Jakarta (ANTARA) - Kementerian Dalam Negeri menilai perlunya pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Papua diatur secara asimetris atau berbeda dengan daerah-daerah lainnya sesuai dengan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Papua.

"Kita tahu kondisi Indonesia asimetris, ada wilayah perkotaan yang banyak penduduknya, ada yang kepulauan, kultur berbeda, dan sebagainya," kata Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik, Jumat.

Hal tersebut disampaikannya dalam Konferensi Nasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (KISIP) 1 bertema "Evaluasi 15 Tahun Pelaksanaan Pilkada: Capaian dan Tantangan, Catatan Kritis Kebijakan dan Tata Kelola Pelaksanaan Pilkada" yang digelar The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) secara daring.

Meski faktanya kondisi Indonesia asimetris, Akmal mengatakan regulasi pilkada yang merupakan pesta demokrasi lokal diwadahi regulasi yang sama, yakni UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada.

Baca juga: Gubernur optimistis Pilkada di Papua Barat aman
Baca juga: Menimbang Pilkada asimetris
Baca juga: Mendagri: Perlu kajian akademis evaluasi Pilkada langsung


Menurut dia, sebenarnya kondisi asimetris di Indonesia dalam pelaksanaan demokrasi sudah berjalan, misalnya dengan adanya UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.

"Ada partai lokal di Aceh, kemudian paslon perseorangan. Di Yogyakarta juga ada ruang kepala daerah ditetapkan oleh DPRD. Itu kearifan lokal masing-masing daerah," katanya.

Ia mengatakan sesungguhnya Papua juga memiliki kondisi asimetris yang tidak sama dengan provinsi-provinsi lainnya, namun putusan politik mengatur pilkada di Papua diatur secara simetris.

"Walau memang ada ruang yang mengatur kondisi asimetris di Papua, yakni penggunaan noken. Tetapi, selebihnya pendekatan simetris atau sama, mulai pencalonan, rekrutmen, tata kelolanya," katanya.

Padahal, kata dia, kondisi kearifan lokal Papua, sebagaimana diketahui memang berbeda, seperti kondisi geografis yang sangat berat dilalui dan banyaknya suku-suku.

Akmal mengatakan pemerintah, dalam hal ini Kemendagri sebenarnya telah meminta penyelenggara untuk menghadirkan kondisi asimetris dalam pelaksanaan pilkada melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).

"Politik atau nilai lokal memberikan kontribusi secara nasional. Bagaimana kondisi lokalitas justru memperkaya demokrasi di Indonesia," pungkasnya.

Sementara itu, Richard Chauvel dari Melbourne University mengatakan bahwa membahas pilkada tidak bisa terpisah dari proses pemekaran suatu daerah.

"Ada dua faktor, yakni pilkada dan pemekaran yang mentransformasi politik dan pemerintahan di Papua. Sebelumnya, Papua hanya terdiri dari satu provinsi dan 14 kabupaten/kota, sementara sekarang ada dua provinsi dan 42 kabupaten/kota," katanya.

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020