Jakarta (ANTARA) - Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menyebut bahwa ada sebanyak 11 ABK Indonesia yang wafat dan 2 orang hilang ketika bekerja di kapal ikan berbendera China selama periode 22 November 2019-19 Juli 2020 atau kurang lebih selama 7 bulan terakhir.

"Mereka yang meninggal mayoritas disebabkan karena kekerasan fisik, intimidasi dan ancaman, kondisi kerja dan kehidupan yang kejam di atas kapal," kata Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu.

Ia mengungkapkan bahwa kasus terbaru adalah ABK Indonesia asal Bitung bernama Fredrick Bidori pada tanggal 19 Juli 2020 meninggal di rumah sakit Peru setelah mengalami kecelakaan kerja di kapal ikan berbendera China Lu Yan Tuan Yu 016.

Atas banyaknya korban ABK meninggal tersebut, Abdi mendesak pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah progressif guna melakukan perbaikan secara total untuk melindungi ABK migran Indonesia.

"Berikan perlindungan kepada ABK migran Indonesia dari tahap sebelum bekerja, selama bekerja dan setelah bekerja sesuai ketentuan UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Miigran Indonesia," katanya.

Dalam melakukan profiling kasus yang menimpa ABK perikanan Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera China, DFW Indonesia menemukan pula adanya indikasi kerja paksa, perdagangan dan penyelundupan orang.

"Modus penyeludupan orang juga ditemukan pada kasus yang menimpa korban bernama Eko Suyanto. Eko Suyanto yang dalam kondisi sakit ditransfer dari kapal ikan FV Jin Shung ke kapal nelayan Pakistan. Eko kemudian terlantar dan meninggal di pelabuhan Karachi Pakistan pada Mei 2020 lalu. Setelah wafat, masalah yang dihadapi belum selesai sebab para korban tersebut masih mengalami pemotongan upah dan gaji yang tidak dibayarkan," kata Abdi.

Menurut Abdi, saat ini masih ada puluhan orang ABK Indonesia yang terjebak dan bekerja di kapal China sedang melakukan operasi penangkapan ikan di laut internasional.

Untuk itu, ujar dia, pemerintah Indonesia perlu segera mencegah dan menghentikan praktik kekerasan yang menimpa ABK Indonesia di kapal berbendera China.

"Langkah-langkah yang perlu dilakukan pemerintah adalah, pertama melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah dan asosiasi manning agent untuk pendataan keberadaan ABK perikanan yang bekerja di kapal China baik yang legal dan ilegal. Pemerintah perlu memastikan status dan keberadaan mereka saat ini untuk mengambil langkah antisipasi seperti reptriasi untuk ABK yang bekerja di kapal ikan bermasalah dimana mereka mengalami kekerasan dan penyiksaan," katanya.

Selanjutnya, masih menurut dia, pemerintah perlu menjamin dan memastikan hak-hak para korban ABK tersebut dapat diterima oleh ahli waris korban. Keluarga korban perlu pendampingan dan perlindungan agar tidak dipermainkan oleh calo atau broker kasus.

Kemudian, lanjutnya, aparat penegak hukum Indonesia perlu melakukan penyelidikan terhadap sejumlah perusahaan agen pengirim ABK yang meninggal karena ikut bertanggungjawab atas kematian yang dialami.

Sementara itu, Koordinator Program SAFE Seas Project DFW Indonesia, Muhamad Arifuddin mengatakan bahwa perlu ada strategi pencegahan melalui pemberian edukasi kepada manning agent dan calon ABK migran Indonesia yang akan bekerja di kapal ikan asing.

"Sebelum berangkat, mereka perlu diedukasi tentang resiko, indikator kerja paksa dan perdagangan orang agar tidak terjebak dalam pekerjaan yang beresiko dan praktik perbudakan di kapal ikan asing. Untuk hal ini perlu ada kerjasama dan dukungan dari pemerintah daerah dan manning agent pengirim," kata Arifuddin.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2020