Ambon (ANTARA) - Pusat Penelitian Laut Dalam (P2LD) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengimbau masyarakat untuk tidak panik dengan peristiwa kematian massal ikan dan biota lainnya yang terjadi di pesisir pantai Desa Lelingluan, Kabupaten Kepulauan Tanimbar.

"Bagi masyarakat Maluku diharapkan tidak cepat panik menyikapi fenomena kematian massal ikan. Mohon koordinasi dengan pihak terkait, seperti LIPI, Unpatti, BMKG dan institusi lainnya sehingga tidak mudah percaya adanya berita hoaks," kata Peneliti P2LD LIPI Hanung Agus Mulyadi di Ambon, Rabu.

Imbauan tersebut disampaikan sehubungan dengan beredarnya foto fenomena ditemukannya bangkai ikan-ikan dasar dan biota laut lainnya, seperti ular laut, kepiting dan cumi-cumi di pesisir pantai Desa Lelingluan, Kecamatan Tanimbar Utara, Kabupaten Kepulauan Tanimbar.

Baca juga: Warga heboh, ikan mati massal di pantai Lolonluan terjadi dua kali

Peristiwa yang terjadi pada 13 Oktober 2019 tersebut meresahkan warga. Mereka kemudian menyamakannya dengan fenomena kematian massal ikan yang terjadi di Pulau Ambon pada 12 - 14 September 2019 dan berasumsi akan ada bencana gempa yang terjadi.

Menanggapi hal itu, Hanung yang merupakan ketua kelompok penelitian produktivitas dan biogeokimia perairan P2LD LIPI mengatakan secara umum biota laut seperti ikan dan lainnya bisa saja mati apabila habitatnya tercemar atau mengalami kerusakan.

Ia memisalkan, fenomena harmful alga blooms (HABs) atau ledakan populasi alga beracun bisa menyebabkan kadar oksigen rendah secara vertikal di hampir seluruh kolom air, sehingga menyebabkan biota laut mati.

Penyebab lain yang bisa saja terjadi adalah akibat ulah manusia, seperti penggunaan bom untuk menangkap ikan dan aktivitas penambangan menggunakan logam berbahaya, seperti merkuri kemudian residunya bermuara ke laut.

Karena itu, masyarakat diimbau untuk tidak panik dan bersabar menunggu hingga ada hasil analisa dan uji laboratorium yang bisa membuktikan hipotesa kematian ikan di Tanimbar.

"Bisa juga karena adanya parasit atau hama pada ikan tentu kesehatannya akan terganggu dan mengalami kematian, itu perlu kita selidiki dan dianalisa lebih lanjut. Akan lebih baik ada penelitian," terang Hanung.

Baca juga: BMKG: Fenomena ikan mati tidak dijadikan dasar ilmu kegempaan

Diakuinya, berbeda dengan fenomena kematian ikan yang sebelumnya terjadi di Pulau Ambon sebulan yang lalu, saat ini pihaknya belum mendapatkan sampel biota laut yang mati di Tanimbar karena lokasinya yang cukup jauh, tidak memungkinkan bagi P2LD LIPI untuk bisa langsung ke sana.

Hanung berharap masyarakat bisa mengirimkan sampel ikan dan biota laut yang mati ke P2LD LIPI atau ke Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Stasiun Ambon, agar bisa dianalisa dan dilakukan uji laboratorium.

"Akan lebih efektif kalau masyarakat proaktif juga mengirimkan sampel itu ke PSDKP kemudian sampel itu kita kerjakan bareng-bareng, PSDKP, LIPI, Balai karantina dan Unpatti, itu akan lebih efektif dan lebih cepat hasilnya ke luar," imbuh Hanung.

John Fareman (33), seorang warga Lelingluan saat dihubungi mengatakan ikan, ular laut, kepiting, cumi-cumi dan lainnya ditemukan mati di pesisir pantai oleh warga setempat pada 13 Oktober 2019, sekitar pukul 06.30 WIT. Peristiwa tersebut sempat menghebohkan warga.

Kendati bingung dengan fenomena yang sedang terjadi, warga kemudian mengumpulkan bangkai-bangkai biota laut tersebut dan membawa pulang untuk dikonsumsi.

"Dikumpulkan dan dibawa pulang untuk dimakan. Jumlahnya cukup banyak, bukan cuma ikan, ada hewan laut lainnya juga. Kami juga menunggu, tapi sampai hari ini belum ada penjelasan apa-apa dari pemerintah di sini," ucap John.

Pewarta: Shariva Alaidrus
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019