Jadi justru kalau mau Indonesia baik maupun untuk diri sendiri, jangan ikut membagikan kalau kita sendiri tidak yakin kebenaran informasi itu
Mamuju (ANTARA) - Sub Direktorat Cybercrime Polda Sulawesi Barat mengajak masyarakat cerdas memilih informasi, apalagi di tengah pandemi COVID-19.

Kepala Sub Direktorat Cybercrime Polda Sulbar Komisaris Polisi Agung Budi Leksono di Mamuju, Rabu, mengatakan berita bohong banyak beredar melalui media sosial sehingga masyarakat harus teliti memilih informasi yang benar.

Ia menunjukkan cara mengenal ciri-ciri hoaks guna menghindari konsekuensi hukum bagi penyebar maupun yang sekadar membagikan berita-berita tersebut.

"Kami juga mengingatkan masyarakat untuk tidak ikut menyebarkan informasi yang diterima di media sosial, karena biasanya informasi tersebut seringkali mengajak dengan menggunakan bahasa-bahasa yang dapat menimbulkan kebencian maupun amarah serta berita yang tidak sesuai fakta," kata dia.

Ia menyebut tentang dampak hoaks yang tidak secara teliti dicerna warga.

"Ciri-ciri hoaks kalau saat kita terima atau membaca berita yang dapat membuat kita membenci orang lain atau kelompok tertentu, sehingga mereka menciptakan adanya kebencian, kekhawatiran, dan permusuhan dan juga berita musim wabah COVID-19," katanya.

Baca juga: Polisi pastikan penyebar berita hoaks ditindak

Ia mencontohkan tentang salah satu pesan teks yang biasanya dijumpai di media sosial dengan mengatakan, "Mamuju ini bisa hancur" sehingga muncul ketakutakan masyarakat, bahkan dapat menciptakan permusuhan.

"Biasanya juga diminta untuk memviralkan dengan kata-kata minta diviralkan, minta disebarkan, jangan berhenti di sini kalau berhenti di sini tidak masuk surga dan kalau anda mengirim dapat pahala berlipat dalam sekejap. Itu justru ciri-ciri hoaks yang seharusnya jangan sampai disebarkan lebih luas lagi oleh masyarakat Sulbar, khususya Mamuju," kata dia.

Ia mengatakan penyebar dan mereka yang ikut membagikan hoaks akan berhadapan dengan hukum, sebagaimana amanat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

"Kalau masyarakat atau siapa pun yang mendapatkan pesan yang dia sendiri tidak yakin kebenaran pesan itu, tidak tahu benar atau tidak lalu kemudian membagikan, maka dia harus mengambil tanggung jawab sendiri tentang kebenaran itu," ujarnya.

Ia mengatakan mereka yang turut membagikan hoaks juga akan berhadapan dengan hukum.

"Jadi, kalau pesan itu sudah dibagikan tapi ternyata isinya menghina atau mencemarkan nama baik orang lain dan atau membuat kecemasan serta keresahan, maka orang yang ikut membagikan saja juga ada konsekuensi hukumnya dan kami akan lakukan penindakan tegas sesuai undang-undang berlaku dan kami juga berpesan berbuatlah yang bijak dalam melakukan dan menggunakan media sosial, jangan 'posting' (mengirim) yang menakut-nakuti masyarakat," kata Agung Budi Leksono.

Berdasarkan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE, katanya, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) dapat dijerat dengan hukum pidana.

“Karena memang Undang-Undang ITE itu yang dilarang adalah yang mendistribusikan, yang membuat dapat diaksesnya informasi. Jadi justru kalau mau Indonesia baik maupun untuk diri sendiri, jangan ikut membagikan kalau kita sendiri tidak yakin kebenaran informasi itu," kata dia.

Baca juga: Polri ungkap alasan pelaku penyebar hoaks COVID-19 di medsos
Baca juga: Polisi Bangka Barat tangkap penyebar hoaks terkait corona

Pewarta: Amirullah
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020