Faktor sosial budaya yang mempengaruhi perilaku kesehatan ibu-anak sangat kompleks
Jakarta (ANTARA) - Kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menunjukkan tantangan masyarakat dalam mengakses dan mendapatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak warga asli Papua khususnya di Provinsi Papua Barat terkait dengan faktor adat kebiasaan, kepercayaan dan faktor sosial budaya.

"Faktor sosial budaya yang mempengaruhi perilaku kesehatan ibu dan anak sangat kompleks dan terjadi di beberapa tahapan siklus hidup, di masa remaja, ibu hamil, ibu bersalin hingga ibu menyusui," kata Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Widayatun dalam acara peluncuran virtual "Buku-Buku Tantangan dan Solusi Tanah Papua dari Sisi Kependudukan" diikuti di Jakarta, Kamis.

Tantangan sosial dan budaya itu menyebabkan kurangnya akses terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan anak.

Baca juga: LIPI: Tingkatkan pelayanan dan pendidikan kesehatan di Papua

Padahal, kata Widayatun, kesehatan ibu dan anak merupakan tolok ukur yang sangat penting dalam mewujudkan generasi penerus yang berkualitas

Widayatun mengatakan di masa remaja, pernikahan usia dini atau seks pranikah cukup tinggi, yakni 44 di antara 1.000 remaja usia 15 -19 tahun melakukan pernikahan dini. Mereka menjadi orang tua tunggal karena pernikahan terkendala adat.

Padahal hamil dan melahirkan pada umur muda berisiko tinggi. Pemeriksaan kehamilan juga kurang dilakukan karena malu, kurang pengetahuan dan ketidakmampuan ekonomi. Persoalan lain kemudian muncul seperti asupan gizi kurang, anemia ibu hamil, berpotensi melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah dan kurang gizi.

Baca juga: LIPI: Pendidikan harus responsif terhadap kondisi sosial-budaya Papua

Di masa kehamilan, masalah yang dihadapi terkait penyiapan kebutuhan keluarga dan berkebun menjadi tanggung jawab perempuan. Itu menyebabkan perempuan hamil kurang mempunyai waktu memeriksakan kehamilan. Pemeriksaan kehamilan lebih memilih dan percaya ke dukun, sehingga jika ada permasalahan kehamilan menjadi sulit terdeteksi.

Di masa persalinan, ada masalah berupa pantangan membuka bagian tubuh yang dianggap pribadi di hadapan orang luar yakni petugas kesehatan, dan untuk memotong tali pusar bayi harus menunggu orang yang dituakan.

Dengan demikian, mereka cenderung meminta pertolongan kelahiran ke dukun karena petugas kesehatan dianggap sebagai orang luar, dan hal itu berpotensi memperlambat proses persalinan yang dapat berakibat fatal.

Di masa pascapersalinan, ditemukan adanya pantangan membawa bayi keluar rumah sebelum umur enam bulan, dan pantangan makanan untuk bayi dan anak. Sehingga mereka cenderung tidak/kurang melakukan pemeriksaan bayi setelah melahirkan, dan bayi kurang mendapatkan ASI eksklusif.

Baca juga: LIPI: Faktor migrasi berkontibusi terhadap kecilnya proporsi OAP

Persoalan lain adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berdampak terhadap kesehatan ifisik dan mental pada ibu dan anak. Kemudian, posisi perempuan dalam keluarga kurang mempunyai hak dalam pengambilan keputusan sehingga perempuan kurang mempunyai akses dan kontrol terhadap kesehatan diri dan anaknya.

Oleh karena itu, LIPI merekomendasikan pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota bekerja sama dengan pemangku kepentingan melakukan advokasi kepada organisasi perangkat daerah (OPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan tokoh masyarakat (agama, adat dan perempuan) tentang penundaaan usia kawin pertama, menghindari seks pranikah, pencegahan KDRT dan dampaknya terhadap kesehatan ibu dan anak.

Pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan perwakilan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di provinsi dan kabupaten melakukan kampanye tentang penundaan usia kawin pertama, menghindari seks pranikah, KDRT dan dampkanya terhadap kesehatan melalui berbagai media seperti koran, radio, TV, spanduk/poster dan media sosial.

Baca juga: LIPI dorong peningkatan pendidikan berkualitas bagi anak-anak Papua

Pemerintah provinsi, DPRD, dinas kesehatan provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dan pemangku kepentingan terkait dapat menyusun rencana tindak lanjut untuk mengatasi permasalahan terkait dengan pernikahan dini, seks pra nikah dan kekerasan terhadap perempuan.

Selain itu, juga dapat dilakukan kerja sama atau kemitraan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM), kelompok organisasi pemuda, dan organisasi keagamaan untuk melakukan pembimbingan dan pendampingan di masyarakat terkait dengan peningkatan kesehatan ibu dan anak.

Baca juga: LIPI luncurkan tiga buku hasil studi sosial demografi Papua

Baca juga: LIPI sarankan Indonesia agar belajar dari Taiwan soal wisata halal

 

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020