Banyumas (ANTARA) - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banyumas, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menjatuhkan vonis mati kepada Deni Priyanto alias Goparin (37) yang merupakan terdakwa kasus mutilasi terhadap pegawai Kementerian Agama atas nama Komsatun Wachidah (51).

Sidang dengan agenda pembacaan putusan yang digelar di Ruang Sidang Purwoto S. Gandasoebrata, PN Banyumas, Kamis, dipimpin Hakim Ketua Abdullah Mahrus serta Hakim Anggota Tri Wahyudirandi dan Jastian Afandi.

Baca juga: Terdakwa kasus mutilasi pegawai Kemenag dituntut hukuman mati

Dalam putusan yang dibacakan secara bergantian, Majelis Hakim PN Banyumas menyatakan terdakwa Deni Priyanto bersalah sesuai dengan dakwaan kesatu primer sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 340 KUHP, dakwaan kedua Pasal 181 KUHP, dan dakwaan ketiga Pasal 362 KUHP.

Sementara saat hendak membacakan amar putusan, Hakim Ketua Abdullah Mahrus meminta terdakwa Deni Priyanto untuk berdiri.
 

Setelah terdakwa Deni Priyanto berdiri, Hakim Ketua Abdullah Mahrus melanjutkan pembacaan amar putusan.

"Mengadili, satu, menyatakan terdakwa Deni Priyanto alias Goparin bin Yanwili Mewengkang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana, membawa dan menghilangkan mayat untuk disembunyikan kematiannya, dan pencurian. Dua, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Deni Priyanto alias Goparin bin Yanwili Mewengkang dengan pidana mati," katanya.

Ia mengatakan hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa sangat keji sehingga membuat sedih keluarga korban dan terdakwa merupakan seorang residivis.

Menurut dia, tidak ada hal-hal yang meringankan terdakwa selama persidangan.

Saat mendengar putusan tersebut, terdakwa Deni Priyanto tampak berusaha tegar. Demikian pula dengan ibundanya, Tini yang duduk di kursi pengunjung tampak berusaha tegar meskipun terlihat meneteskan air mata ketika mendengar vonis mati yang dijatuhkan Majelis Hakim PN Purwokerto kepada anak semata wayangnya.

Baca juga: Polisi Banyumas rekonstruksi kasus mutilasi PNS Kementerian Agama

Setelah membacakan amar putusan, Hakim Ketua Abdullah Mahrus memberi waktu kepada terdakwa Deni Priyanto selama tiga hari untuk menerima putusan tersebut atau mengajukan banding.

Vonis mati yang dijatuhkan Majelis Hakim PN Banyumas tersebut sesuai dengan tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum Antonius dalam sidang dengan agenda pembacaan tuntutan yang digelar pada tanggal 3 Desember 2019.

Saat ditemui wartawan usai sidang, penasihat hukum terdakwa Deni Priyanto, Waslam Makhsid mengatakan pihaknya telah menjalankan tugas yang diberikan Majelis Hakim PN Banyumas untuk mendampingi terdakwa Deni Priyanto selama menjalani persidangan.

"Tentang putusan ini, lebih baik (tanyakan) pada Deni sendiri, apakah mau menerima, apakah mau mengajukan upaya hukum banding," kata dia yang berasal dari Lembaga Bantuan Hukum Perisai Kebenaran, Banyumas, dan ditunjuk Majelis Hakim PN Banyumas untuk mendampingi terdakwa Deni Priyanto selama menjalani persidangan.

Menurut dia, terdakwa Deni Priyanto selama ini belum menentukan pengacara dari LBH Perisai Kebenaran sebagai penasihat hukumnya.

Ia mengatakan pihaknya siap mendampingi terdakwa Deni Priyanto jika memilih upaya hukum banding dengan menjadikan LBH Perisai Kebenaran sebagai penasihat hukumnya.

"Tapi kan harus ada pemberian surat kuasa. Kita belum koordinasi lagi," katanya.

Sementara ibunda terdakwa Deni Priyanto, Tini enggan memberikan komentar terkait dengan vonis mati tersebut dengan alasan takut salah bicara.

Kasus pembunuhan dengan terdakwa Deni Priyanto, warga Desa Gumelem Wetan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, terhadap korban atas nama Komsatun Wachidah, warga Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu dilakukan dengan cara mutilasi di sebuah kamar kos yang berlokasi di Rancamekar RT 05 RW 01, Kelurahan Cipamokolan, Kecamatan Rancasari, Kota Bandung, pada tanggal 7 Juli 2019.

Potongan tubuh korban yang telah hangus dibakar ditemukan di wilayah Banyumas pada tanggal 8 Juli 2019.

Pewarta: Sumarwoto
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2020