Denpasar (ANTARA News) - Persatuan Wartawan Indonesia akan menuntut kepada pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pembangunan pers sebagai pilar keempat dari demokrasi, minimal dapat mewujudkan pusat pendidikan dan penyelenggaraan pelatihan bagi wartawan.

"Diakui atau tidak, keberadaan pers telah secara nyata menjadi pilar keempat dari demokrasi. Jangan hanya eksekutif, legislatif dan yudikatif yang menghabiskan triliunan rupiah. Pers juga perlu dibangun agar perannya lebih positif," kata Ketua Umum PWI Pusat, H Margiono di Denpasar, Sabtu.

Ia mengungkapkan hal itu ketika menjadi narasumber sarasehan bertema "Kemerdekaan Pers dan Pemilu Berkualitas", sebagai acara lanjutan peringatan Hari Pers Nasional dan HUT ke-63 PWI.

Acara yang difasiitasi Pemerintah Kota Denpasar yang juga berulang tahun ke-17 itu, juga menghadirkan narasumber anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi Bali, Dewa Raka Sandi, dan Pelaksana Tugas Sekretaris Kota Denpasar, Nick Natawibawa.

Menurut Margiono, keinginan menuntut dana pembangunan pers tersebut didasari kenyataan dewasa ini, bahwa kondisi persuratkabaran dan media massa lainnya, masih cukup memprihatinkan, terutama dari sisi kemampuan sumber daya manusia.

Keberadaan pers masih diwarnai citra negatif, terutama oleh munculnya banyak media massa yang tidak profesional, terutama akibat kelemahan SDM wartawan yang belum sesuai standar kompetensi, ditambah maraknya tindakan tidak terpuji dari oknum-oknum yang mengaku sebagai jurnalis.

"Sekarang ini siapa saja bisa membuat penerbitan. Kasarnya tukang becak pun bisa tiba-tiba jadi pemimpin redaksi. Ini kan kacau. Karena itu pemerintah perlu membantu dalam penyiapan SDM nya," ucapnya.

Margiono mengakui, banyak penerbitan yang belum mampu memfasilitasi, apalagi mendirikan tempat pendidikan bagi wartawannya. Karena itu perlu disediakan oleh pemerintah, dengan turut menetapkan standar kelulusan wartawan sesuai ketentuan yang berlaku.

"Saya juga minta PWI nantinya hanya menerima anggota minimal sarjana, dengan melalui seleksi yang ketat. Tanpa aturan yang keras, sulit kita membangun pers yang positif, memiliki kemampuan yang berstandar," ujarnya.

Sedangkan mereka yang telah menjadi anggota PWI, yakni secara nasional mencapai sekitar 18.000 orang, dituntut untuk terus mengikuti berbagai program pendidikan dan penyetaraan, hingga memiliki kemampuan yang setara dengan seorang sarjana.

"Bayangkan, saat ini lulusan SMP saja banyak yang jadi wartawan. Bagaimana bisa membangun pers yang positif. Wawasan dan kemampuannya jelas tidak memadai untuk menghasilkan karya jurnalistik yang sesuai kebutuhan masyarakat era kini," tambah Margiono prihatin.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009