Secara teori pers harus independen, tapi jika praktiknya pers sudah ikut jejak politik atau bahkan jadi tim sukses dalam kontestasi politik maka itu bukan pers, perbedaan inilah yang perlu ditegaskan dalam UU Pers."
Palembang (ANTARA) - Pengamat hukum Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Dr. M. Sadi, mendorong revisi Undang-Undang Pers No 40 tahun 1999 terkait keterlibatan dan pengaruh kepentingan politik melalui framing yang mengancam independensi media.

"Secara teori pers harus independen, tapi jika praktiknya pers sudah ikut jejak politik atau bahkan jadi tim sukses dalam kontestasi politik maka itu bukan pers, perbedaan inilah yang perlu ditegaskan dalam UU Pers," kata Dr. M. Sadi saat diskusi Framing Politik pada Pilkada 2020 bersama Bung FK, Selasa.

Baca juga: Dewan Pers: RKUHP jangan tumpang tindih dengan UU Pers

Baca juga: Dewan Pers: UU KUHP jangan ganggu kemerdekaan pers

Baca juga: Dewan Pers berharap RKUHP dipertimbangkan ulang sebelum disahkan


Menurut dia UU Pers perlu merincikan aturan pidana terkait pemberitaan dengan framing politik negatif yang tidak berimbang seperti berita-berita bersifat tuduhan, ataupun framing politik positif namun tidak sesuai fakta dan data seperti berita-berita pencitraan.

Kebanyakan praktek seperti itu muncul seiring pelaksanaan kontestasi politik yang kerap disertai lahirnya media-media baru, kata dia, media-media tersebut menjadi tunggangan politik calon kepala daerah dalam mempublikasikan berita yang tidak sesuai UU Pers, yakni menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.

"Media yang seperti itu hanya menggunakan UU Pers untuk melindungi diri agar bebas memberitakan, tapi ketika memberitakan sesuatu UU Persnya tidak dipakai, ini tentu bahaya," tambahnya

Tidak menutup kemungkinan fenomena tersebut akan terjadi pada Pilkada serentak 2020 yang melibatkan ratusan kabupaten/kota sehingga dapat diprediksi terjadi perang framing.

Saat ini framing memang sulit dipidana secara hukum karena framing bukan kebenaran mutlak yang berdiri sendiri, di dalam sebuah berita masih ada fakta dan data sebagai penguat framing tersebut.

"Ketika si jurnalis dipanggil polisi terkait framing negatif beritanya misalnya, pasti dia bisa membuktikan selama memang ada fakta dan datanya, kecuali jika memang dibuat-buat bisa jadi masuk ke ranah hoaks atau UU ITE," jelasnya.

Ia mengakui bahwa framing memang efektif mempengaruhi pembaca, terutama dalam menentukan calon kepala daerah, seorang pembaca bisa saja mengalihkan pilihannya secara tiba-tiba ketika ia membaca berita berisi framing negatif terkait pilihannya yang pertama.

"Masyarakat ini variasinya banyak sekali, mungkin bagi kalangan melek informasi mereka tahu mana framing positif dan negatif, tapi kan banyak juga yang asal baca judul langsung percaya begitu saja, maka akan banyak sekali kerugian akibat framing-framing ini, UU Pers perlu menindak yang seperti itu agar pers posisinya lebih kuat," demikian Dr. Sadi.

Pewarta: Aziz Munajar
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019