Jayapura (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura Senalince Mara menyebutkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2017 tentang percepatan pembangunan kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat pada bagian keenan tentang pendidikan cukup bagus namun semua poin dibagian itu perlu dikaji lebih mendalam.
Ketua Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Uncen Jayapura, Senalince Mara mengatakan pada bagian keenam, poin kelima dalam inpres ini yakni pemberian kesempatan yang lebih luas untuk menempuh jenjang pendidikan menengah dan tinggi bagi putra-putri Orang Asli Papua untuk mengenyam pendidikan yang tinggi.
"Memang kita lihat melalui otonomi khusus dan keputusan presiden melalui inpres ini sudah banyak sekali anak Papua yang menempuh pendidikan atau mendapat pendidikan yang tinggi," katanya.
Ia menyebut, salah satunya di Universitas Cenderewasih (Uncen) Jayapura, diluar Uncen, dan sampai ke luar negeri.
Walaupun mendapat pendidikan yang tinggi, tetapi dukungan dan pendampingan dari seorang dosen itu penting sekali untuk mahasiswa.
"Kenapa penting, karena kita lihat di sini bahwa kita tidak bisa pungkiri bahwa sekarang banyak mahasiswa Papua itu belum bisa bersaing dengan mahasiswa lain," ujarnya.
Semisal di Uncen Jayapura, kata dia, anak Papua masuk ke jurusan sains itu agak susah, walaupun pertama dia masuk ke MIPA tetapi dua semester kemudian itu harus transfer ke fakultas lain.
"Contohnya, kalau di kami itu setiap semester itu ada 15 sampai 20 mahasiswa ditransfer ke program studi PPKN di FKIP Uncen Jayapura, kami tanya ke mereka kenapa mesti harus pindah, katanya ketika mereka tidak bisa dan ketika indeks prestasi kumulatif (IPK) turun langsung disuruh untuk pindah," katanya.
Pertanyaannya pendampingan dari dosen itu, lanjutnya, seperti apa, sementara mahasiswa itu kita lihat dia datang dari dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal.
"Mungkin faktor mahasiswa itu tidak mempunyai tekad untuk belajar, tetapi faktor eksternalnya sebagai dosen harus memberikan pendampingan yang baik kepada mahasiswa," ujarnya lagi.
Menurut dia, Inpres ini bagus tetapi melihat pelaksanaannya belum berjalan dengan baik, kalau dipertahankan berarti harus dikaji lebih dalam lagi.
Dosen FKIP Uncen itu mengatakan, ketika anak Papua diberikan kesempatan untuk sekolah dengan baik, jangan menuntut ilmu yang tinggi, tetapi karakter dan perilakunya tidak baik.
"Jadi, tidak cukup seseorang itu dia pintar tetapi dia harus berkarakter. Jadi, kalau menurut saya Inpres ini kalau dipertahankan berarti harus dikaji lagi lebih mendalam," katanya.
Bagi dia, Inpres itu perlu kajian lagi dengan baik dan lebih mendalam poin-poin mana yang belum dijalankan, karena kalau berbicara tentang penerapan sekolah berpola asrama, pada zaman Belanda diterapkan secara baik tetapi kini belum jalan dengan baik.
Bagian enam, pada poin pertama, pemberantasan tuna aksara dan penerapan pendidikan kurikulum kontekstual Papua, belum belum dilakukan.
"Kita praktek sekarang, kurikulum semuanya dari Jakarta, apa yang diterapkan di Jakarta itulah yang diterapkan di Papua," ujarnya.
Padahal, kata dia, pola pembelajaran dari anak Papua dan non Papua menurut wakil Dekan I FKIP bahwa gaya belajar anak Papua itu berbeda.
Untuk itu, tambah dia, inpres ini dipertahankan tetapi perlu dikaji ulang, karena poin satu dan dua dalam bagian keenam di Inpres itu belum dilaksanakan secara utuh di 28 kabupaten dan satu kota di Provinsi Papua.