Jakarta (ANTARA) - Pengamat Komunikasi Politik Hendri Satrio, mengatakan kemunculan romantisme sejarah kejayaan masa lalu berupa seperti Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire dan lainnya berpotensi memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat.

“Walaupun bentuknya sistem pemerintahan alternatif dan kelihatannya seperti dagelan, tapi fenomena ini bisa menjadi alat baca barangkali tak sedikit masyarakat yang muak dengan politik pemerintahan hari ini. Apalagi diperparah dengan situasi sosial dan ekonomi yang mereka hadapi,” kata dia Hendri, di Jakarta, Senin.

Menurut Hendri, hal-hal seperti itu sebenarnya bukan hal baru, sebelumnya juga pernah muncul kerajaan-kerajaan imajinatif dan tak sedikit masyarakat yang percaya dengan imajinasi kejayaan masa lalu. Contohnya, seperti SwissIndo yang bisa melunasi hutang Indonesia dan masyarakat, atau harta karun peninggalan masa lalu.

Pada 2002 lalu, Menteri Agama Republik Indonesia bahkan menggali Istana Batu Tulis untuk mendapatkan harta karun. Ada juga Kerajaan Ubur-Ubur, Gafatar, bahkan Kerajaan Lia Eden yang sempat gempar dengan membawa isu agama

“Saya pikir ada dua hal yang memang menjadi pemicu maraknya narasi semacam ini. Pertama kondisi ekonomi dan sosial yang makin rumit bagi masyarakat, mereka butuh alternatif. Kedua literasi sains kita begitu rendah,” ungkap Hendri.

Selain itu, lanjut Hendri, gejala kerinduan kejayaan masa lalu dengan kembali ke identitas primordial seperti suku, kerajaan yang pernah jaya, bahkan seperti white supremacy di Amerika, supremasi Hindu di India, oleh karena reaksi kekecewaan masyarakat terhadap modernisasi dan globalisasi yang tak kunjung menyejahterakan.

Baca juga: Azyumardi: orang percaya kerajaan baru karena tidak kritis

Baca juga: Polisi meminta keterangan dari delapan orang terkait Sunda Empire


Founder lembaga survei KedaiKOPI itu menegaskan, perlu menggarisbawahi terkait literasi sains dan nalar kritis masyarakat sebab sejak beberapa tahun lalu bahkan hingga sekarang, masih banyak orang percaya teori bumi datar atau konspirasi lain.

Menurut dia, fenomena belakangan ini landasannya mirip dengan yang terjadi beberapa tahun lalu, yaitu memanfaatkan ketidakmampuan masyarakat mengkonfirmasi suatu narasi dengan landasan sains.

“Bila flat earth terkait fisika dan astronomi, maka kesultanan dan segala kerajaan itu terkait dengan disiplin ilmu sejarah. Sejarawan-sejarawan kita mesti berbicara dan mengkonfirmasi dagelan ini,” kata Hendri.

Ia menjelaskan, mental atau psikologisme masyarakat itu hanyalah sebuah bentuk gejala, justru hal yang perlu dilihat adalah situasi dan kondisi seperti apa yang membuat masyarakat bisa mempercayai itu.

Hendri memandang, kondisi tersebut tercipta karena fatalisme yang berkombinasi dengan nostalgia, hal itu membuat masyarakat benar-benar muak dengan situasi yang mereka hadapi hari ini seperti kondisi sosial, ekonomi, dan seterusnya.

“Ada alasan kenapa masyarakat kita tak sedikit yang terjebak pada penipuan dengan bentuk MLM atau penipuan cara cepat untuk menjadi kaya yang lain. Apa yang ditawarkan inisiator kerajaan imajinatif itu juga mirip pada pengikutnya yaitu kekuasaan dan kekayaan dengan cara cepat,” ucapnya.

Kemudian, mengenai peran media sosial, Hendri menilainya sangat kecil, karena media sosial hanya memantik masyarakat di Jakarta tahu tentang apa yang terjadi di daerah, bukan sebagai sarana utama mereka mendulang pengikut.

Hendri melanjutkan, eskalasi post-truth yang terjadi pasca 2013-2014 membuat masyarakat dekat dengan misinformasi dan disinformasi, hal itu berkontribusi cukup besar dalam kemunculan-kemunculan klaim kejayaan masa lalu itu, meski bukan variabel utama.

Imbas dari post truth tersebut menurut dia berhubungan dengan hoaks, dan itu terlihat dari pendekatan yang dilakukan oleh pelaku-pelakunya (Keraton Djipang, Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire).

Pertama, pendekatannya kata Hendri melibatkan emosi masyarakat. Kedua, menggabungkan dengan gerakan populer, dan bahkan salah satu kerajaan imajinatif tersebut menggunakan logo mirip Nazi dan bintang Daud, atau Sunda Empire yang menyomot nama NATO.

"Tujuannya, tentu untuk menyamarkan mana yang fakta dan mana yang fiktif," katanya.

Baca juga: Roy Suryo laporkan penyebaran hoaks oleh Sunda Empire ke Polisi

Baca juga: Polisi naikkan status kasus Sunda Empire menjadi tingkat penyidikan


Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020