Fasilitas pelayanan kesehatan yang belum memiliki insinerator dan menghadapi tambahan limbah medis akibat COVID-19 bisa mempertimbangkan penggunaan autoclave.
Jakarta (ANTARA) - Kepala Loka Penelitian Teknologi Bersih (LPTB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. Ajeng Arum Sari menjelaskan bahwa autoclave bisa menjadi solusi pengolahan limbah medis COVID-19 untuk fasilitas layanan kesehatan (fasyankes).

"Limbah COVID-19 banyak jenisnya tidak hanya APD, dan harus dilihat material juga. Karena terkadang material seperti PVC ketika diinsinerasi harus dibakar di atas (suhu) 800 derajat, jika tidak, ada potensi menghasilkan dioksin," kata Ajeng dalam diskusi yang diadakan LIPI memperingati Hari Bumi yang diperingati hari ini via konferensi video di Jakarta, Rabu.

Selain itu, kekurangan insinerator yang lain adalah harus terdapat alat pengendalian pencemaran udara dan membutuhkan lahan yang cukup luas. Sistem pengoperasiannya pun cukup kompleks, meski diakui insinerator dapat memproses limbah medis dalam jumlah besar.

Virus, kata dia, termasuk dalam golongan yang rentan rusak karena itu dengan disinfeksi mikroorganisme itu bisa dimatikan. Jadi sebenarnya tidak membutuhkan teknologi yang terlalu canggih untuk membunuhnya.

Karena itu, fasyankes yang belum memiliki insinerator dan menghadapi tambahan limbah medis akibat COVID-19 bisa mempertimbangkan penggunaan autoclave sebagai salah satu opsi pengolahan limbah.

Baca juga: Pandemi COVID-19 meningkatkan kekhawatiran soal dampak limbah medis

Autoclave adalah alat yang digunakan untuk mensterilkan peralatan dan perlengkapan dengan menundukkan material untuk uap tekanan tinggi. Untuk pengolahan sampah medis, autoclave biasanya dilengkapi dengan alat pencacah.

Autoclave menggunakan teknologi termal yang tidak menghasilkan emisi berbahaya, bebas patogen dan aman untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir.

Siklus penggunaannya pun tidak sulit untuk dikendalikan dan teknologi penerapannya lebih mudah dibandingkan insinerator.

Penggunaan insinerator dan autoclave untuk memproses limbah medis COVID-19 sebenarnya sudah diatur dalam surat edaran yang dikeluarkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya pada akhir Maret 2020 tentang pengelolaan limbah B3 COVID-19 yang bersifat infeksius atau berpotensi menular.

Namun, menurut data KLHK, hanya 20 rumah sakit rujukan COVID-19 yang memiliki insinerator berizin dari 132 rumah sakit yang ditunjuk pemerintah untuk merawat pasien penyakit yang disebabkan virus corona jenis baru itu.

Baca juga: Ahli lingkungan peringatkan penambahan masif limbah medis COVID-19

Sementara itu perusahaan berizin yang menyediakan jasa pengolahan limbah B3 yang memiliki insinerator hanya terdapat 14 perusahaan.

Menghadapi lonjakan jumlah limbah medis COVID-19 yang harus segera diproses dalam waktu 2x24 jam itu, KLHK mempersilahkan rumah sakit dengan insinerator dalam proses perizinan untuk mengolah limbah medis yang dihasilkan dari perawatan pasien COVID-19.

"Memang kalau dalam keadaan normal, operasional alat itu perlu mendapatkan izin dari KLHK. Tapi memang sekarang kan tidak normal dan kami perhitungkan limbah medis, khususnya limbah infeksius COVID-19 ini, akan meningkat kurang lebih 30 persen dari normal," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Sampah dan Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati.

Baca juga: Atasi limbah medis, KLHK akan bangun lima insinerator limbah 2020

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2020