Jakarta (ANTARA) - Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) menolak usulan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Salah satu usulan revisi PP tersebut dengan membebaskan narapidana kasus tindak pidana korupsi (tipikor) yang telah berusia 60 tahun ke atas dan telah menjalani dua pertiga masa pidana. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19 di lembaga pemasyarakatan.

"WP KPK menilai terdapat beberapa argumentasi mengapa inisiatif tersebut sangat berbahaya bagi cita-cita pemberantasan korupsi dan harus ditolak," kata Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap melalui keterangannya di Jakarta, Jumat.

Baca juga: Pakar: Rencana pembebasan Napi koruptor perlu pertimbangan matang
Baca juga: DPR ingatkan pembebasan napi tipikor penuhi syarat hukum-kemanusiaan


Pertama, kata dia, Indonesia saat ini sedang menggelontorkan sekitar Rp405 triliun yang akan disalurkan dalam berbagai bentuk untuk mengatasi epidemi COVID 19.

"Hal tersebut bukan terlepas dari potensi adanya penumpang gelap (free rider) untuk mengambil manfaat melalui korupsi. Untuk itu, pesan serius yang memberikan efek "deterrence" harus lah semakin ditekankan bukan malah dihilangkan. Termasuk salah satunya diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang menekankan pemberatan sampai hukuman mati bagi pelaku korupsi di tengah bencana," ucap Yudi.

Terlebih, lanjut dia, Indonesia telah mengalami potensi korupsi yang justru meningkat di saat krisis.

"Untuk itu, wacana pembebasan koruptor termasuk dengan merevisi PP 99/2012 tersebut pada saat kondisi krisis epidemi COVID 19 merupakan bentuk untuk meringankan bahkan mereduksi "deterrence effect" dari pemidanaan terhadap koruptor," kata Yudi.

Baca juga: Napi Tipikor Lapas Sukamiskin tak mendapat hak bebas cegah COVID-19
Baca juga: ICW protes niat Yasonna bebaskan napi korupsi berusia lebih 60 tahun


Kedua, korupsi merupakan kejahatan yang serius. Untuk itu, penempatan tindak pidana korupsi setara dengan terorisme dalam ketentuan PP 99/2012 merupakan bentuk politik hukum negara untuk menempatkan posisi seriusnya kejahatan korupsi.

"Hal tersebut mengingat landasan kuat dilakukannya reformasi adalah karena persoalan korupsi di Republik Indonesia," ujar dia.

Ketiga, ia menyatakan bahwa sebetulnya wacana untuk merevisi PP 99/2012 itu bukan hal baru bahkan telah diwacanakan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sejak 2016 dan telah mendapatkan respons penolakan dari publik sehingga ditolak.

"Untuk itu, jangan sampai epidemi COVID-19 justru malah menjadi momentum yang dimanfaatkan untuk memuluskan rencana tersebut," kata Yudi.

Keempat, ia menjelaskan banyak metode lain yang dapat diterapkan untuk menghindari risiko penyebaran COVID-19 bagi para terpidana korupsi.

"Mulai dari adanya pengaturan soal sel sampai dengan kunjungan tahanan sehingga seharusnya tidak menjadi alasan," tuturnya.

Oleh karena itu, WP KPK pun menyatakan sikap, yakni untuk mendorong Presiden Joko Widodo agar memerintahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk tidak melanjutkan revisi PP 99/2012 dan upaya lain yang dapat menghilangkan atau mengurangi hukuman bagi koruptor.

Kemudian, mengajak berbagai pihak terkait di pemerintahan termasuk Menteri Hukum dan HAM agar menolak rencana revisi PP 99/2012 dan upaya lain yang dapat menghilangkan atau mengurangi hukuman bagi koruptor.

Baca juga: IPW dorong data napi dibebaskan dibagikan ke polisi
Baca juga: Kemarin, penahanan mesti selektif sampai pakar bicara pembebasan napi

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020