Jakarta (ANTARA) - Para Srikandi di dunia Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) berbagi cerita mengenai tantangan dan peluang di bidang yang didominasi lelaki, serta memberi motivasi agar kaum Hawa tertarik menggeluti dunia teknologi. 

Para praktisi bercerita tentang perjuangan mereka mendobrak batasan gender.
Pakar telekomunikasi Koesmarihati di webinar "Women for ICT: Peran Perempuan dalam Kemajuan TIK di Indonesia", Kamis (10/9/2020) (HO)


Pakar telekomunikasi Koesmarihati menuturkan pengalamannya ketika mendapatkan beasiswa kuliah Teknik Elektro di Universitas Tasmania, Australia.

Direktur Utama pertama Telkomsel ini tak menyangka diberitakan oleh surat kabar di Australia lantaran dia dan temannya dari Indonesia adalah perempuan satu-satunya juga perempuan pertama yang lulus jurusan tersebut di Universitas Tasmania.

"Saya kaget masuk koran," kata pakar telekomunikasi kelahiran 9 Oktober 1942.

Kala itu, perempuan di dunia telekomunikasi jauh lebih jarang dibandingkan sekarang. Saat bekerja di sebuah perusahaan untuk mengisi liburan musim panas, pihak perusahaan itu terkejut melihat yang datang adalah mahasiswi.

"Mereka belum pernah terima perempuan kerja di bagian engineering," kenang Koesmarihati.

Dia akhirnya diterima setelah pihak kampus menegaskan akan mengambil langkah tegas bila murid mereka tidak bisa masuk hanya gara-gara gender.

Menurut penerima penghargaan Alumni Australia oleh Kedutaan Besar Australia di Indonesia, perempuan dan laki-laki tak ada bedanya di dunia telekomunikasi yang ia geluti.

Baca juga: Bamsoet: Tingkatkan kiprah politik kaum perempuan

Baca juga: Kowani: Pandemi momentum penerapan kesetaraan gender

Meski ada tantangan, termasuk bila sudah berkeluarga, namun komitmen untuk bekerja harus senantiasa dijaga. Ketika ada kendala di rumah, carilah solusi agar kedua urusan bisa berjalan lancar.

Mendobrak batasan

Betti Alisjahbana, Ketua Dewan Profesi dan Asosiasi Masyarakat Telematika Indonesia, adalah perempuan pertama di Asia Pasifik yang menjadi Country General Manager perusahaan International Business Machines Corporation (IBM).

Presiden Direktur PT IBM Indonesia periode 2000 – 2008 mengisahkan pengalaman menarik terkait stereotipe perempuan di dunia kerja.

Ketika Betti bekerja di Singapura, dia mengajak anak-anak buahnya untuk makan siang bersama di restoran. Ketika asyik mengobrol, petugas restoran tiba-tiba memberikan hadiah kepada Betti.

"Anak buah saya bilang, 'ini bos saya, bukan sekretaris'. Rupanya, itu 'Secretary Day' di mana para bos mentraktir sekretaris," tutur Betti.

Hari Sekretaris itu juga diperingati oleh restoran tersebut yang memberikan hadiah untuk sekretaris yang makan di sana.

"Dia pikir saya sekretaris yang ditraktir atasan-atasan, padahal itu sebaliknya," dia tersenyum.

Ketika dia jadi perempuan Asia Pasifik pertama yang menjabat Country General Manager IBM, berbagai surel dari banyak perempuan di berbagai negara datang kepadanya.

Mereka memberi selamat dan ikut bersukacita karena Betti berhasil menembus "glass ceiling", batasan tak terlihat di mana perempuan sulit menjangkau jabatan tinggi.

"Pundak saya rasanya jadi berat banget," kata Betti.

Namun beban dan tantangan diubah jadi bahan bakar semangat untuk bekerja lebih keras, membuktikan perempuan laik dan bisa dipercaya jadi pimpinan organisasi.

Baca juga: KPPPA: Anak perlu dididik kesetaraan sejak dini

Baca juga: Jepang tunda target "womenomics" hingga satu dekade lagi

Mengapa perempuan enggan

Betti, kalau itu menjabat presiden direktur, diminta menganalisis mengapa partisipasi perempuan di level jabatan yang tinggi tak sebanyak lelaki.

"IBM merasa perempuan potensial, kalau IBM bisa memanfaatkan potensi yang ada di perempuan, akan bisa semakin maju," ungkap Betti.

Setelah menganalisis, dia menyimpulkan ada tiga penyebab mengapa jarang ada perempuan yang menduduki jabatan tinggi di perusahaan.

Pertama, banyak perempuan yang tidak mematok target tinggi. "Padahal, ketika punya tujuan, kita bisa mempersiapkan diri, pas ada peluang, kita sudah siap."

Kedua, ada stereotipe bahwa perempuan tidak suka diberi penugasan ke luar kota. Ada anggapan di kalangan pimpinan laki-laki yang punya maksud baik, ujar Betti, dengan tidak memberikan tugas ke luar kota kepada anak buah perempuan karena berasumsi mereka enggan melakukannya, apalagi yang punya tanggung jawab keluarga.

"Secara tidak sadar itu membatasi potensi perempuan."

Ketiga, ketika perempuan sudah berkeluarga dan memiliki buah hati, tanggung jawab sebagai ibu membuat mereka tak bisa fokus sepenuhnya kepada pekerjaan sehingga memutuskan untuk keluar.

Betti membuat program mentoring untuk perempuan-perempuan berpotensi, berdiskusi mengenai target mereka dan langkah yang bisa dilakukan agar tujuan terwujud.

Dia juga membuat diversity training, memberikan pemahaman kepada para pemimpin pentingnya keberagaman.

"Kalau ada diversity di leadership, ada sudut pandang bagus dari segala arah."

Baca juga: Versace tampilkan kesetaraan gender di pekan mode Milan

Baca juga: Hannah Al Rashid bicara soal kesetaraan gender di industri film

Regenerasi

Pengenalan dunia teknologi informasi dan komunikasi sejak dini penting untuk anak-anak perempuan. Betti menuturkan ada program EXITE (EXploring Interests in Technology & Engineering) di IBM untuk anak-anak SMA agar tertarik masuk ke dunia teknologi.

"Isinya camp 10 hari, bagaimana teknologi sangat relevan untuk perempuan, diadakan dengan cara feminin dan fun," jelas dia.

Tahun lalu, dia diundang untuk mendengarkan paparan dari salah satu co-founder perusahaan rintisan. Rupanya, orang tersebut pernah jadi peserta camp ternyata mendorong minatnya ke dunia teknologi.

"Saya merasa sangat bahagia ternyata program intervensi dari dini membuahkan hasil."

Minat yang tumbuh sejak dini menjadi penggerak motivasi Sylvia Efi Widyantari Sumarlin, Direktur Utama PT. Dama Persada, menggeluti dunia Teknologi Informasi selama 25 tahun.

Sempat mencicipi kemudahan berkat fasilitas internet ketika tinggal di luar negeri, termasuk soal kemudahan membeli barang, Sylvia tergerak untuk memperkenalkan banyak orang, Indonesia kepada internet pada pertengahan 90-an.

"Saat itu enggak mudah, dulu tidak ada internet, orang kalau ditawari jawab 'buat apa? kan ada sekretaris.'"

Pendiri D-Net, salah satu perusahaan Internet Service Provider pertama di Indonesia ini memutuskan untuk memperkenalkan internet ke anak muda yang lebih antusias mencoba hal baru.

Menurut Sylvia, peluang perempuan terjun ke dunia teknologi informasi sangat besar. Namun, perlu ketekunan dan ketabahan menghadapi perubahan yang cepat terjadi. Jika niat mudah goyah dan putus asa, tentu bakal sulit menghadapinya.

"Pas mengembangkan sesuatu, teknologi baru sudah muncul karena dinamis."

Tapi dinamisme itulah alasannya jatuh cinta kepada dunia teknologi, karena Sylvia tak diberi kesempatan untuk merasa bosan berkat adanya teknologi yang selalu baru.

Dia berharap perempuan tidak menganggap dunia teknologi informasi sebagai dunia yang rumit dan memusingkan. Dunia teknologi tidak mutlak milik lelaki. Yang dinilai di dunia tersebut bukan soal jenis kelamin, tapi kemampuan individu.

Jika memang tertarik dan ada kesempatan, segera raih dan jangan ragu.

Novi Turniawati, Kepala Balai Jaringan Informasi dan Komunikasi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, turut memberikan motivasi untuk perempuan yang ingin mengikuti jejak mereka.

"Perempuan di TIK bukan manjat tiang atau tarik kabel, perempuan juga bisa jadi programmer, duduk manis di depan laptop untuk membuat program," imbuh Novi.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Tim Pelaksana Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas), Ilham Akbar Habibie mengatakan kesetaraan gender bukan sekadar hak dan kewajiban, tapi cara mengoptimalkan bakat demi mencari solusi untuk inovasi bersama.

"Kita semua di muka bumi bersama-sama, menghadapi masalah, tantangan, peluang bersama, alangkah baik semua bekerjasama dan tidak ada hambatan ketidaksetaraan gender."

Baca juga: Media mengekalkan stereotipe bias gender, sebut pemerhati

Baca juga: KPPPA minta media berperan dalam kesetaraan gender

Baca juga: Jurnalis: Tidak ada perbedaaan gender dunia jurnalistik Indonesia

Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2020