Jayapura (ANTARA) - Peristiwa pada Jumat, 21 Maret 2025, sekitar pukul 16.00 WIT di Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, menjadi kenangan pahit bagi para guru yang ada di kawasan tersebut. Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) secara membabi buta melakukan aksi kekerasan sehingga meninggalkan luka psikologis bagi para guru yang mengabdi dengan sepenuh hati di wilayah tersebut.
Para pendidik yang hadir sebagai garda terdepan untuk mencerdaskan generasi muda Papua kini harus bergelut dengan trauma yang dalam. Ketakutan membayangi aktivitas mereka sehari-hari.
Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) bersama Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) berupaya secara sungguh-sungguh untuk membantu para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut keluar dari trauma yang berkepanjangan.
Pemerintah menyelenggarakan program strategis bertajuk “Training as Healing”, sebuah pelatihan pemulihan trauma bagi guru-guru terdampak. Pelatihan sebagai sarana untuk meningkatkan kesehatan mental dan fisik, serta sebagai alat untuk penyembuhan.
Traning as Healing dilakukan selama empat hari di Kota Jayapura, Papua. Kegiatan ini telah memberikan dampak positif bagi pemulihan psikologis para guru meskipun meski belum 100 persen.
Vantiana Kambuh, guru Bahasa Indonesia di YPPK Distrik Anggruk, adalah salah satu peserta dalam program ini. Dia telah mengabdi di wilayah yang aksesnya sulit dan penuh tantangan itu sejak 2021. Bukan karena penugasan formal, melainkan panggilan hati yang membawanya ke sana.
“Saya kuliah di Uncen (Universitas Cendrawasih). Setelah lulus orang tua meminta pulang ke Sorong. Tapi hati saya terpanggil untuk mengajar di Distrik Anggruk,” katanya, berkisah.
Sekolah di Kabupaten Yahukimo, tepatnya di Distrik Anggruk, memiliki murid sekitar 100 orang yang tersebar di kelas 1 hingga kelas 6 Sekolah Dasar (SD). Meskipun ada fasilitas sekolah, namun sangat kekurangan tenaga pengajar.
Mendengar informasi tersebut Vantiana Kambuh tergerak untuk mengabdikan diri ke sana. Adik-adiknya membutuhkan kehadiran tenaga pendidik.
Mengajar bagi dirinya bukan sekadar tugas, tetapi bentuk kasih sayang. Rasa bahagia terpancar dari interaksi harian dengan lebih dari 100 siswa yang sangat antusias belajar meski dengan fasilitas yang minim.
Namun, suasana penuh kehangatan itu sirna seketika saat kekerasan terjadi. Vantiana mengaku masih sulit mempercayai bahwa ia dan rekan-rekannya menjadi korban dari tindakan brutal yang merenggut rasa aman.
“Kami datang untuk mengajar, bukan untuk menyakiti siapa pun. Tapi kami justru menjadi sasaran. Rasa takut dan trauma begitu mendalam. Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya, apa salah kami,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Melalui “Training as Healing”, Vantiana perlahan mulai menemukan kembali kekuatannya. Pelatihan yang diberikan membantunya mengelola emosi, menurunkan rasa trauma, dan menghidupkan semangat untuk terus mengabdi.
Memang rasa trauma yang dirasakan tidak hilang begitu saja, apalagi tempatnya mengajar merupakan lokasi kejadian langsung sehingga untuk hilang 100 persen rasa itu masih membutuhkan waktu. Dia bersama 80 guru penyintas, belajar untuk bagaimana mengatasi rasa takut dan mengendalikan emosi.
Selain Vantiana ada juga Efodius Nule seorang tenaga pendidik asal Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang mengajar di Distrik Bomela, Kabupaten Yahukimo, Dia juga mengikuti pelatihan tersebut. Meskipun tidak menjadi korban langsung dalam kejadian kekerasan tersebut, namun Efodius mengaku turut merasakan dampaknya.
“Semangat kami sempat runtuh. Karena kami datang untuk mengajar dengan ikhlas,” ujar guru mata pelajaran PPKn ini.
Setelah mengikuti pelatihan Traning as Healing ia bersama 80 tenaga pendidik lainnya mulai merasakan keinginan untuk kembali mengajar meski tidak di tempat yang sama.
“Mau mengajar di Tanah Papua lagi, tapi tidak di tempat yang sama, karena kami melihat disini ilmu yang didapat selama berkuliah bisa sangat bermanfaat,” kata Efodius Nule yang juga guru IPS.
Meski tidak kembali mengajar di tempat yang sama namun Vantiana Kambuh, Efodius Nule serta rekan-rekan guru penyintas lainnya berharap anak-anak didik mereka tetap bisa terus semangat belajar, kendati dengan bahan ajar seadanya.
Para guru tersebut juga menyadari bahwa para siswa di pedalaman Papua sangat bergantung pada keberadaan guru. Namun pendidikan harus tetap berjalan.
Pemerintah dan psikolog
Pelatihan “Training as Healing” ini merupakan hasil kerja sama antara Kemenko PMK dan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI). Kegiatan ini merupakan kerja sama yang baik untuk membantu memulihkan semangat dan kesehatan mental para guru eks Yahukimo, khususnya tenaga pendidik dari Distrik Anggruk dan Bomela.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan Kemenko PMK, Ojat Darojat, menjelaskan bahwa pelatihan ini dirancang secara komprehensif untuk memulihkan semangat dan kesehatan mental para guru.
Dengan hadirnya program tersebut diharapkan dapat menjadi langkah awal bagi pemerintah daerah agar memberikan penguatan lagi lebih mendalam.
“Kami ingin para guru tetap punya integritas dan semangat untuk mengabdi. Peristiwa seperti ini tidak boleh membuat mereka mundur, tetapi justru jadi alasan untuk bangkit. Kami menyesalkan dunia pendidikan menjadi sasaran kekerasan,” katanya.
Selain fokus pada pemulihan individu, pelatihan ini juga bertujuan agar guru-guru bisa menjadi agen penyembuh bagi rekan kerja dan peserta didik.
Program-program seperti ini harus mendapat perhatian serius bagi pemerintah khususnya daerah konflik yang ada di Papua.
Sementara itu, Ketua HIMPSI Pusat, Andik Matulessy sangat mendukung adanya kegiatan seperti itu. Ia yakin program seperti itu sangat diharapkan bagi para korban yang mendapatkan kekerasan.
Kegiatan selama empat hari itu menekankan pada proses bercerita dan mengurai beban psikologis yang selama ini terpendam. Sebab, para guru selama ini tidak punya tempat aman untuk mengungkapkan perasaan. Pelatihan seperti itu menjadi ruang pertama untuk mulai pemulihan.
Memang, proses pemulihan tidak bisa hanya empat hari, namun penyintas membutuhkan pendamping jangka panjang. Oleh karena itu, diharapkan peran pemerintah bagi para korban bisa terus dilakukan.
Oleh sebab itu, guna mencegah terjadinya hal-hal tersebut kembali dibutuhkan mitigasi awal sehingga rasa trauma yang di dapatkan saat tugas ke daerah konflik bisa diminimalisir.
Semua pekerjaan memang ada risikonya, namun yang terpenting adalah bagaimana bisa mempersiapkan mental sejak dini agar rasa takut atau kenangan buruk dapat dikelola secara baik. Dengan begitu, semangat untuk kembali beraktivitas akan selalu muncul.
Program “Training as Healing” bukan hanya soal pemulihan trauma, tetapi juga bentuk nyata kehadiran negara bagi mereka yang berada di garis depan pelayanan publik di wilayah terpencil. Pemerintah berkomitmen agar pendidikan di Papua, termasuk di wilayah konflik seperti Yahukimo, tetap berlangsung.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Upaya pulihkan trauma para guru di Papua melalui "training as healing"