tidak akan menyinggung Rusia, dan tidak akan mengurangi kredensial politik Indonesia.
Hal itu sudah tercermin dalam pernyataan Presiden Jokowi (22/2/2022): "Saya memiliki pandangan yang sama dengan Sekjen PBB Antonio Guterres bahwa penanganan krisis Ukraina harus dilakukan secara cermat agar bencana besar bagi umat manusia bisa dihindarkan".
Kedua, apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi agar “semua pihak yang terlibat harus menahan diri” sangat tepat. Indonesia hendaknya terus menyerukan dan melakukan diplomasi agar semua pihak menahan diri. Konflik tidak akan melewati perbatasan barat Ukraina jika Amerika dan NATO tidak bereaksi secara militer.
Ketiga, belajarlah dari sejarah Eropa itu sendiri. Dalam pergumulan persaingan di Eropa sejak era Klemens von Metternich, selalu dibentuk zona penyangga di antara negara kuasa yang bersaing agar konflik kontak langsung bisa dihindari. Itulah yang terjadi di abad 19, ketika Belgia menjadi "buffer" antara Kerajaan Prancis, Prussia dan Belanda. Demikian pula Finlandia saat era Perang Dingin. Secara "defacto", Ukraina sejak kemerdekaannya di tahun 1991 menjadi sebuah "buffer state". Mirip dengan Finlandia. Namun status quo itu kemudian perlahan bergeser sebagaimana yang diceritakan di atas.
Kini saatnya mengembalikan Ukraina dalam konteks konstelasi perimbangan tersebut jika kita ingin de-eskalasi konflik di Eropa menjadi tren ke depan. Namun ada satu syarat utama untuk itu terjadi, yaitu pemerintahan di Kiev harus menemukan suatu modus "vivendi" agar rakyat Ukraina dan mereka yang tinggal di Donetsk dan Luhansk dapat hidup berdampingan.
Mungkin usulan-usulan ini terkesan kasar, tidak manusiawi dan melecehkan hak rakyat Ukraina. Namun alternatif skenario saat ini hanya dua: Eskalasi militer oleh Amerika dan NATO yang berujung konflik terbuka di Eropa, atau Ukraina menjadi negara boneka 100 persen berada dalam kekuasaan Rusia sebagaimana negara satelit di zaman Uni Soviet.
Setidaknya solusi ini memberikan perdamaian dan harapan bahwa Ukraina nantinya tetap bisa berdaulat sebagai sebuah republik yang memainkan peran netral sebagai "buffer state" agar Amerika Serikat, NATO dan Rusia tidak "over reach" dalam strategi politik luar negeri mereka.
Marilah kita pragmatis dan camkan apa yang disampaikan ahli politik Amerika Henry Kissinger bahwa “diplomasi adalah seni membendung kekuasaan”.
Terbuai dengan harapan utopia dunia multipolar baru pascabubarnya Uni Soviet di tahun 1991 dengan karakteristik egaliter humanisme yang tinggi, kita seolah tidak mengindahkan diktum dari Thomas Hobbes sampai Carl von Clausewitz, abai pengalaman sejarah dari Majapahit sampai Mataram. Bahwa politik (luar negeri) secara esensial berkiblat pada kekuasaan fisik ataupun pengaruh, dan dalam ekosistem yang anarkis di mana perang – senjata, ekonomi, ideologi maupun siber – semata menjadi alat mencapai tujuan akhir.
Dengan demikian, solusi apapun terkait krisis di Ukraina hari ini tidak bisa ditentukan hukum internasional, pembelaan hak asasi ataupun argumentasi kedaulatan. Penyelesaian krisis ini secara pragmatis harus melalui pendekatan realpolitik dan keseimbangan kekuasaan negara digdaya.
Tulisan ini tidak membenarkan agresi militer Rusia ataupun menaifkan kedaulatan Republik Rakyat Ukraina. Namun para nakhoda politik luar negeri kita mahfum bahwa serangan Rusia bersumbu dari perambahan lingkup pengaruh yang menjadi karakteristik politik daratan Eropa sejak zaman Napoleon Bonaparte.
Pada tahun 1999 dan 2004 NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) menambah 10 anggota baru yang semuanya mantan negara bagian atau satelit Uni Soviet. Walau merasa keberatan, Moskow saat itu tidak mengemukakan protes yang berkepanjangan.
Namun ketika KTT NATO 2008 di Bucharest mendeklarasikan rencana memasukkan Georgia dan Ukraina sebagai anggota, ini tidak bisa ditolerir oleh Rusia. Persepsi diperburuk dengan proses integrasi Ukraina ke dalam Uni Eropa. Rencana memasukkan dua negara baru ini dalam NATO menjadi suatu kesalahan taktis Amerika dan sekutunya yang merusak keseimbangan kekuasaan yang rawan di Eropa.
Seketika persepsi Moskow terhadap NATO berubah: Dari persaingan di kancah internasional menjadi ancaman keamanan langsung terhadap Rusia dengan bahaya nyata kepada kelangsungan rezim Putin.
Inilah yang dimaksud Presiden Rusia Vladimir Putin ketika pada 23 Februari 2022 menyampaikan, "keprihatinan dan kekhawatiran terbesar kami...saya mengacu pada ekspansi NATO ke arah timur, yang memindahkan infrastruktur militernya semakin dekat ke perbatasan Rusia".
Tanpa membenarkan, tapi ini kenyataanya ini hal yang juga dilakukan Israel saat melancarkan serangan preemptive ke Mesir dan Suriah tahun 1967.
Empat bulan setelah KTT NATO di Bucharest, Rusia menyerang Georgia dengan alasan membela rakyat Abkhazia dan Ossetia Selatan. Dalih yang sama kini digunakan untuk membela penduduk Donetsk dan Luhansk dalam wilayah Ukraina.
Kita tidak boleh lupa bahwa sejak 2004, Ukraina telah dua kali melewati protes massal dari rakyat - Revolusi Oranye tahun 2004 dan Euromaidan 2014 - yang keduanya menjatuhkan seorang pemimpin Ukraina yang pro-Rusia.
Tidak berlebihan jika Moskow berprasangka "revolusi" terus akan merambah melewati perbatasan dan suatu hari terjadi di Rusia. Tidak mengherankan juga pascaEuromaidan, Rusia langsung menyerang semenanjung Krimea untuk mengamankan pangkalan mereka di Sevastopol.
Akademisi ternama Paul Kennedy menulis: “Semakin besar sebuah negara berkuasa, semakin banyak investasi mereka untuk mempertahankan kekuasaan tersebut”.
Pergerakan NATO, khususnya kehendak Amerika Serikat, terhadap Ukraina mengikis investasi terhadap kejayaan Rusia yang telah dibangun oleh Putin selama dua dekade terakhir.
Lantas apa solusi untuk krisis Ukraina? Dan apa peran Indonesia?
Untuk menjawab itu, marilah kita pragmatis.
Pertama, jangan berharap banyak dari PBB. Yang berkonflik adalah negara pemegang hak veto. Selain dari seruan, imbauan, dan bantuan kemanusiaan untuk penduduk sipil, sebenarnya tidak banyak yang bisa dilakukan PBB.
Dalam hal ini, Kementerian Luar Negeri menunjukkan prinsip kehati-hatian yang terukur dengan tidak serta merta membebek sanksi yang diterapkan Amerika, NATO dan Jepang.
Pejambon lebih baik membangun suatu koalisi kemanusiaan internasional guna menolong pengungsi dan korban sipil di Ukraina. Mirip dengan inisiatif yang ditunjukkan untuk Rohingya pada 2018. Inisiatif ini tidak akan menyinggung Rusia, dan tidak akan mengurangi kredensial politik Indonesia.
Hal itu sudah tercermin dalam pernyataan Presiden Jokowi (22/2/2022): "Saya memiliki pandangan yang sama dengan Sekjen PBB Antonio Guterres bahwa penanganan krisis Ukraina harus dilakukan secara cermat agar bencana besar bagi umat manusia bisa dihindarkan".
Kedua, apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi agar “semua pihak yang terlibat harus menahan diri” sangat tepat. Indonesia hendaknya terus menyerukan dan melakukan diplomasi agar semua pihak menahan diri. Konflik tidak akan melewati perbatasan barat Ukraina jika Amerika dan NATO tidak bereaksi secara militer.
Ketiga, belajarlah dari sejarah Eropa itu sendiri. Dalam pergumulan persaingan di Eropa sejak era Klemens von Metternich, selalu dibentuk zona penyangga di antara negara kuasa yang bersaing agar konflik kontak langsung bisa dihindari. Itulah yang terjadi di abad 19, ketika Belgia menjadi "buffer" antara Kerajaan Prancis, Prussia dan Belanda. Demikian pula Finlandia saat era Perang Dingin. Secara "defacto", Ukraina sejak kemerdekaannya di tahun 1991 menjadi sebuah "buffer state". Mirip dengan Finlandia. Namun status quo itu kemudian perlahan bergeser sebagaimana yang diceritakan di atas.
Kini saatnya mengembalikan Ukraina dalam konteks konstelasi perimbangan tersebut jika kita ingin de-eskalasi konflik di Eropa menjadi tren ke depan. Namun ada satu syarat utama untuk itu terjadi, yaitu pemerintahan di Kiev harus menemukan suatu modus "vivendi" agar rakyat Ukraina dan mereka yang tinggal di Donetsk dan Luhansk dapat hidup berdampingan.
Mungkin usulan-usulan ini terkesan kasar, tidak manusiawi dan melecehkan hak rakyat Ukraina. Namun alternatif skenario saat ini hanya dua: Eskalasi militer oleh Amerika dan NATO yang berujung konflik terbuka di Eropa, atau Ukraina menjadi negara boneka 100 persen berada dalam kekuasaan Rusia sebagaimana negara satelit di zaman Uni Soviet.
Setidaknya solusi ini memberikan perdamaian dan harapan bahwa Ukraina nantinya tetap bisa berdaulat sebagai sebuah republik yang memainkan peran netral sebagai "buffer state" agar Amerika Serikat, NATO dan Rusia tidak "over reach" dalam strategi politik luar negeri mereka.
Marilah kita pragmatis dan camkan apa yang disampaikan ahli politik Amerika Henry Kissinger bahwa “diplomasi adalah seni membendung kekuasaan”.