dengan menggunakan teknologi pengelolaan lahan tanpa bakar, hanya mengeluarkan biaya tak sampai Rp100 ribu untuk setidaknya dua hektare lahan
Pontianak (ANTARA) - Lahan gambut dengan tingkat keasaman yang tinggi dan pH rendah kini tidak lagi menjadi kendala bagi M Yasin, 42, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Permata Elok di Desa Pasakpiang, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, dalam mempromosikan pengelolaan lahan tanpa bakar.

Bahkan, setelah memperoleh pendampingan dari Badan Restorasi Gambut (BRG), ia dapat menekan biaya produksi berkali lipat jika dibandingkan dengan teknik konvensional dalam pengelolaan lahan gambut.

Teknik konvensional yang dimaksud adalah dengan cara memberi kapur pertanian atau dolomit agar pH di lahan gambut tersebut sesuai kebutuhan tanaman. Sebelum diberi dolomit, biasanya lahan dibakar terlebih dahulu. Belum lagi kebutuhan 4 - 10 ton kompos per hektare untuk merestorasi daya simpan air dan sifat butiran tanah.

"Satu karung dolomit ukuran 50 kilogram bisa Rp60 ribu, kalau satu hektare, bisa dua ton kebutuhannya," ujar M Yasin saat ditemui di Desa Pasakpiang, yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Kota Pontianak, Kamis.

Namun, dengan menggunakan teknologi pengelolaan lahan tanpa bakar, hanya mengeluarkan biaya tak sampai Rp100 ribu untuk setidaknya dua hektare lahan.

"Jadi, banyak kelebihan dibanding kekurangannya," kata dia.

M Yasin belum lama beralih ke pengelolaan lahan tanpa bakar. Tepatnya sekitar 2018 saat ia diminta untuk mengikuti pelatihan yang digelar BRG di Kota Pontianak. Ia diajari cara membuat pupuk organik yang diberi nama F1 Embio.

Formula F1 Embio ini ditemukan oleh Joko Wiryanto, alumni Universitas Pasundan, Bandung Jawa Barat, yang sejak 1988 telah mengutak atik bahan untuk menghasilkan mikrob yang dapat menguraikan bahan organik di lahan gambut serta menyederhanakan "gula tanah" sehingga mudah terserap tanaman.

Bahan bakunya mudah ditemui di Pasakpiang yang tekstur tanahnya sebagian besar berupa lahan gambut itu. Menurut Yasin, dari sekian banyak komposisi bahan baku, yang harus dibeli hanya gula pasir atau tepung sagu.

Baca juga: BRG ajak pemda di Sumsel kembangkan demplot untuk hindari bakar lahan

Baca juga: CIFOR: Masyarakat butuh contoh nyata pembukaan lahan tanpa bakar


Bahan mudah dicari

Bahan untuk membuat F1 Embio yakni buah nanas atau pepaya matang satu buah (parut), bekatul satu kilogram atau Vitamin B kompleks 10 butir, kepala udang kering satu kilogram (haluskan) atau terasi 10 bungkus.

Kemudian, tepung sagu atau tapioka 200 gram, kotoran ayam belum terkena matahari satu gumpal, gula pasir satu kilogram, air bersih lima liter.

Cara membuatnya, lima liter air didihkan, di wadah terpisah larutkan sagu/tapioka dalam seliter air dingin dan aduk rata. Lalu, parutan nanas, kepala udang, bekatul, dan gula dimasukkan lalu aduk.

Setelah merata, masukkan air sagu lalu aduk rata hingga mendidih kemudian apinya dimatikan. Ketika campuran tersebut sudah dingin, kotoran ayam dimasukkan, lalu wadah ditutup dan diamkan serta buat lubang kecil di tutup wadah untuk mengeluarkan gas. Setelah 18 jam, embio siap digunakan.

Untuk penggunaannya, tambahkan seliter embio dan 500 gram gula pasir ke dalam 50 liter air. Larutan sebanyak itu cukup untuk satu hektare lahan. Larutan tersebut disemprotkan setelah olah tanah untuk menggemburkan tanah atau pascapanen untuk mempercepat dekomposisi sisa akar tanaman sebelumnya.

M Yasin menuturkan, ia telah beberapa kali menerapkan penggunaan F1 Embio di lahannya. Namun hasilnya berbeda. Di lahan yang pernah ditanami dan sebelumnya menggunakan pupuk kimia, hasilnya tidak terlalu bagus.

Kini ia mencoba di lahan yang baru dibuka. Lokasinya sekitar satu kilometer dari jalan desa, menelusuri jalan tanah dengan gambut yang tebal. Ia baru membuka lahan tersebut pada akhir 2019. Luasnya sekitar setengah hektare.

Ia mengakui, tanpa membakar saat membuka lahan, ada pekerjaan tambahan yang cukup berat. Yakni menyisihkan pepohonan yang terpaksa harus ditebang serta membuang tunggul-tunggul sisa pohon. Setelah lahan lapang, lalu disemprot menggunakan racun rumput yang mudah dibeli di toko bahan pertanian. Ia membiarkan selama satu bulan supaya tanaman-tanaman kecil yang telah disemprot tadi, lapuk dan hancur.

Sambil menunggu lahan siap, ia mulai menyemai bibit jahe. Yasin memilih jahe karena hasilnya lumayan banyak namun lahan yang diperlukan tidak terlalu luas. Setelah satu bulan, dibuat bedengan yang ukurannya disesuaikan dengan luas lahan. Di lahan itu, ia membuat 8 bedengan dengan ukuran masing-masing lebar tiga meter, panjang 45 meter.

Kemudian, menyemprot bedengan dengan F1 Embio. Untuk areal seluas itu, dibutuhkan sekitar satu tangki ukuran 15 liter. Waktu yang paling tepat untuk menyemprot adalah sore hari supaya larutan tidak menguap terkena panas matahari.

Bibit jahe dipindah setelah dua minggu disemai. Sekitar usia satu bulan, biasanya jahe telah tumbuh tunas dan perlu disemprot kembali setiap 15 hari hingga panen. Usia panen biasanya tujuh bulan sampai 10 bulan, tergantung kebutuhan pembeli.

Ia hanya perlu mengeluarkan biaya tambahan jika tanaman terserang hama. Belum lama ini, Yasin panen jahe di areal tersebut sebanyak 500 kilogram. Dengan modal di kisaran Rp2 juta, mendapat penghasilan kotor hampir Rp10 juta.

Ia berencana untuk memperluas areal tanam dengan melibatkan anggota gapoktan sehingga setiap bulan dapat panen jahe.

"Pokoknya, sekarang tidak lagi bakar lahan," ujar M Yasin.

Baca juga: Polisi selidiki kebakaran lahan gambut di Pelalawan Riau
Baca juga: Balitbangtan lakukan pemutakhiran peta lahan gambut

 
Ilustrasi - Pembukaan lahan tanpa bakar. (Istimewa) (Istimewa/)

Bayar denda

Ketua Kelompok Tani Gambut Harapan Piang, Mansyur, mengaku dulu juga sering menggunakan cara bakar saat membuka lahan. Namun sejak mengenal program pengelolaan lahan tanpa bakar, ia memilih cara tersebut.

Ada beberapa pertimbangan lain sehingga ia tidak lagi membakar. Seperti kekhawatiran kalau membakar lahan bisa merembet ke tanaman lain milik tetangganya.

Dalam beberapa kasus, ia menceritakan ada tetangganya yang harus mengganti rugi hingga jutaan rupiah. Uang itu untuk membayar tanaman yang ludes terbakar.

"Ada yang harus membayar Rp5 juta sampai Rp6 juta, karena tanaman tetangganya ikut terbakar, jadi harus ganti rugi," ujar Mansyur.

Ketua RT 04/RW 01 Dusun Sungai Piang, Desa Pasakpiang, Riham Husaini juga menceritakan hal serupa. Tetangganya ada yang membakar lahan di belakang rumah, arealnya tidak luas. Namun api menyebar hingga menghanguskan lahan di sekitarnya. Mau tidak mau, tetangganya itu harus mengganti rugi.

"Sering kejadian seperti ini," kata Riham Husaini.

M Yasin mengakui ada beberapa keuntungan lain dengan pengelolaan lahan tanpa membakar. Selain tidak melanggar aturan, petani juga menjadi lebih sehat karena tidak menghirup asap hasil kebakaran. "Sekarang, kalau tidak hujan, langsung ditelpon sama Bhabinkamtibmas, supaya waspada agar tidak ada kebakaran lahan," kata M Yasin.

Yasin pun kini berhasil mengajak anggota Gapoktan Permata Elok yang menanam padi agar tidak lagi menggunakan cara bakar untuk membersihkan lahan setelah panen. Luasnya sekitar 30 hektare. "Cara yang murah, sehat, dan tidak langgar aturan, dengan tidak membakar lahan," kata dia.
Baca juga: Tim BRG panen padi hitam lahan gambut Banyuasin

Pewarta: Teguh Imam Wibowo
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2020