Dengan lesunya penjualan apartemen, pengembang juga mengurangi produk-produk yang mereka luncurkan
Jakarta (ANTARA) - Stagnasi pertumbuhan sektor properti yang terjadi saat ini di berbagai daerah, membuat pemerintah juga mencari berbagai cara dan upaya dalam rangka menggairahkan kembali kinerja sektor tersebut.

Salah satu sarana yang diutak-atik adalah pajak yang terkait dengan properti. Pemerintah misalnya telah mengeluarkan beberapa kebijakan fiskal seperti memberikan subsidi, peningkatan batasan tidak kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rumah sederhana sesuai daerahnya, pembebasan PPN untuk rumah korban bencana alam.

Selanjutnya, kebijakan lainnya adalah peningkatan batasan nilai hunian mewah yang dikenakan PPh dan PPnBM, penurunan tarif PPh Ps 22 atas hunian mewah, serta simplifikasi prosedur validasi PPh penjualan tanah. Ke semua kebijakan tersebut dilakukan untuk mendorong gairah konsumsi dan investasi atas produk properti.

Dengan berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga meminta kepada para pelaku usaha sektor properti dan real estate agar dapat segera memenuhi janji untuk merealisasikan pertumbuhan sekitar 10 persen sampai 15 persen.

Pernyataan Sri Mulyani itu disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional Bidang Properti Kadin di Jakarta, Rabu (18/9), terkait kinerja industri properti yang hanya tumbuh sekitar 3,5 persen dalam lima tahun terakhir dan masih jauh dari pertumbuhan ekonomi nasional yaitu sekitar 5 persen.

Menurut Menkeu, pemerintah selama ini sudah memberikan berbagai kebijakan yang menguntungkan dalam mendukung pertumbuhan sektor tersebut namun masih belum menunjukkan tren yang lebih baik.

Sri Mulyani menuturkan insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah sudah sesuai dengan permintaan para pelaku usaha properti karena mereka menganggap bahwa pertumbuhan sektor ini terkendala oleh nilai pajak yang tinggi dan harus dibayarkan.

Ia menuturkan nilai hunian mewah yang dikenakan PPh dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) awalnya berada pada batasan Rp5 miliar sampai Rp10 miliar, sekarang dinaikkan menjadi Rp30 miliar.

Selain itu, nilai pajak yang dipungut juga diturunkan dari 5 persen menjadi 1 persen karena para pengusaha meminta adanya revisi atas UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 tahun 2008 pasal 22 mengenai pajak pemotongan untuk jual beli properti.

Namun, apakah berbagai kebijakan guna mengutak-atik pajak itu efektif guna meningkatkan kinerja sektor properti nasional?

Baca juga: Konsultan: Tingkat hunian perkantoran bakal menurun kuartal IV-2019

Perumahan menengah-bawah
Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia, Ferry Salanto, di Jakarta, Rabu (9/10), berpendapat bahwa bila ingin efektif menggairahkan sektor properti, maka seharusnya pemerintah dapat membebaskan PPN dari berbagai jenis perumahan dari kalangan menengah-bawah, bila ingin melihat kinerja.

"Yang lebih bisa mendorong sektor perumahan adalah pembebasan PPN untuk produk-produk residensial yang harganya menyasar kalangan menengah-bawah," kata Ferry.

Menurut dia, hal tersebut lebih menyentuh akar permasalahan stagnannya kinerja properti nasional dibandingkan dengan berbagai kebijakan seperti peningkatan batasan nilai hunian mewah yang dikenakan PPh dan PPnBM atau penurunan tarif PPh atas hunian mewah.

Hal itu, masih menurut dia, karena hunian perumahan mewah atau menengah-atas biasanya lebih disasar oleh para pemain yang ingin berinvestasi, bukan untuk menjadikannya sebagai tempat tinggal.

"Kalau mau jujur kebijakan PPh dan PPnBM ini belum memberikan dampak kepada pasar, karena memang produk-produk ini sering dijadikan instrumen investasi dibandingkan hunian," ucapnya.

Selain itu, Ferry berpendapat bahwa tingkat suku bunga perbankan yang terdapat di Indonesia masih cukup tinggi sehingga dinilai kurang ampuh untuk bisa melesatkan kinerja sektor properti nasional.

Menurut dia, dengan tingkat suku bunga yang masih tinggi maka orang yang mau berinvestasi di properti juga akan banyak berpikir untuk membayar cicilannya. "Dari sisi orang yang membayar cicilan itu signifikan kalau tingkat bunganya berbeda satu atau dua digit," katanya.


Suku bunga acuan
Apalagi, Ferry mengingatkan bahwa ada kecenderungan bahwa kebijakan penurunan tingkat suku bunga acuan oleh Bank Indonesia masih susah diikuti oleh penurunan suku bunga bank dengan segera.

Sementara itu, Deputi Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mendorong pemerintah meningkatkan insentif fiskal selain relaksasi ketentuan rasio nilai pinjaman terhadap aset (loan to value/LTV) untuk mendongkrak sektor properti.

"Properti itu banyak dinamika, selain suku bunga, juga permintaan dan pasokan, sarana prasarana misalnya listrik dan akses, itu semua satu paket, makanya sisi fiskal juga perlu didorong," kata Eko Listyanto.

Menurut Eko, Bank Indonesia berupaya menggeliatkan sektor properti yang perlu ditingkatkan dengan cara mengeluarkan kebijakan penurunan LTV untuk uang muka kredit properti sebesar lima persen.

Upaya itu, lanjutnya, diambil bank sentral di tengah situasi ekonomi global saat ini melesu dan beberapa negara dibayangi resesi ekonomi sehingga turut berdampak khususnya kepada sektor investasi jangka menengah-panjang seperti properti.

Namun, menurut dia, dengan angka penurunan tersebut dinilai belum cukup signifikan mendorong properti di Tanah Air.

Ia juga mendorong perbankan merespon kebijakan BI tersebut, meski diakui perbankan kemungkinan melakukan relaksasi itu saat bunga deposito atau simpanan juga menurun.

Tahan perlambatan konsumsi

Sedangkan peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar B Hirawan mengatakan penurunan suku bunga acuan menjadi 5,25 persen akan menahan potensi perlambatan sektor konsumsi.

Menurut Fajar Hirawan, kontribusi sektor konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi sangat dominan yakni lebih dari 50 persen.

Sehingga, lanjut dia, cara paling strategis untuk mempertahankan tingkat konsumsi adalah dengan menurunkan uang muka kredit konsumsi properti sebesar lima persen.

Penurunan suku bunga acuan BI yang diikuti penurunan suku bunga properti dan kendaraan dinilai juga merupakan strategi mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Ia menilai kebijakan tersebut sudah tepat untuk menjamin biaya lebih rendah dalam berbisnis atau investasi dan diharapkan dapat meningkatkan kegiatan investasi dan produksi.

Sebelumnya, pada Rapat Dewan Gubernur periode 18-19 September 2019 di Jakarta, Bank Indonesia memutuskan untuk kembali menurunkan suku bunga acuan sebesar 0,25 persen menjadi 5,25 persen.

Keputusan BI menurunkan suku bunga acuan ini merupakan yang ketiga kalinya secara beruntun sejak Juli 2019.

Langkah tersebut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik di tengah keyakinan bank sentral bahwa imbal hasil instrumen keuangan domestik tetap menarik, dan inflasi yang tetap terjaga.

Baca juga: Konsultan: Kinerja properti sulit melesat, bunga bank masih tinggi

Fenomena perang dagang
Untuk ke depannya, konsultan properti Colliers International memprediksi bahwa tingkat penjualan properti seperti apartemen di wilayah Jakarta, diperkirakan bakal terdampak berbagai kondisi perekonomian global seperti adanya fenomena perang dagang yang menghambat investasi.

"Ke depannya, tingkat serapan apartemen akan mengalami sedikit penurunan atau 2 persen ke level 85-86 persen sampai tahun 2023 akibat dampak dari tekanan perang dagang dan ketidakpastian ekonomi global," kata Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia, Ferry Salanto.

Selain itu, ujar dia, saat ini para pengembang dinilai semakin kreatif dalam menggaet calon pembeli antara lain dengan menawarkan berbagai cara bayar dan manfaat yang kompetitif.

Ferry mengingatkan bahwa apartemen adalah salah satu sektor yang masih cukup berjuang mencapai kondisi yang ideal, terutama dilihat dari tingkat serapan unit per tahun.

"Dengan lesunya penjualan apartemen, pengembang juga mengurangi produk-produk yang mereka luncurkan," katanya dan menambahkan, ada kecenderungan para pengembang pada saat ini fokus menjual produk yang belum terjual dengan baik sebelumnya.

Sedangkan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Properti Hendro S Gondokusumo mengatakan bahwa pertumbuhan sektor properti diperkirakan akan stagnan dilevel 3 persen sampai 3,8 persen pada tahun ini hingga 2020.

Ia menuturkan meskipun pemerintah telah banyak memberikan insentif agar sektor properti tersebut bisa tumbuh lebih tinggi, namun dalam mencetak pertumbuhan tersebut memerlukan waktu untuk masa transmisi dari penerapan aturan, pembangunan, dan penjualan properti.

Menurut dia, hasil dari fasilitas fiskal untuk sektor properti baru akan terlihat dalam jangka yang cukup panjang sebab perlu ada penyesuaian terkait insentif baru tersebut.

Diharapkan memang demikian adanya, bahwa pada masa mendatang, berbagai kebijakan insentif fiskal yang telah ditelurkan pemerintah memang dapat sungguh-sungguh menggairahkan kembali kinerja sektor properti nasional.

Baca juga: Pemerintah diminta bebaskan PPn perumahan menengah bawah
Baca juga: Konsultan: Tingkat serapan apartemen bakal terdampak perang dagang

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019