Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami keterangan dua saksi perihal dugaan penerimaan uang sebagai "kickback" atau imbalan terkait kasus PT Dirgantara Indonesia (PT DI).

KPK, Kamis memeriksa Bupati Blora Djoko Nugroho dan Kepala Seksi Sarana dan Prasana Basarnas Suhardi sebagai saksi dalam penyidikan kasus suap kegiatan penjualan dan pemasaran pada PT DI Tahun 2007-2017. Keduanya diperiksa untuk tersangka mantan Direktur Utama PT DI Budi Santoso (BS).

"Penyidik mendalami keterangan para saksi tersebut terkait adanya pengetahuan saksi perihal dugaan penerimaan uang sebagai "kickback" dari PT DI kepada pihak-pihak "end user" atau pemilik proyek pekerjaan pengadaan barang di kementerian/lembaga terkait," ucap Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Usai diperiksa, Djoko juga mengaku dikonfirmasi penyidik soal aliran dana dalam kasus tersebut.

Baca juga: Ketua KPK: Pilkada harus bebas politik uang
Baca juga: KPK maksimalkan penanganan kasus korupsi-pencucian uang oleh korporasi


"Dikonfirmasi soal aliran dana ke saya. Jumlahnya berapa, saya kurang tahu. Cuma saya merasa tidak tahu menahu tentang masalah ini," kata Djoko di Gedung KPK, Jakarta, Kamis.

Selain itu, ia juga mengaku dikonfirmasi penyidik soal pengetahuannya tentang pejabat-pejabat di PT DI dan juga perusahaan-perusahaan yang merupakan mitra PT DI.

"Kenal tidak sama pejabat-pejabat DI, kenal tidak sama PT-PT sebagai mitra mereka," ungkap Djoko.

Selain Budi, KPK pada 12 Juni 2020 juga telah menetapkan bekas Asisten Direktur Bidang Bisnis Pemerintah PT DI Irzal Rinaldi Zailani (IRZ) sebagai tersangka.

Dalam konstruksi perkara disebut bahwa pada awal 2008, tersangka Budi dan tersangka Irzal bersama-sama dengan para pihak lain melakukan kegiatan pemasaran penjualan di bidang bisnis di PT DI.

Dalam setiap kegiatan, tersangka Budi sebagai direktur utama dan dibantu oleh para pihak bekerja sama dengan mitra atau agen untuk memenuhi beberapa kebutuhan terkait dengan operasional PT DI. Adapun proses mendapatkan dana untuk kebutuhan tersebut dilakukan melalui penjualan dan pemasaran secara fiktif.

Pada 2008 dibuat kontrak kemitraan/agen antara PT DI yang ditandatangani oleh Direktur Aircraft Integration, Direktur PT Angkasa Mitra Karya, PT Bumiloka Tegar Perkasa, PT Abadi Sentosa Perkasa, PT Niaga Putra Bangsa, dan PT Selaras Bangun Usaha.

Atas kontrak kerja sama mitra/agen tersebut, seluruh mitra/agen tidak pernah melaksanakan pekerjaan berdasarkan kewajiban yang tertera dalam surat perjanjian kerja sama sehingga KPK menyimpulkan telah terjadi pekerjaan fiktif.

Baca juga: ICW nilai kinerja Dewas KPK belum efektif
Baca juga: KPK panggil Bupati Blora terkait kasus PTDI


Selanjutnya pada 2011, PT DI baru mulai membayar nilai kontrak tersebut kepada perusahaan mitra/agen setelah menerima pembayaran dari pihak pemberi pekerjaan.

Selama 2011 sampai 2018, jumlah pembayaran yang telah dilakukan oleh PT DI kepada enam perusahaan mitra/agen tersebut terdiri dari pembayaran Rp205,3 miliar dan 8,65 juta dolar AS atau sekitar Rp125 miliar, akibatnya total terjadi kerugian negara yang nilainya sekitar sekitar Rp330 miliar.

Baca juga: Bupati Blora mengaku dikonfirmasi aliran dana dalam kasus PT DI

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020