Bogor (ANTARA) - Komisi Yudisial menilai putusan kasasi Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh majelis hakim tentang aset PT First Anugerah Karya Wisata atau First Travel disita oleh negara tidak menyalahi, baik secara aturan maupun etik.

"Itu murni pertimbangan hukum. Hakimnya normatif, ya, tidak salah," ujar Ketua KY Jaja Ahmad Jayus usai menjadi narasumber dalam acara bertajuk "Konsolidasi Jejaring Komisi Yudisial" di Bogor, Jawa Barat, Jumat.

Dalam undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang (TPPU), kata Jaja, disebutkan bahwa apabila pidana TPPU terbukti, aset yang menjadi barang bukti harus dikembalikan atau disita oleh Negara.

Oleh karena itu, keputusan yang diambil oleh hakim secara hukum tidak dapat disalahkan.

Meskipun demikian, kata Jaja, seharusnya hakim berani melakukan terobosan dengan melihat fakta-fakta yang ada.

Menurut Jaja, aset yang disita bukanlah uang negara, melainkan uang rakyat sehingga sudah semestinya dikembalikan kepada rakyat. Dalam hal ini, jemaah yang menjadi korban.

Namun, hal tersebut tidak bisa serta-merta dilakukan karena kasus yang awalnya perdata, kemudian berubah menjadi pidana.

"Mestinya karena ini bukan uang negara, ini uang rakyat, dari kasus perdata murni asalnya, dari hubungan perjanjian pemberangkatan umrah. Itu 'kan perdata murni asalnya, uang masyarakat, nah, untuk itu uangnya ada, ya, mestinya mengembalikan uang itu kepada rakyat," ucap Jaja.

Baca juga: Legislator: Negara harus beri kepastian kepada korban First Travel

Ia melanjutkan, "Asalnya perdata. Akan tetapi, kemudian menimbulkan pidana karena ada penipuan, ada penggelapan di situ."

Mahkamah Agung telah memutuskan dalam surat nomor 3096 K/Pid.Sus/2018 bahwa barang bukti kasus penipuan oleh PT First Travel harus dikembalikan ke kas negara. Putusan tersebut ditetapkan oleh majelis hakim yang diketuai Andi Samsan Nganro dengan anggota Eddy Army dan Margono.

Total barang sitaan pada kasus tersebut sebanyak 820 item, yang 529 di antaranya merupakan aset bernilai ekonomis, termasuk uang senilai Rp1,537 miliar.

Putusan tersebut, membuat jemaah First Travel resah karena dana yang mereka setorkan tidak bisa dikembalikan.

First Travel didirikan oleh Andika Surachman beserta istrinya, Anniesa Desvitasari Hasibuan, yang merupakan terdakwa kasus penipuan puluhan ribu anggota jemaah tersebut.

Baca juga: Soal First Travel, harus ada investigasi lanjutan

Pada bulan Juli 2017, First Travel dihentikan kegiatannya oleh Satgas Waspada Investasi.

Saat itu First Travel diminta menghentikan penawaran perjalanan umrah promo yang dipatok dengan harga Rp14,3 juta. First Travel melakukan penipuan terhadap kurang lebih 63.000 orang dengan total kerugian mencapai Rp905,33 miliar.

Akibat penipuan perjalanan umrah dan tindak pidana pencucian uang dari uang setoran calon jemaah tersebut, Direktur Utama First Travel Andika Surachman mendapatkan hukuman penjara selama 20 tahun penjara.

Istri Andika, Anniesa, dijatuhi hukuman selama 18 tahun penjara. Keduanya diharuskan membayar dengan masing-masing Rp10 miliar.

Sementara itu, Direktur Keuangan sekaligus Komisaris First Travel Siti Nuraida Hasibuan dijatuhi hukuman penjara 15 tahun dan denda Rp5 miliar.

Baca juga: Menag Fachrul Razi segera buka dialog soal kasus First Travel

Sebelumnya, pihak Kejaksaan Agung telah memerintahkan Kejaksaan Negeri Depok untuk menunda eksekusi aset pada kasus First Travel. Penundaan tersebut dilakukan hingga kejaksaan selesai mengkaji tindak lanjut kasus itu. Namun, belum bisa dipastikan untuk berapa lama.

Pihak kejaksaan menyatakan bahwa pihaknya akan berupaya untuk mencari solusi pengembalian aset nasabah yang mengalami kerugian.

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019