Jakarta (ANTARA) - Ilmuwan dunia tidak putus melakukan penelitian terkait pemanasan global. Hampir setiap bulan publikasi ilmiah baru diterbitkan, memberikan analisis yang semakin detil dari proses memanasnya suhu Bumi, hingga pengaruhnya terhadap kehidupan di “Planet Biru”.

Pada 9 Januari 2020, publikasi ilmiah terbaru milik peneliti Lijing Cheng dari Chinese Academy of Sciences dan rekan-rekan penelitinya dari sejumlah universitas dan lembaga riset Amerika Serikat, terbit di Advances in Atmospheric Sciences. Tulisan ilmiah tersebut membahas nilai hasil mengukur arus laut panas (ocean heat current/OHC) yang terjadi di 2019.

Dengan menggunakan metode yang relatif baru untuk mengolah kekurangan data, dan pembaharuan instrumen yang telah digunakan untuk mengukur suhu lautan, Cheng dan rekan-rekannya mampu mengungkap terjadinya anomali arus laut panas di 2019, terutama di atas kedalaman 2000 meter (m), yang mencapai 228 Zetta Joules (ZJ) di atas rata-rata tahun 1981-2010. Dan jika dibandingkan dengan 2018, maka peningkatan panas lautan dunia mencapai lebih dari 25 ZJ di 2019, sehingga menjadikannya terpanas dalam catatan sejarah.

Adanya data baru Institute of Atmospheric Physics (IAP) yang Cheng dan rekan-rekannya peroleh dari mengukur arus laut panas tersebut memungkinkan untuk menyusun peringkat tahun terhangat di dunia sejak 1950-an. Maka diketahui bahwa lima tahun terakhir adalah tahun-tahun terhangat laut dalam historis diukur dengan instrumen modern.

Baca juga: KLHK akan lakukan pemetaan tanah di kawasan rehabilitasi

Seorang anak memperlihatkan bongkahan es setelah terjadi hujan lebat dan angin kencang di daerah Ladang Laweh, Kecamatan Banuhampu, Kabupaten Agam, Sumbar, Rabu (21/5/2014). ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi/pras. 

Dengan mencatat kurun waktu 1955-1986 sebagai periode I dan 1987-2019 sebagai periode II, maka Cheng dan rekan-rekannya dapat pula menentukan bahwa selama periode I proses penghangatan laut relatif konstan dan di periode II proses penghangatan tersebut menjadi ~450 persen dari sebelumnya. Semua itu mencerminkan peningkatan besar dalam laju perubahan iklim global.

Dapat diketahui pula peningkatan panas air laut selama periode 1960-2019 berkontribusi pada penyebaran 41 persen panas di kedalaman 0-300 m, 21,5 persen ada di kedalaman 300-700 m, selanjutnya 28,6 persen ada di kedalaman 700-2000 m, dan 8,9 persen ada di kedalaman lebih dari 2000 m.

Peningkatan pemanasan air laut tersebut terdistribusi secara global. Samudera Atlantik dan laut bagian selatan terutama dekat the Antarctic Circumpolar Current, terus menunjukkan bagian besar yang menghangat dibandingkan dengan cekungan lainnya. Itu semakin menegaskan bahwa laut di bagian selatan Bumi tersebut memang yang paling tertekan oleh serangan pemanasan global sejak 1970.

Berbagai observasi menunjukkan laut di 30 derajat Lintang Selatan pada kedalaman 0-2000 m tersebut yang bertanggung jawab terhadap peningkatan 35 persen hingga 43 persen arus laut panas selama periode 1970-2017. Itu pula yang memindahkan panas ke wilayah utara melintasi khatulistiwa melalui laut, dan itu baru saja terjadi di Laut Tasman sehingga berdampak besar pada perikanan laut dan ekosistem di sana.

Hal yang menarik dalam publikasi ilmiah Cheng dan rekan-rekannya yakni banyak peristiwa gelombang panas di berbagai negara pada tahun-tahun terakhir ini dekat dengan lokasi laut yang mengalami pemanasan paling kuat, seperti Laut Mediterania, laut di Pasifik Utara, laut Pasifik sekitar khatulistiwa, Laut Tasman, serta laut di Atlantik Utara.

Gelombang panas laut dan tekanan udara lainnya yang disebabkan oleh perubahan lingkungan laut jelas menimbulkan risiko tinggi bagi keanekaragaman hayati dan perikanan, serta berdampak pada ekonomi, ujar Cheng.

Baca juga: Akademisi ingatkan pentingnya pengelolaan DAS untuk cegah banjir

Dampak di daerah tropis

Sementara itu untuk daerah tropis, pola spasial anomali arus laut panas pada 2019 relatif terhadap 2018 mengungkap dampak El Nino-Osilasi Selatan (El Nino-Southern Oscillation/ENSO) yang dominan dari variabilitas energi Bumi atau lautan pada skala antartahun. ENSO dikaitkan dengan redistribusi panas di lautan dan pertukaran panas antara laut dan atmosfer.

Dari akhir 2018 hingga awal 2019, El Nino terbentuk. Setelah musim panas 2019 kejadian El Nino melemah dan fase netral bertahan sepanjang semester kedua tahun itu.

Dari La Nina yang terjadi di awal 2018 ke El Nino lalu masuk ke 2019, panas keluar dari khatulistiwa dan selatan Samudera Pasifik menuju sebelah timur laut Samudera Pasifik menghasilkan pendinginan di bagian tertentu di sana dan penghangatan di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia pada titik tertentu.

Peningkatan temperatur di laut, menurut laporan Cheng dan rekan penelitinya, telah mengurangi oksigen terlarut dan secara signifikan mempengaruhi kehidupan di sana, terutama karang dan organisme yang sensitif terhadap suhu dan zat kimia.

Selain itu, meningkatnya panas juga menaikkan evaporasi di laut yang membuat kelembapan ekstra di atmosfer yang memang dalam kondisi lebih hangat. Ini, menurut Cheng, “menyuburkan” hujan lebat dan dapat memicu banjir, memunculkan lebih banyak lagi siklus hidrologi ekstrem dan cuaca yang lebih ekstrem khususnya badai dan topan.

Ia dan peneliti lainnya menegaskan itu juga menjadi salah satu alasan kunci mengapa Bumi semakin banyak mengalami kebakaran hutan dan lahan dahsyat seperti di Amazon, California dan Australia.

Anomali pemanasan global tersebut juga dirasakan di Indonesia, salah satunya tepat pada pergantian tahun 2019 dengan 2020. Saat penduduk Jakarta dan sekitarnya sedang sibuk mempersiapkan perayaan pergantian tahun pada 31 Desember, aliran Monsun Asia yang membawa massa udara dingin dari bumi belahan utara (BBU) menguat dan bertemu dengan massa udara dari bumi belahan selatan (BBS).

Api membakar seluruh hutan terlihat dari Gunung Tomah di New South Wales, Australia, Minggu (15/12/2019), ANTARA FOTO/NSW RFS - TERRY HILLS BRIGADE/via REUTERS/pras.

Kebetulan lokasi palung ekuatorial Intertropical Convergence Zone (ITCZ) yang bertekanan rendah, tempat kedua massa udara tersebut bertemu berada tepat di atas wilayah Jawa bagian utara.

Kejadian pertemuan di palung ekuatorial bertekanan rendah tersebut telah memicu pertumbuhan awan yang sangat cepat, tebal dan masif akibat penguapan air laut di sekitar Pulau Jawa yang sudah menghangat, sehingga menyuplai massa uap air bagi atmosfer di atasnya. Hujan lebat turun pada sore hari di Jakarta Pusat dan sekitarnya, namun hujan lebih lebat lagi kembali turun di wilayah Jabodetabek hanya sekitar dua jam setelah pergantian tahun.

Hanya dalam waktu sekitar tiga jam, air hujan sebanyak hingga 377 milimeter per hari yang jatuh ke Bumi tersebut telah menggenang dan membangunkan mereka yang baru saja terlelap setelah perayaan pergantian tahun. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat banjir tertinggi terjadi di wilayah Kota Bekasi mencapai hingga enam meter.

Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Herizal mengatakan berdasarkan pengkajian data historis curah hujan harian BMKG selama 150 tahun, dari 1866 hingga 2015, terdapat kesesuaian tren antara semakin seringnya kejadian banjir signifikan di Jakarta dengan peningkatan intensitas curah hujan ekstrem tahunan sebagaimana terjadi pada 1 Januari 2020.

Data selama 43 tahun terakhir di wilayah Jabodetabek curah hujan harian tertinggi per tahun mengindikasikan tren kenaikan intensitas 10-20 milimeter per dekade. Ada peningkatan dua hingga tiga persen perubahan risiko dan peluang terjadinya curah hujan ekstrem penyebab kejadian banjir yang berulang dibanding kondisi iklim 100 tahun lalu.

Hal ini menandakan hujan-hujan besar yang dulu jarang, kini lebih berpeluang kerap hadir pada kondisi iklim saat ini.

Baca juga: Alat DWS tingkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana

Ancaman terbesar peradaban

Pemanasan global bukan hanya dongeng yang dibacakan menjelang tidur, lalu menjadi sekadar bunga tidur semata. Belum banyak yang sepenuhnya sadar bahaya bencana hidrometeorologi yang dipicu peningkatan suhu Bumi itu di tengah semakin rusaknya kondisi lingkungan hidup dan masih buruknya pemahaman mitigasi dan adaptasi di masyarakat.

Associated Press melansir pernyataan Menteri Kesehatan Prancis Agnes Buzyn pada awal September 2019, yang menyebutkan sekitar 1.500 warganya meninggal dunia akibat gelombang panas yang terjadi pada Juni dan Juli lalu. Suhu tertinggi di Prancis mencapai 45,9 derajat Celsius terjadi pada 28 Juni 2019.

Sementara Badan Statistik Nasional Belanda (Centraal Bureau voor de Statistiek/CBS) mengeluarkan data 2.964 orang warga di Belanda meninggal selama pekan gelombang panas yang dimulai pada 22 Juli 2019. Tercatat rekor tertinggi temperatur di sana mencapai 40 derajat Celsius terjadi pada 25 Juli.

Di Australia, luas area semak yang menjalar ke hutan yang terbakar mencapai 104.000 kilometer persegi (km2), menewaskan 28 orang dan menghanguskan lebih dari 2.600 rumah sejak September 2019. Associated Press melansir berita lebih dari 100 spesies flora dan fauna terdampak kebakaran tersebut, membuat beberapa di antaranya semakin mendekati kepunahan.

Aktivis lingkungan asal Swedia Greta Thunberg berbicara di Konferensi Perubahan Iklim (COP 25) di Madrid, Spanyol, 11 Desember 2019. ANTARA FOTO/Reuters/Alterphotos/pras. 

Kantor berita Kyodo melansir berita Badai Hagibis dengan kecepatan angin mencapai 225 kilometer per jam yang memporakporandakan Semenanjung Izu pada pertengahan Oktober 2019. Setidaknya lima warga dilaporkan meninggal dunia, 11 orang hilang, lebih dari 90 orang terluka akibat terjangan topan terburuk dalam 60 tahun terakhir tersebut.

Sementara di Indonesia, BNPB merilis telah terjadi 230 bencana hidrometeorologi mulai dari puting beliung, banjir dan tanah longsor sejak 1 hingga 20 Januari 2020. Sebanyak 74 meninggal dunia, 83 orang terluka dan 800.124 orang mengungsi.

Krisis iklim sedang terjadi dan tidak dapat dipaksa untuk pulang. Terganjalnya perundingan pengendalian perubahan iklim di Konferensi Tingkat Tinggi PBB di Madrid, Spanyol, akhir 2019 setelah tidak adanya komitmen para kepala negara untuk menaikkan target penurunan emisi GRK di sela-sela Sidang PBB di New York pada September lalu memperburuk upaya bersama memitigasi dampak pemanasan global.

Cheng dan rekan peneliti lainnya memberikan catatan penting dalam publikasi ilmiahnya, bahwa menghangatnya laut akan terus berlanjut meskipun temperatur udara permukaan dapat distabilkan pada atau di bawah 2 derajat Celsius di abad 21 dengan komitmen jangka panjang terhadap laut. Namun demikian, tingkat dan besarnya pemanasan laut dan risiko bencana akan lebih kecil jika emisi GRK lebih rendah.

Oleh karena itu, Cheng mengingatkan laju peningkatan emisi GRK dapat dilakukan dengan pendekatan aksi manusia yang mengurangi memproduksi emisi, sehingga dapat mengurangi risiko bagi manusia dan kehidupan lain di Bumi.
 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020