Ini suka duka bagaimana kita melakukan perundingan, di negara lain ada yang sampai 20 tahun. Mudah-mudahan di 2020 ini yang dengan Uni Eropa bisa selesai, setelah prosesnya 2016 lalu.
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengharapkan perundingan perjanjian perdagangan antara Republik Indonesia dengan Uni Eropa (UE) bisa selesai pada  2020, meski  hal itu tidaklah mudah.

"Ini suka duka bagaimana kita melakukan perundingan, di negara lain ada yang sampai 20 tahun. Mudah-mudahan di 2020 ini yang dengan Uni Eropa bisa selesai, setelah prosesnya 2016 lalu," kata Direktur Pemasaran Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Machmud dalam siaran pers di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, bila proses perundingan telah selesai maka dapat terlihat dengan jelas mengenai manfaat dan tindak lanjut dari perjanjian tersebut.

Baca juga: KKP sebut ekspor ikan hias ke China semakin mudah

Machmud mengakui bahwa melakukan perundingan ini bukan perkara mudah, serta butuh win-win solution karena setiap negara punya kepentingan masing-masing, sehingga bisa memakan waktu bertahun-tahun untuk mencapai kata sepakat.

Ia memaparkan, selain UE, perundingan perdagangan internasional di bidang perikanan yang tengah proses di antaranya dengan Turki, Peru, Mozambik, Maroko, dan Iran.

KKP, menurut dia, juga optimistis produk perikanan Indonesia bisa bersaing di pasar internasional meski syarat impor di negara tujuan kian ketat. Selain meningkatkan kualitas produk dan menggencarkan promosi, menjalin perundingan perdagangan internasional menjadi salah satu kiatnya.

Baca juga: Antisipasi larangan ekspor, Pengamat: tingkatkan pengawasan hulu-hilir

Machmud menjelaskan Indonesia sudah menjalin perjanjian perdagangan internasional di bidang perikanan dengan beberapa negara. Seperti Australia, Chile, dan Hong Kong.

Manfaat yang didapat dari perjanjian ini, lanjutnya, salah satunya pengurangan tarif bea masuk. Di pasar internasional, bea masuk ini dipengaruhi oleh dua komponen yaitu tarif Most Favoured Nation (MFN) dan Generalized System of Preference (GSP).

"Margin kita lima persen saja, sudah sulit bersaing dengan produk perikanan negara lain yang harganya lebih murah," terang Machmud.

Mengenai persyaratan impor di negara tujuan yang kian ketat, Machmud menyebut itu menjadi tantangan bagi pemerintah dan juga pelaku usaha perikanan di Indonesia.

Bagaimana tidak, lanjutnya, karena sebanyak dari 63.364 unit pengolahan ikan (UPI), 62.389 diantaranya (setara 98 persen) merupakan skala usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Baca juga: RI dan Komisi Ekonomi Eurasia kaji perundingan dagang masa depan

Persyaratan meliputi empat poin, yakni kualitas dan keamanan produk, keberlanjutan, sertifikasi dari pihak ketiga, dan asal usul produk serta pengolahannya.

"Dalam membina teman-teman UMKM ini perlu kerja sama antara pemerintah dan swasta, supaya apa yang dihasilkan bisa masuk pasar internasional dan berdaya saing," ujar Machmud.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020