Jakarta (ANTARA) - Perum Produksi Film Negara (PFN) dan para sineas menggelar diskusi virtual bersama dengan Konsul Jenderal Republik Indonesia di Los Angeles (KJRI LA) dalam upaya memajukan industri perfilman Indonesia di kancah internasional.

Diskusi itu membahas poin utama mengenai peluang dan pengembangan kerja sama antara sineas lokal dengan industri perfilman internasional seperti Hollywood, khususnya untuk menjangkau peluang baru yang muncul dari bagian adanya normal baru.

"Sasaran FGD ini adalah diskusi yang informal tapi serius, yang serius tapi fun karena film itu membawa kebahagiaan. Dari diskusi ini KJRI akan men-download memasukan dari rekan perfilman sehingga sasaran dari FGD ini terpakai," kata Judith Dipodiputro selaku Direktur Utama PFN dalam sambutanya, Jumat.

Saud P. Krisnawan Konsul Jenderal RI Los Angeles, mengatakan bahwa adanya diskusi ini menjadi momen bagi pihaknya untuk menyerap informasi dari para sineas lokal dalam upaya memajukan industri perfilman Indonesia di kancah internasional.

Baca juga: PFN bakal bangun pusat kreatif inkubator start up bidang film

Baca juga: PFN gelar Bioskop Rakyat gandeng Goethe-Institute


Dia mengatakan KJRI Los Angeles memiliki tiga program utama terkait perfilman, yaitu terkait promosi Indonesia sebagai lokasi syuting, promosi industri animasi, hingga mempertemukan para sutradara dan produser film di Hollywood dengan sineas Indonesia.

Beberapa nama sineas yang ikut dalam diskusi ini, seperti Joko Anwar, Mouly Surya, Gina S. Noer, Fajar Nugros, Sheila Timothy, dan Robert Ronny. Masing-masing dari mereka mengemukakan pandangan dan pendapat mengenai perfilman Indonesia di internasional serta kendala yang dihadapi selama ini.

Seperti yang diungkapkan oleh Sheila Timothy yang menyoroti masalah perizinan dan hukum ketika sineas lokal akan bekerjasama dengan nama besar di industri perfilman internasional.

Sheila yang pernah bekerjasama dengan Fox International Production untuk produksi film "Wiro Sableng" mengatakan bahwa belum banyak pengacara Indonesia yang benar-benar khusus menangani masalah perfilman.

"Karena ketika berurusan industri sekaliber Fox, legal mereka sudah sangat advance. Mereka sudah memiliki lawyer khusus untuk entertainment sementara kita belum ada," kata dia.

Baca juga: Perum PFN dan Komisi Informasi berencana buat film sejarah

Baca juga: Film "Unyil Reborn" cari investor


Sementara itu, Gina S. Noer yang juga merupakan penulis cerita "Dua Garis Biru" mengatakan bahwa Indonesia bisa belajar dari kemajuan industri perfilman Korea Selatan di internasional. Salah satu faktor penting, menurut Gina, adalah tersedianya SDM kompeten yang dihasilkan dari sistem pendidikan.

"Apa yang dilakukan Korea itu adalah pekerjaan yang dilakukan puluhan tahun. Ketika mau masuk industri besar kita harus sadar juga Korea itu mereka menyiapkan melalui pendidikan, menyiapkan talent sedini mungkin," ujar Gina.

"Mulai bekerja sama dengan institusi pendidikan di Hollywood. Misalnya mana pendikan skenario terbaik yang mungkin institusi atau pengajarnya bisa kerja sama di Indonesia," tambahnya.

Pendapat Gina juga serupa dengan yang diutarakan oleh Joko Anwar yang menilai bahwa perlu adanya peran pemerintah dan stakeholder terkait dalam menyediakan akses pendidikan khususnya berkaitan dengan film.

"Pendidikan di Indonesia kita enggak punya sekolah film yang cukup untuk mencetak SDM perfilman yang punya skill. Tempat kita bisa belajar perrilman ini yang kurang di Indonesia. Kalau kita bisa buat sekolah film bisa lama. Mungkin kita bisa buat inkubasi. Selama ini kita banyak melakukan inkubasi melalui individu dan badan usaha," kata Joko Anwar.

Baca juga: Abduh Aziz, Dirut PPFN wafat

Baca juga: PFN targetkan bukukan laba Rp100 miliar hingga 2023

Pewarta: Yogi Rachman
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020