Pemerintah (Myanmar) tidak benar-benar mengakui adanya tahanan politik, tetapi kami dimintai daftarnya dan kami memberikan daftar lebih dari 70
Yangon (ANTARA) - Pemerintah Myanmar akan membebaskan hampir 25.000 tahanan melalui amnesti untuk menandai Tahun Baru tradisional, kata kantor presiden, Jumat.

Presiden Win Myint mengatakan ada 24.896 orang dipenjara di seluruh negeri, termasuk 87 orang asing, akan dibebaskan tanpa syarat "untuk membawa kesenangan kepada warga Myanmar dan mempertimbangkan masalah kemanusiaan".

Namun, Presiden Myint tidak memberikan perincian tentang jenis kejahatan yang dilakukan oleh para narapidana yang akan dibebaskan tersebut.

Kerumunan di luar penjara Insein di ibukota Yangon berharap dapat menyambut anggota keluarga mereka, meskipun ada larangan berkerumun untuk mencegah penyebaran virus corona yang telah memicu pandemi.

Myanmar telah melaporkan 85 kasus infeksi virus corona dan empat kematian.

Akan tetapi masih belum jelas apakah pembebasan tahanan, yang terjadi setiap tahun, akan mencakup para tahanan yang dihukum sehubungan dengan tindakan selisih pendapat dengan pemerintah. Juru bicara departemen lembaga pemasyarakatan Myanmar tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentarnya.

Ketika pemenang Nobel Aung San Suu Kyi mengambil alih kekuasaan pada 2016, setelah lebih dari setengah abad militer berkuasa di Myanmar, salah satu tindakan pertamanya adalah membebaskan ratusan tahanan politik.

Departemen lembaga pemasyarakatan Myanmar sebelumnya mengatakan bahwa tidak ada tahanan politik di Myanmar, tetapi kelompok hak asasi mengatakan puluhan orang dipenjara di negara itu karena aktivitas politik mereka.

"Pemerintah (Myanmar) tidak benar-benar mengakui adanya tahanan politik, tetapi kami dimintai daftarnya dan kami memberikan daftar lebih dari 70," kata Aung Myo Kyaw dari Assistance Association for Political Prisoners.

"Kami masih belum tahu apakah ada di antara mereka yang dibebaskan," ujarnya.

Lebih dari 331 orang di Myanmar dituntut dalam kasus-kasus terkait kebebasan berekspresi pada 2019, menurut kelompok hak asasi manusia Athan.

Mereka yang berada di balik jeruji termasuk anggota rombongan puisi satir dan siswa yang dipenjara bulan lalu karena memprotes penutupan internet yang diberlakukan pemerintah.

Sementara militer mempertahankan kekuatan yang luas, para aktivis mengatakan pemerintah sipil Myanmar telah gagal menggunakan mayoritas parlementernya untuk menghapuskan undang-undang represif yang membungkam perbedaan pendapat dan memperketat pembatasan pada masyarakat sipil.

Sumber: Reuters

Baca juga: Puluhan warga Rohingya tewas di atas perahu, 382 orang diselamatkan

Baca juga: Myanmar tuntut pendeta karena lawan aturan pembatasan saat pandemi

Penerjemah: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2020