Jakarta (ANTARA) - Indonesia adalah salah satu penghasil kakao terbesar di dunia. Terletak di wilayah iklim tropis, kondisi ini menjadikan Indonesia tempat tumbuh ideal untuk pohon kakao.

Menurut data Badan Pangan dan Pertanian PBB atau Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia adalah produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana (2017). Sedangkan menurut International Cocoa Organization (ICCO), Indonesia adalah produsen kakao terbesar kelima di dunia setelah Pantai Gading, Ghana, Ekuador dan Nigeria (2018).

Walaupun jumlah produksi kakao di Indonesia saat ini “terlihat besar”, banyak faktor yang menyebabkan mengapa jumlah produksi kakao di Indonesia ke depannya cukup mengkhawatirkan.

Cokelat adalah produk konfeksioneri yang paling popular di Indonesia dan bahkan dunia. Cokelat sangat disukai oleh konsumen milenial karena rasa, aroma, tekstur, sensasi leleh dan alir serta karakter unik lain yang dirasakan konsumen ketika cokelat dikonsumsi. Pada segmen yang berbeda, cokelat (terutama dark chocolate) sangat dicari oleh konsumennya karena efek kesehatan yang ditawarkannya. Polifenol adalah senyawa aktif pada biji kakao yang bertanggung jawab sebagai antioksidan, menjadikannya sangat digemari konsumen yang memiliki perhatian lebih terhadap kesehatan.

Sebuah ironi, walaupun bahan baku kakao sangat melimpah di Indonesia, akan tetapi konsumsi cokelat di Indonesia cukuplah rendah. Dibandingkan dengan penduduk Swiss, Jerman dan Norwegia yang mengkonsumsi cokelat pada kisaran 10 kg/tahun/orang atau penduduk Austria, Inggris, Swedia, Denmark, Finlandia dan Belgia yang mengkonsumsi cokelat sekitar 6-8 kg/perkapita/tahun, tingkat konsumsi cokelat penduduk Indonesia hanyalah sekitar 0,5 kg/tahun/orang. Oleh karena itu, edukasi tentang perlunya mengkonsumsi cokelat (misalnya issue terkait efek kesehatan, pemberdayaan petani, ketahanan dll) perlu dilakukan secara masif kepada masyarakat sehingga konsumsi cokelat dapat meningkat.

Hal ini tentu saja tidak mudah, tapi sudah banyakkah yang mencoba?

Pengelolaan lahan pohon kakao yang dilakukan oleh rakyat (lebih dari 90 persen), menyebabkan keseriusan pengelolaan kebun kakao menjadi taruhannya.

Bukan rahasia lagi jika permasalahan di hulu terkait tenaga kerja, hama, ketersediaan pupuk, usia tanaman (yang berimbas pada produktifitas), harga jual biji kakao (fermentasi dan non fermentasi), dan kualitas biji kakao yang dihasilkan petani memberikan mimpi buruk untuk keberlangsungan industri perkebunan kakao di Indonesia.

Permasalahan ini sangat terkait erat satu sama lain, sehingga penguraian masalah juga harus dilakukan serentak dari sisi teknis, sosial dan ekonomi yang mana ini tidaklah mudah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika selama satu dekade terakhir ini, permasalahan ini selalu rutin terdengar.


Baca juga: Produk cokelat Indonesia diminati Austria


Potensi hilirisasi

Jika kita mencoba menengok ke sisi hilir, tidak banyak Industri Kecil Menengah (IKM) Indonesia yang (mampu) bergerak di pengolahan kakao menjadi cokelat. Tidaklah mengherankan mengingat proses pengolahan kakao menjadi produk turunannya tidaklah mudah. Mesin pengolahan cokelat dan pengetahuan tentang pengolahan cokelat yang memadai harus dimiliki oleh IKM dan kelompok petani.

Selain itu, petani kakao kita selama ini lebih diarahkan untuk memproduksi biji kakao kering (terfermentasi). Biji ini kemudian dijual ke grinding company untuk diproses menjadi intermediate products seperti pasta kakao, lemak kakao dan bubuk kakao. Sampai titik ini (pada kondisi ideal), petani hanya mendapatkan nilai tambah biji kakao dari proses pengeringan dan fermentasi. Hanya saja, pada prosesnya di lapangan, adanya permasalahan sosial dan ekonomi menyebabkan proses fermentasipun sangat sering tidak dilakukan.

Beberapa IKM cokelat yang ada dan berhasil survive menancapkan dominasinya di Indonesia justru sebagian dimiliki oleh pemodal asing. Memang tidak ada yang salah, business is business. Hanya saja, jika IKM atau kelompok tani kakao mampu mengisi ceruk ini, tentu saja nilai tambah biji kakao yang didapatkan akan semakin naik.

Menteri Pertanian RI, Syahrul Yasin Limpo dalam paparannya pada seminar online yang diselenggarakan Fakultas Teknologi Pertanian UGM beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa agenda temporary (jangka menengah) dari strategi umum Kementerian Pertanian 2020-2024 salah satunya adalah diversifikasi olahan pangan lokal.

Dalam kaitan ini, penulis tidak menterjemahkan secara sempit makna “pangan” sebagai “pangan pokok” saja. Akan tetapi lebih luas lagi sumberdaya alam lokal lainnya, termasuk kakao yang dapat digunakan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Ketika dukungan pemerintah sudah siap, siapkah IKM dan (kelompok) petani kita untuk melakukan hal baru?

Bean to bar cokelat adalah cokelat yang dibuat menggunakan biji kakao yang secara spesifik berasal dari satu varietas atau daerah tertentu. Kekhasan dari varietas dan asal biji kakao menjadikan bean to bar cokelat sering di sebut juga sebagai single origin chocolate. Nilai tambah yang didapatkan oleh produsen bean to bar cokelat tidak hanya nilai tambah dari proses pengolahannya saja, tetapi seringkali juga berasal dari “cerita” dibalik biji yang digunakan. Saat ini, popularitas bean to bar cokelat semakin meningkat di Indonesia dan dunia.

Bean to bar cokelat sangat cocok dikembangkan pada level IKM maupun kelompok tani kakao mengingat produksi biji kakao sudah dilakukan sendiri oleh petani. Hal ini menjamin ketersediaan, keeksklusifan, kualitas, dan keterjangkauan harga biji kakao. Kondisi ini tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan produksi cokelat berbahan baku pasta kakao, bubuk kakao dan lemak kakao, dimana petani harus membelinya dari supplier atau industri bahan baku kakao setengah jadi.

Selain itu, konsep bean to bar cokelat dapat dilakukan bahkan pada skala produksi yang kecil tergantung ketersediaan biji yang ada.

Untuk menunjang konsep bean to bar cokelat, IKM atau kelompok tani dapat mengkolaborasikannya dengan atraksi lainnya, misalnya wisata alam di kebun kakao yang diikuti dengan demo tentang pengolahan cokelat. Hal ini tentu akan lebih menarik minat konsumen terhadap bean to bar cokelat. Pada proses ini, diharapkan edukasi pada masyarakat terhadap seluk beluk kakao dan cokelat juga dapat dilakukan sehingga minat masyarakat terhadap cokelat semakin baik.

Terkait dengan bean to bar cokelat. Tantangan terbesar yang dihadapi untuk memperkenalkan bean to bar cokelat adalah ketika IKM atau kelompok petani belum dikenal sama sekali oleh konsumen. Hal berbeda dialami ketika IKM atau kelompok tani sudah dikenal masyarakat. Adanya produk baru berupa bean to bar akan lebih mudah dikenal, diterima, dikunjungi dan dibeli oleh mereka. Oleh karena itu, untuk lebih meningkatkan exposure, promosi berbasis internet adalah hal yang wajib dilakukan.


Baca juga: Hari Kakao Indonesia momentum tingkatkan konsumsi cokelat lokal


Kualitas cokelat

Tidak jarang ketika penulis memberikan cokelat, kemudian penulis meminta masukan akan kualitas cokelat tersebut, jawaban yang didapatkan cenderung hampir seragam, yang intinya adalah enak dan enak banget. Tentu saja hal ini sangat menggembirakan, apalagi jika cokelat yang diberikan adalah produksi sendiri.

Namun, tahukah anda sebetulnya parameter kualitas cokelat yang terstandard itu apa saja? Faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas-kualitas tersebut? Kemudian apa pentingnya membuat cokelat dengan kualitas yang terstandard baik?

IKM atau kelompok tani harus dipahamkan akan standard cokelat yang baik. Hal ini sangat penting mengingat konsumen cokelat mereka ke depannya tidak hanya konsumen lokal (yang lebih banyak menjawab enak dan enak banget). Konsumen asing yang datang sebagai wisatawan dan pasar internasional (Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah dibuka sejak tahun 2015) memiliki ‘standard baku” yang cukup tinggi tentang kualitas cokelat.

Jika IKM dan kelompok tani kakao tidak memiliki pemahaman yang baik tentang ini, maka hampir dipastikan bahwa produk mereka akan kalah bersaing.

Cokelat yang baik dapat dinilai berdasarkan setidaknya 7 parameter kualitas, yaitu penampilan (warna dan tingkat kemengkilapan), snap (kekerasan optimal yang terbentuk ketika cokelat dipatahkan, ditandai dengan bunyi khas patahan cokelat), sifat leleh, kekasaran partikel, sifat alir, dan rasa serta aroma (flavor). Cokelat yang baik tidak bisa hanya dinilai dari satu parameter saja, misalnya aroma, tetapi harus dinilai secara komprehensif dari keseluruhan parameter kualitas tersebut.

Warna cokelat yang baik, terlepas dari jenis cokelatnya (dark, milk, white chocolate), haruslah homogen di setiap titik permukaan cokelat. Cokelat yang baik juga harus mengkilap. Permukaan cokelat yang tidak mengkilap mengindikasikan adanya kekurangsempurnaan di proses tempering. Tempering adalah suatu proses termo-mekanis yang dilakukan sebelum pencetakan cokelat dilakukan dengan tujuan untuk membentuk kristal cokelat beta V yang stabil dengan ukuran seragam. Selain itu, ketidakstabilan suhu selama penyimpanan atau transportasi yang menyebabkan kristal cokelat meleleh juga menjadi penyebabnya. Pada kondisi ketidakstabilan yang parah, bercak-bercak putih dapat muncul di permukaan cokelat akibat ketidakstabilan lemak (fat bloom) dan ketidakstabilan gula/kadar air (sugar bloom).

Ketika dipatahkan, cokelat harus memiliki snap yang bagus. Jika cokelat tidak bisa dipatahkan dan cenderung melengkung dengan tekstur cukup lembek, maka dipastikan bahwa kristal cokelat hasil proses tempering sudah mulai leleh. Kondisi ini membuat cokelat tidak stabil dan dapat mengakibatkan kualitas cokelat semakin menurun.

Pada saat cokelat diletakkan di atas lidah (bukan dikunyah), cokelat akan segera meleleh. Titik leleh cokelat yang berada pada kisaran 33-34 oC akan sangat mudah meleleh pada suhu tubuh konsumen. Cokelat yang tidak tertempering dengan baik, akan memiliki titik leleh yang lebih rendah. Setelah meleleh, ada tidaknya partikel kasar biji kakao, gula, dan susu dapat dirasakan dengan lidah. Cokelat yang baik harus memiliki kekasaran partikel yang sangat rendah (dibawah 30 mikron) sehingga ketika dikonsumsi, partikel-partikel tersebut tidak dapat dirasakan oleh lidah.

Pernahkan merasakan bahwa cokelat yang anda konsumsi lengket dilidah atau langit-langit mulut anda? Kondisi seperti ini dapat terjadi jika cokelat memiliki kekentalan (viskositas) yang tinggi. Kadar air cokelat yang cukup tinggi, jumlah lemak yang terlalu rendah dan durasi pengecilan partikel yang melebihi waktu optimalnya menjadi beberapa faktor penyebab utama.

Terakhir, setelah cokelat meleleh, rasa dan aroma (flavor) baru bisa di rasakan oleh konsumen. Cokelat yang memiliki sensasi asam, sepat dan earthy adalah cokelat dengan kualitas yang kurang baik. Bagaimanakah kualitas cokelat yang selama ini anda konsumsi?



Baca juga: Kemenperin sebut hilirisasi kakao jadi prioritas pengembangan

Baca juga: Pemerintah dorong hilirisasi industri berbasis kakao


Pengolahan cokelat

Untuk memastikan bahwa cokelat yang diproduksi memiliki kualitas yang tertsandard, dengan asumsi bahwa varietas dan penanganan pascapanen biji kakaonya sama, maka metode serta konfigurasi alat mesin dan formulasi menjadi penentu utama kualitas cokelat.

Secara konvensional, cokelat dibuat melalui beberapa tahapan, yaitu pencampuran (mixing), pengecilan ukuran (refining), conching dan tempering. Mixing adalah proses pencampuran bahan baku cokelat sehingga campuran bahan baku tersebut lebih mudah diproses pada tahap refining. Refining dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa cara, yaitu menggunakan roll refiner, ball mill atau melanger.

Proses refining bertujuan untuk menghancurkan partikel sampai ukuran kira-kira di bawah 30 mikron. Proses yang berlebih akan menyebabkan viskosistas (kekentalan) cokelat naik. Oleh karena itu, durasi yang optimum harus bisa ditentukan.

Proses conching merupakan titik kritis dalam pengolahan cokelat. Proses conching yang benar tidak hanya akan menentukan aroma cokelat. Tetapi juga sifat alir, konsistensi dan sifat tekstural cokelat. Oleh karena itu, proses ini harus dilakukan dengan cara yang benar dengan desain mesin yang tepat. Awal proses conching, lemak kakao dikondisikan pada jumlah yang seminimal mungkin (dry conching) sehingga proses penguapan air, asam, dapat dilakukan dengan maksimal karena permukaan partikel masih terbuka.

Pada kondisi seperti ini, pembentukan aroma juga lebih mudah terjadi. Tahap berikutnya, proses wet conching dilakukan bersamaan dengan penambahan sisa lemak kakao. Proses ini bertujuan untuk membentuk konsistensi, sifat alir dan sifat tekstural cokelat. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengaturan suhu dan durasi proses conching. Untuk dark chocolate, proses conching dilakukan pada suhu hingga 70-80 oC, sedangkan untuk milk chocolate harus lebih rendah lagi. Durasi proses conching sendiri ditentukan berdasarkan ketercapaikan karakteristik chocolate yang diproduksi.

Desain mesin conching yang baik harus memiliki pengaduk (blade) yang dapat berfungsi sebagai pencampur adonan dan juga pembentuk konsistensi adonan. Tipe mesin ini sangat berbeda dengan ball mill atau grinder/melanger yang difungsikan untuk melakukan proses conching. Penggunaan ball mill atau melanger tanpa proses tambahan (modifikasi) masih kurang efektif untuk menghasilkan cokelat dengan kualitas yang baik. Sayangnya, proses pengolahan cokelat menggunakan metode ini (tanpa modifikasi proses dan formulasi) masih sangat banyak digunakan di Indonesia.

Tanggal 16 September diperingati sebagai Hari Kakao Indonesia. Hari Kakao Indonesia diharapkan dapat menjadi momentum dan memberikan semangat untuk memajukan industri kakao-cokelat di Indonesia dengan kualitas yang semakin baik. Kontribusi dari setiap warga negara sangat diharapkan, walaupun hanya dengan cara membeli produk cokelat kita. Majulah kakao-cokelat Indonesia! Meningkatlah kualitasnya!

*) Dr. Arifin Dwi Saputro, STP., M.Sc adalah Dosen dan peneliti kakao-cokelat di Laboratorium Teknik Pangan dan Pascapanen
Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada


*) Studi Doktoral dilakukan di Ghent University, Belgia dengan topik desertasi: Cocoa and Chocolate Processing.

Copyright © ANTARA 2020