Semarang (ANTARA) - Analis politik dari Universitas Diponegoro Teguh Yuwono mengatakan kemenangan pasangan calon (paslon) atas kolom kosong yang tidak bergambar (kotak kosong) bergantung pada konteks dan faktor historinya dari calon tunggal.

"Misalnya, terdapat pasangan calon yang didiskualifikasi sebagai peserta pilkada yang mengakibatkan hanya terdapat satu paslon, seperti pada Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar 2018," kata Dr Drs Teguh Yuwono M Pol Admin di Semarang, Kamis.

Meski demikian, baik Teguh Yuwono maupun peneliti Perludem Mahaddhika (yang diwawancarai secara terpisah), paslon tunggal berpeluang besar memenangi pemilihan kepala daerah (pilkada).

Akan tetapi, kata Mahaddhika, tidak menutup kemungkinan paslon tunggal kalah sebagaimana terjadi pada Pilwakot Makassar 2018. Pasangan Munafri Arifuddin dan Andi Rahmatika Dewi meraih 46,77 persen, atau kalah dengan kotak kosong yang persentasenya mencapai 53,23 persen dari total suara sah.

Baca juga: Pengamat: Lawan kotak kosong bukan hal mudah

Menjawab soal korelasi tingkat kehadiran, misalnya kurang dari 20 persen dari total daftar pemilih tetap (DPT), dengan legitimasi paslon tunggal, Mahaddhika menegaskan bahwa berapa persen pun pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS), jika paslon mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari total suara sah.

Menurut dia, berapapun yang datang ke TPS, akan tetap ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih, sebagaimana diatur di dalam Pasal 54D Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Kalau secara politis, menurut Teguh Yuwono, berapa pun persentase yang hadir di dalam pemilihan umum, sepanjang pelaksanaan pemilu secara terbuka, kemudian KPU mengumumkan kepada semua rakyat bahwa mereka yang punya hak pilih mendatangi TPS, 9 Desember 2020, itu tidak masalah karena tidak ada yang ditutupi.

Baca juga: LP3ES: Calon tunggal pada pilkada jadi preseden buruk bagi demokrasi

"Demokrasi terbuka, semua bisa hadir, semua memberi suara. Soal dia tidak datang, demokrasi itu menghormati hak pilihan orang," kata alumnus Flinders University Australia ini.

Mau datang memilih atau tidak, lanjut dia, menjadi tidak penting karena nanti yang datang, misalnya DPT-nya 1.000.000 orang, kemudian yang memberikan hak suara cuma 200.000 orang maka dianggap sama dengan 100 persen.

"Jadi, siapa pun yang menang dari 200.000 itu yang menjadi kepala daerah," kata Teguh Yuwono yang juga Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip Semarang.

Baca juga: Pilkada 2020, KPU: 25 kabupaten/kota terdapat calon tunggal

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020