Guru Besar UI: HOA dengan Freeport menyisahkan masalah
Bila terjadi sengketa atas HoA dan dibawa ke lembaga penyelesaian sengketa maka menjadi pertanyaan apakah HoA hanya merupakan ikatan moral atau ikatan hukum?. Ini tentu bisa melemahkan posisi Inalum
Jakarta (Antaranews Papua) - Heads of Agreement (HoA) yang ditandatangani oleh Inalum, Freeport McMoran dan Rio Tinto pada Kamis (12/7) menyisakan permasalahan terkait dengan status HoA dan harga pembelian.
"Menurut menteri BUMN pada konferensi pers dinyatakan HoA mengikat. Sementara dalam rilis dari laman London Stock Exchange disebutkan bahwa Rio Tinto melaporkan HoA sebagai perjanjian yang tidak mengikat (non-binding agreement)," ujar Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana di Jakarta, Jumat.
Hal ini perlu mendapat klarifikasi mengingat status binding dan non-binding agreement mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda.
"Bila terjadi sengketa atas HoA dan dibawa ke lembaga penyelesaian sengketa maka menjadi pertanyaan apakah HoA hanya merupakan ikatan moral atau ikatan hukum?. Ini tentu bisa melemahkan posisi Inalum," ungkap Hikmahanto.
Selanjutnya, dalam laman London Stock Exchange juga disebutkan bahwa harga penjualan 40 persen participating Interest disebutkan sebesar 3,5 Miliar dolar AS.
Harga tersebut sepertinya setelah memperhitungkan perpanjangan konsesi PTFI hingga 2041.
Dalam hal demikian sebaiknya, lanjut dia, Inalum tidak melakukan pembelian sebelum keluarnya ijin perpanjangan dari Kementerian ESDM.
"Bila tidak maka manajemen Inalum pada saat ini di kemudian hari ketika telah tidak menjabat dapat diduga oleh aparat penegak hukum telah melakukan tindak pidana korupsi," kata dia.
Hal ini karena manajemen dianggap telah merugikan keuangan negara. Kerugian negara dianggap terjadi karena harga pembelian participating interest didasarkan harga bila mendapat perpanjangan.
"Padahal izin perpanjangan dari Kementerian ESDM pada saat perjanjian jual beli participating interest dilakukan belum diterbitkan," ujar Hikmahanto.
"Menurut menteri BUMN pada konferensi pers dinyatakan HoA mengikat. Sementara dalam rilis dari laman London Stock Exchange disebutkan bahwa Rio Tinto melaporkan HoA sebagai perjanjian yang tidak mengikat (non-binding agreement)," ujar Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana di Jakarta, Jumat.
Hal ini perlu mendapat klarifikasi mengingat status binding dan non-binding agreement mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda.
"Bila terjadi sengketa atas HoA dan dibawa ke lembaga penyelesaian sengketa maka menjadi pertanyaan apakah HoA hanya merupakan ikatan moral atau ikatan hukum?. Ini tentu bisa melemahkan posisi Inalum," ungkap Hikmahanto.
Selanjutnya, dalam laman London Stock Exchange juga disebutkan bahwa harga penjualan 40 persen participating Interest disebutkan sebesar 3,5 Miliar dolar AS.
Harga tersebut sepertinya setelah memperhitungkan perpanjangan konsesi PTFI hingga 2041.
Dalam hal demikian sebaiknya, lanjut dia, Inalum tidak melakukan pembelian sebelum keluarnya ijin perpanjangan dari Kementerian ESDM.
"Bila tidak maka manajemen Inalum pada saat ini di kemudian hari ketika telah tidak menjabat dapat diduga oleh aparat penegak hukum telah melakukan tindak pidana korupsi," kata dia.
Hal ini karena manajemen dianggap telah merugikan keuangan negara. Kerugian negara dianggap terjadi karena harga pembelian participating interest didasarkan harga bila mendapat perpanjangan.
"Padahal izin perpanjangan dari Kementerian ESDM pada saat perjanjian jual beli participating interest dilakukan belum diterbitkan," ujar Hikmahanto.