Jakarta (ANTARA) - Ketua Tim Peneliti Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Indonesia Pangeran mengatakan keluarga pekebun sawit skala kecil belum sejahtera secara objektif dan masih belum sepenuhnya memenuhi kepentingan terbaik bagi anak.

"Temuan hasil penelitian menunjukkan keluarga pekebun sawit skala kecil tidak memiliki seluruh kelayakan kriteria kesejahteraan objektif," kata Pangeran dalam seminar virtual "Ketahanan Keluarga dan Pemenuhan Kepentingan Terbaik Bagi Anak pada Masyarakat Perkebunan Kelapa Sawit", Jakarta, Rabu.

Seminar itu diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak dan Unicef.

Keluarga pekebun sawit swadaya skala kecil dapat dikatakan sejahtera secara objektif jika memenuhi kelayakan kriteria yang meliputi kesehatan, ekonomi, psikis, pendidikan, sosial, dan kultural.

PKPA dan tim melakukan riset terhadap tujuh lokasi desa dari lima provinsi, yakni Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan. Desa yang diteliti adalah desa dengan jumlah populasi pekebun sawit swadaya skala kecil, desa dengan tingkat kemiskinan multidimensional yang tinggi, desa dengan populasi pekebun sawit swadaya skala kecil yang kepemilikan lahan kebun sawit kurang dari dua hektare, serta inter-relasi desa dengan kawasan perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun pabrik kelapa sawit.

Baca juga: Anak petani sawit skala kecil rentan alami kemiskinan

Pangeran mengatakan, pendapatan pekebun sawit swadaya skala kecil dari tujuh lokasi penelitian yakni sebesar Rp2,5 juta-3 juta per bulan.

Besar pendapatan tersebut tidak memenuhi standar kesejahteraan objektif yang merujuk pada Garis Kemiskinan Non Makanan berdasarkan kabupaten/kota dari setiap provinsi yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik.

Pangeran mengatakan salah satu permasalahan utama yang masih membutuhkan tindakan solutif adalah tentang implikasi rantai pasok dari kegiatan budi daya kelapa sawit pada pekebun sawit swadaya kecil terhadap pemenuhan kepentingan terbaik bagi anak.

Perkembangan perkebunan kelapa sawit dalam konteks tertentu memungkinkan kerentanan terhadap pemenuhan kepentingan terbaik bagi anak.

"Banyak anak terlibat dalam budi daya kelapa sawit dan tidak sedikit yang mengalami putus sekolah karena ketidakpastian ekonomi dari hasil budi daya kelapa sawit. Realitas tersebut dapat ditemukan hampir di seluruh lokasi penelitian," ujarnya.

Baca juga: Apkasindo : 18 juta petani sawit bergantung operasional pabrik

Di sisi lain, ia menjelaskan, sekolah dinilai sepertinya tidak lagi menjanjikan masa depan yang prospektif karena mereka sudah merasakan hasil uang dari perkebunan sawit.

"Anak terutama yang berusia antara 14-18 tahun dari keluarga pekebun sawit swadaya skala kecil diserap curahan tenaganya sebagai pekerja dalam kegiatan budi daya kelapa sawit," katanya.

Beberapa pekerjaan yang dilakukan anak seperti sebagai pemetik buah sawit, pengumpul buah sawit yang jatuh, menata keranjang angkut dan berbagai bentuk keterlibatan lainnya dalam praktik budi daya kelapa sawit.

Keterlibatan anggota keluarga termasuk anak dalam kegiatan budi daya kelapa sawit berlangsung secara masif dan intensif. Tanaman sawit menjadi basis klaim lahan bagi keberlanjutan perekonomian keluarga lintas generasi.

Keluarga pekebun sawit swadaya skala kecil dapat dikatakan memiliki kesejahteraan yang bersifat subjektif, bahwa kesejahteraan merujuk pada tingkat kepuasan yang ditetapkan sebagaimana pandangan mereka.

Baca juga: DPR ingatkan agar pengembangan D100 Katalis libatkan petani sawit

Pangeran mengatakan pihaknya merekomendasikan intervensi berbasis regulasi dan kebijakan terhadap peningkatan kesejahteraan dari budi daya kelapa sawit sebagai basis bagi penguatan kapasitas ketahanan keluarga pekebun sawit swadaya skala kecil.

Kemudian, perlunya peningkatan bauran kesadaran para pekebun sawit swadaya skala kecil dan multipihak terkait pemenuhan kepentingan terbaik bagi anak, dan pengimplementasian model perkebunan kelapa sawit rakyat yang mampu memenuhi kriteria kesejahteraan objektif sehingga tercapai kegiatan budidaya kelapa sawit yang ramah keluarga dan memerhatikan pemenuhan kepentingan terbaik bagi anak.

Dalam penelitian itu, validasi pemenuhan kepentingan terbaik bagi anak dilakukan dengan memeriksa kerentanan terpilah dari kegiatan budi daya kelapa sawit pada keluarga pekebun sawit swadaya kecil yang meliputi sembilan aspek yakni akses kesehatan dan gizi anak serta keluarga pekebun sawit, akses terhadap air bersih, sanitasi yang aman dan perilaku hidup bersih, akses terhadap layanan pendidikan, proses dan hasil pembelajaran.

Kemudian, kerentanan anak terhadap segala bentuk kekerasan di lingkungan rumah tangga dan kawasan perkebunan kelapa sawit, pelayanan dan mekanisme perlindungan hak serta partisipasi anak termasuk remaja perempuan maupun laki-laki, kerentanan anak terhadap bencana alam dan sosial maupun yang berkaitan dengan status tata ruang perkebunan kelapa sawit, akses terhadap pembagian keterampilan dan kecakapan hidup, tren usia berumah tangga serta kerentanan pelibatan hak dalam praktik perkebunan kelapa sawit.

Baca juga: Legislator: Dana BPDPKS harus jadi stimulus petani naik kelas
Baca juga: Pemerintah harus kawal penetapan harga TBS di tingkat petani


 

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2020