Purwokerto (ANTARA) - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia mendorong dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan mempertegas beberapa hal seperti masalah pencalonan, praktik politik uang, dan sebagainya.
"Ini memang berbeda ya. Ini karena pilkada tidak masuk dalam pemilu, maka (pilkada) tidak masuk ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu," kata Ketua Bawaslu RI Abhan.saat konferensi pers yang digelar Bawaslu Kabupaten Banyumas di Purwokerto, Jawa Tengah, Minggu sore.
Dalam hal ini, UU Pilkada tersebut adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi undang-undang.
Ia mengakui dalam UU Pilkada, pengawasan dilakukan oleh panitia pengawas (Panwas) di tingkat kabupaten/kota maupun panwaslu provinsi, sedangkan dalam UU Pemilu dilakukan oleh Bawaslu.
Menurut dia, Bawaslu memiliki fungsi yang sama dengan Panwaslu seperti yang dimaksud di dalam UU Pilkada, perbedaannya hanya nomenklaturnya.
"Saat ini, ada teman-teman dari kabupaten/kota yang melakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi agar nomenklatur panwas pemilihan itu yang dimaksud adalah Bawaslu kabupaten/kota yang ada sekarang ini. Tentu tidak akan efektif kalau ada dua lembaga pengawas, Bawaslu dan panwas pemilihan," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, beberapa Bawaslu kabupaten/kota mengajukan uji materi di MK dan sekarang sudah didaftar sehingga tinggal menunggu sidangnya.
Abhan mengatakan hal lain yang sangat mendesak sekali kalau seandainya ada revisi terhadap UU Pilkada adalah soal peraturan bagi calon kepala daerah yang pernah menjadi narapidana kasus korupsi.
"Itu yang saya kira harus ditegaskan di dalam undang-undang. Jangan sampai, ini nanti jadi pertentangan kembali antara PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) dan UU," katanya.
Menurut dia, hal itu disebabkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada, red.), orang yang pernah menjadi napi kasus korupsi masih bisa mencalonkan diri selama mendeklarasikan dirinya jika pernah menjalani hukuman pidana korupsi.
"Kalau ada revisi (UU Pilkada), norma semacam ini harus dipertegas dalam undang-undang. Tentu hal lain, soal ancaman diskualifikasi karena melakukan praktik politik uang juga harus dipertegas," katanya.
Ia mengatakan sementara ini ancaman diskualifikasi terhadap calon itu ketika terjadi secara terstruktur, sistematif, dan masif (TSM).
"Ini nanti apakah harus dipertegas, misalnya ketentuan TSM ini lebih dipermudah karena saat ini memang ketentuan TSM sangat sulit. Yang jelas nanti kalau seandainya ada revisi, soal mantan napi kasus korupsi harus dipertegas, kemudian sanksi diskualifikasi bagi pelanggar harus dicantumkan dengan tegas dalam Undang-Undang Pemilu," katanya.
Berita Terkait
Bawaslu Mimika minta KPU kawal form keberatan hingga pleno di provinsi
Kamis, 14 Maret 2024 17:22
Pemkab Jayapura fasilitasi KPU gelar pleno rekapitulasi suara lanjutan
Kamis, 7 Maret 2024 17:15
Pj Bupati Jayapura harap pleno rekapitulasi suara aman sesuai jadwal KPU
Minggu, 3 Maret 2024 10:13
Bawaslu Jayapura: KPU perlu jelaskan tak laksanakan PSU 48 TPS
Minggu, 3 Maret 2024 10:12
Polres siagakan 100 personel kawal pleno KPU Kabupaten Jayapura
Jumat, 1 Maret 2024 17:10
Bawaslu Biak kawal logistik pemilu PSU di TPS Kampung Sauri Oridek
Minggu, 25 Februari 2024 2:08
Bawaslu Mambra periksa anggota KPU akibat logistik terlambat dikirim
Sabtu, 24 Februari 2024 11:14
Bawaslu:128 TPS Papua lakukan PSS,PSU dan PSL
Sabtu, 24 Februari 2024 10:40