Jakarta (ANTARA) - Sejumlah satwa langka endemik ditemukan dalam ekspedisi di kawasan jajaran pegunungan Sanggabuana yang memiliki ketinggian 1.291 meter di atas permukaan laut, di Kabupaten Karawang, Jawa Barat.

"Dengan temuan satwa banyak endemik dan terus banyak terancam punah harusnya bukan dikelola oleh Perhutani yang notabene di bawah Kementerian BUMN, harusnya ini dikelola sebagai konservasi di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," kata Ketua Tim Sanggabuana Wildlife Expedition Bernard T Wahyu Wiryanta kepada ANTARA, Jakarta, Senin.

Bernard berharap dari temuan itu, kawasan pegunungan Sanggabuana ke depan bisa dikelola sebagai kawasan konservasi.

Baca juga: BBKSDA cek keberadaan surili di Cianjur

Saat ini, kawasan itu merupakan sebagian hutan lindung, dan sebagian hutan produksi.

Bernard menuturkan temuan awal itu akan dilaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan pemerintah daerah setempat agar membentuk tim terpadu untuk membuat kajian ulang.

Ekspedisi yang bertajuk "Sanggabuana Wildlife Expedition" pada 15-22 Juli 2020 dilakukan sebanyak 24 orang yang terdiri dari Komunitas Pendaki Gunung (KPG) Regional Depok yang didukung oleh KPG regional Karawang, KPG regional Bekasi, The Wildlife Photographers Community (WPC), dan Bara Rimba Karawang.

Sebanyak 24 orang tersebut terdiri dari 14 orang yang merupakan tim inti yang memasuki hutan, dan sisanya merupakan tim pantau dan logistik yang ada di perkampungan.

Selain mendata hidupan liar yang ada di kawasan Sanggabuana, tim ekspedisi juga melakukan mitigasi bencana, memetakan potensi bencana yang ada di sekitar kawasan satu-satunya gunung yang ada di Kabupaten Karawang itu.

Baca juga: Menurun drastis populasi elang Jawa di Gunung Ijen, sebut BKSDA

Ekspedisi itu dimulai dari Kampung Tipar yang ada di ujung timur jajaran pegunungan Sanggabuana dan menyusuri sepanjang kawasan hutan sampai ke Puncak Sanggabuana dan ke sekitar kawasan Gunung Rungking.

Dalam perjalanannya, tim ekspedisi berhasil mendata, melakukan perjumpaan langsung, menemukan jejak dan merekam serta mendokumentasikan secara visual beberapa satwa langka yang terdiri dari primata endemik, burung, karnivora besar, dan beberapa mamalia serta serangga.

Untuk kelompok primata, sejumlah owa Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata), lutung Jawa (Trachypitecus auratus), dan kera ekor panjang (Macaca fascicularis)

Pada kelompok burung, ditemukan rangkong julang emas (Rhyticeros undulatus), elang Jawa (Nisaetus bartelsi), elang brontok (Spizaetus cirrhatus), puyuh gonggong Jawa (Arborophila javanica), ayam hutan hijau (Gallus varius), raja udang (Alcedinidae), takur tohtor (Psilopogon armilaris), takur bututut (Psilopogon corvinus), kipasan bukit (Rhipidura euryura), wergan Jawa (Alcippe pyrrhoptera), tepus pipi perak (Cyanoderma melanothorax), burung ayam-ayam/ruak-ruak (Gallicrex cinerea), kutilang Jawa (Pycnonotus aurigaster), dan prenjak Jawa (Prinia familiaris).

Tim ekspedisi juga menemukan macan tutul/macan kumbang (Panthera pardus melas), kupu-kupu raja (Troides amphrysus), babi hutan (Sus scrofa), rusa (Cervus timorensis), dan tupai/bajing (Tupaia javanica).

Baca juga: Aktivis soroti pelepasan hutan habitat gajah Bengkulu 4.600 ha

Owa Jawa (Hylobates moloch) merupakan satwa yang dilindungi menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup PP 92 tahun 2018 tentang perubahan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup PP 20 Tahun 2018 tentang Perlindungan Tumbuhan dan Satwa Liar.

International Union for Conservation of Nature ( IUCN) juga memasukkan owa Jawa dalam kategori vulnerable atau terancam punah. Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) juga masuk dalam IUCN red list dengan status vulnerable. Sedangkan surili (Presbytis comata) dalam IUCN red list masuk dalam kategori endagered atau nyaris punah.

Macan kumbang atau macan tutul (Panthera pardus melas) dalam IUCN red list masuk dalam kategori critically endangered atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar.

Dari citra satelit sebelum ekspedisi, tim mendata ada sekitar 157 titik hulu sungai atau mata air, yang hampir 60 persennya berada di sisi selatan dan bermuara atau menjadi penyuplai debit air di Waduk Jatiluhur. Sisanya merupakan sumber mata air Citarum.

Namun selama ekspedisi, hampir 50 persen lebih hulu mata air itu mengalami kekeringan, hanya menyisakan bekas aliran sungai kering.

Matinya hulu sungai atau mata air itu merupakan indikasi bahwa hutan di kawasan pegunungan Sanggabuana sudah mengalami perubahan atau alih fungsi hutan dan harus segera dibenahi.

Bernard menuturkan sebagian wilayah hutan diubah menjadi perkebunan kopi, sengon dan hutan rakyat. Tim juga menemukan banyaknya bekas pohon besar yang ditebang.

Tim mendapati beberapa pemburu masuk hutan untuk memburu satwa langka yang ada di Sanggabuana.

Tim ekspedisi juga menemukan berkurangnya beberapa tanaman yang menjadi daya dukung untuk kelangsungan hidup primata, mamalia, dan kupu-kupu raja serta beberapa burung. Tanaman itu antara lain pohon rasamala dan pohon ficus.

"Kalau tanaman berkurang otomatis daya dukungnya berkurang, satwanya akan ikut berkurang," tutur Bernard.

Baca juga: Koalisi LSM kampanye kurangi perdagangan penyu "Keren Tanpa Sisik"
Baca juga: BKSDA Maluku lepasliarkan satwa liar endemik
Baca juga: LSM KOMIU ajak masyarakat Sulawesi Tengah jaga satwa endemik

 

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020