Padang (ANTARA) - Siang itu dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Sumatera Barat yang pesertanya para ibu, sang narasumber tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang menggelitik.

"Siapa pemilik tubuh perempuan sebenarnya, perempuan itu sendiri atau orang lain?" tanya Sosiolog Universitas Andalas (Unand) Prof Afrizal kepada peserta diskusi bertemakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

Para ibu ibu peserta diskusi pun menjawab beragam ada yang menyebut masyarakat, perempuan, hingga suami.

Afrizal pun memaparkan pandangannya bahwa sebenarnya perempuan adalah pemilik tubuhnya dan ia berkuasa atas tubuhnya, akan tetapi selama ini yang menjadi persoalan banyak yang meyakini jika perempuan diberi kewenangan berkuasa atas tubuhnya maka mereka akan sembrono.

"Bodoh benar rasanya pandangan seperti itu, apakah perempuan dipandang sebodoh itu kalau diberi kemerdekaan tidak akan menjaga tubuhnya, apa harus dipaksa untuk menjaga tubuhnya," ujarnya.

Ia menjelaskan roh dari RUU PKS adalah untuk membebaskan perempuan dari kekerasan dan langkah pertama yang harus dilakukan adalah memberi pengakuan sebagai pemilik dan penjaga tubuhnya, serta berhak menentukan apa yang berlaku atas tubuhnya.

"Perempuan adalah pemilik tubuh dan pembuat keputusan atas diri dan tubuh tapi jangan diartikan liar, tidak mungkin perempuan akan telanjang di jalan kecuali orang gila, kadang asumsi kita tak percaya pada perempuan," ujarnya.

Baca juga: LPSK Dorong RUU PKS jadi prioritas pembahasan pada Prolegnas 2021

Pro kontra

RUU PKS menjadi sorotan publik sejak lama karena prosesnya yang panjang dan berlarut. Ide awal RUU ini diinisiasi oleh Komnas Perempuan pada 2012 dan baru empat tahun kemudian tepatnya pada 2016 DPR meminta naskah akademik.

DPR dan pemerintah pun sepakat memasukkan RUU tersebut dalam Prolegnas Prioritas 2016 dan pada Juni 2016, Presiden Joko Widodo menyatakan dukungan terhadap RUU PKS.

Kemudian dalam Rapat Paripurna 6 April 2017, RUU PKS disepakati sebagai inisiatif DPR. Awalnya, RUU ini akan dibahas oleh pansus di Komisi III yang membidangi hukum dan keamanan. Namun akhirnya diputuskan RUU ini ditangani oleh Komisi VIII yang membidangi agama dan sosial.

Hingga 2019 RUU PKS menjadi salah satu rancangan undang-undang yang kontroversial di publik karena sarat pro dan kontra.

Memasuki 2020 RUU PKS belum menemui titik terang karena dari sembilan fraksi yang ada hanya lima yang mendukung masuk dalam proses Prolegnas 2021.

Salah satu partai yang sejak awal tegas menolak RUU PKS adalah Partai Keadilan Sejahtera.

Dikutip dari laman www.pks.id Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwaini mengatakan mereka berkomitmen memberantas kejahatan seksual, namun pihaknya ingin ada perubahan nama RUU menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual.

"Kita butuh undang-undang yang tegas dan komprehensif yang melandaskan pada nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya bangsa bukan dengan peraturan yang ambigu dan dipersepsi kuat berangkat dari paham/ideologi liberal-sekuler yang sejatinya bertentangan dengan karakter dan jati diri bangsa Indonesia," kata Jazuli dalam keterangannya.

Jazuli merinci sejumlah norma yang mereka usulkan antara lain istilah kejahatan seksual lebih memenuhi kriteria darurat kejahatan seksual yang sedang terjadi di masyarakat, lebih tepat untuk digunakan dibandingkan dengan istilah kekerasan seksual, sehingga perlu untuk mengganti judul menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual.

Kemudian soal lingkup tindak pidana kekerasan seksual. Dengan nama RUU Penghapusan Kejahatan Seksual PKS ingin fokus RUU tidak melebar ke isu-isu di luar kejahatan seksual. Sehingga, lanjut dia, fokus hanya pada tindak kejahatan seksual, yaitu pemerkosaan, penyiksaan seksual, penyimpangan perilaku seksual, pelibatan anak dalam tindakan seksual dan inses.

Pembatasan tersebut, lanjut Jazuli, sekaligus memperjelas jenis tindak pidana dalam RUU sehingga tidak membuka tafsir bebas sebagaimana yang dikritik masyarakat luas saat ini.

Ia memberi contoh pada Pasal 12 dinyatakan Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau nonfisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan.

Menurutnya definisi tidak jelas dan bisa berekses pada tafsir sepihak dan digunakan untuk mengkriminalisasi kritik moral masyarakat atas perilaku menyimpang misalnya kritik masyarakat terhadap perilaku menyimpang LGBT.

Berikutnya pada pada Pasal 17 dinyatakan Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk menyalahgunakan kekuasaan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan.

"Definisi ini bisa ditafsirkan sepihak terhadap kearifan dalam kehidupan keluarga masyarakat beradat/budaya timur (relasi orang tua dan anak) sehingga memungkinkan seorang anak mengkriminalisasi orang tuanya yang menurut persepsinya 'memaksa' menikah. Padahal bisa jadi permintaan/harapan orang tua itu demi kebaikan anaknya," kata Jazuli.

Baca juga: Akademisi nilai RUU PKS jadi alat politik pertahankan isu pembelahan

Bantahan Komnas Perempuan

Berdasarkan data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, kasus kekerasan dan pelecehan seksual sepanjang tahun 2019 tercatat mencapai 431.471 kasus. Jumlah tersebut naik sebesar enam persen dari tahun sebelumnya, yakni 406.178 kasus.

Komnas Perempuan juga membantah pandangan yang menyatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) hanya mengadopsi prinsip-prinsip feminisme.

"RUU PKS ini mengadopsi prinsip-prinsip keadilan sehingga tidak betul kalau dikatakan hanya dari feminisme, kami mengambil dari berbagai paham," kata Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor pada webinar Bedah RUU PKS dan Urgensinya Untuk Disahkan digelar oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Pengenalan Hukum dan Politik (PHP) Universitas Andalas Padang.

Maria menjelaskan secara sederhana feminisme merupakan ide atau pemikiran untuk melawan ketidakadilan yang menimpa perempuan dan orang yang memperjuangkan disebut feminis.

"Dengan demikian orang yang menolak feminisme sama saja dengan menyetujui ketidakadilan pada perempuan berlangsung terus menerus," kata dia.

Sebagai Muslim, ia mengatakan dalam Islam perjuangan Nabi Muhammad SAW salah satunya adalah menghentikan tradisi jahiliyah seperti mengubur hidup anak perempuan, melakukan diskriminasi perempuan menjadi meninggikan harkat dan martabat perempuan.

"Tidak hanya itu di masa jahiliyah perempuan dinikahi tanpa batas dan begitu Islam hadir diatur hanya maksimal empat," ujarnya.

Ia mengatakan kalau mengacu pada prinsip-prinsip keadilan terhadap perempuan dalam Islam maka sesungguhnya Nabi Muhammad adalah feminis sejati.

"Oleh sebab itu jika ada yang mengatakan RUU PKS diadopsi dari feminisme perlu ditanyakan feminisme yang mana?," katanya.

Pada sisi lain ia melihat adanya ketidaksepahaman terhadap RUU PKS karena masyarakat cenderung menerima informasi hanya dari media sosial dibanding membaca langsung naskah akademik dan RUU.

"Sudahlah membaca hanya dari media sosial, masyarakat tidak melacak lagi sumber dari mana diviralkan pula, ini yang membuat terjadinya kesalahpahaman berantai," kata dia.

Ia mengakui masyarakat awam lebih suka membaca media sosial dan harus diakui di medsos ada orang yang senang menggoreng isu dan ditumpangi dengan kepentingan politik tertentu.

Sementara Akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Padang Feri Amsari melihat dengan tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi, RUU PKS mendesak untuk disahkan pemerintah bersama DPR.

Ia menilai selama ini kepolisian dan kejaksaan belum sepenuhnya memahami kejahatan kekerasan seksual dari sudut pandang korban sendiri.

"Pada banyak kasus kepolisian dan kejaksaan melihat korban sebagai pelaku, misalnya ada yang mempertanyakan apakah juga ikut menikmati tindakan pemerkosaan, bahkan ada juga hakim yang mempertanyakan itu di persidangan," ujarnya.

Menurutnya, sudut pandang penegak hukum seperti ini jauh tertinggal dalam penanganan kasus kekerasan seksual.

"Contoh lainnya ketika ada korban perkosaan melapor ditanyai mana buktinya, pertanyaan ini tidak relevan karena dalam kejahatan kekerasan seksual korban mencari bukti bukan tugas korban melainkan penyidik, selain itu visum dan keterangan korban juga alat bukti" katanya.

Ia sepakat aparat penegak hukum yang menangani kasus kekerasan seksual harus kursus dan mendalami kondisi kejiwaan korban hingga bagaimana menemukan alat bukti.*

Baca juga: FPKS DPR tolak RUU Ciptaker jadi UU

Baca juga: LSM: Korban kekerasan seksual harus mendapatkan keadilan

Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020