Bogor (ANTARA News) - Direktur Penata Ruang Tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Irwan Isa menyebutkan sebanyak 7,3 juta hektare (Ha) lahan di Indonesia terindikasi terlantar.

"Lahan tersebut milik perorangan yang tidak dikelola secara baik, sehingga tidak menghasilkan apapun," ujarnya kepada ANTARA News, Selasa.

Ia mengatakan, 7,3 juta hektare lahan itu tidak dikelola secara baik, sehingga tidak menghasilkan untuk daerah dan pemerintah setempat.

Data tersebut terkumpul usai pemetaan tanah di seluruh kawasan Indonesia yang dilakukan BPN pada tahun 2009.

Penyebaran lahan terindikasi terlantar ini hampir di seluruh wilayah Indonesia, paling banyak terdapat di Indonesia bagian Timur dan Barat.

Irwan mengatakan, lahan terindikasi terlantar adalah lahan yang dibiarkan tanpa dikelola pemiliknya.

Keberadaan lahan terindikasi terlantar ini sangat merugikan pemerintah, karena kepemilikan lahan saat ini sangat sulit apalagi diperuntukkan bagi usaha pertanian

BPN melalui undang-undang 41 tahun 2008 dan PP tentang pertanahan yang sedang disusun saat ini oleh BPN berusaha melakukan optimalisasi pemanfaatan lahan bagi usaha pertanian dan perkebunan.

BPN melakukan upaya penertiban dengan memberikan peringatan kepada pemilik tanah agar memanfaatkan tanah lebih optimal.

"Ada tiga peringatan, masing-masing jangka waktu dua bulan. Peringatan pertama berupa tertulis, jika tidak diidahkan kita beri peringatan lisan. Masih tidak diindahkan, lahan tersebut akan kita tarik dan kita bagikan kemasyarakat untuk dikelola," tegas Irwan.

Penertiban lahan atau pengambilalihan tanah terindikasi terlantar diperuntukkan bagi tiga kelompok atau bidang, di antaranya kepada masyarakat yang kesulitan mendapatkan lahan untuk bertani.

"Saat ini banyak petani miskin yang kesulitan lahan, lahan ini kita berikan ke masyarakat miskin untuk mendukung agraria," katanya

Peruntukan lainnya adalah untuk kasus darurat, seperti korban bencana."Bisa dijadikan untuk kuburan massal, atau untuk mengganti lahan atau rumah masyarakat yang rusak akibat bencana," ucapnya.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009