tidak menjadi justifikasi dengan cara membunuh satwa dilindungi dibenarkan
Mamuju (ANTARA) -
Ilustrasi. Penyu bersisik. (Foto ANTARA)


Koalisi Perlindungan Penyu Indonesia (KPPI) yang merupakan sebuah perkumpulan organisasi meminta pihak kepolisian di Mamuju melanjutkan proses hukum pembantaian puluhan penyu di salah satu lingkungan di Kecamatan Kalukku.

Koalisi Perlindungan Penyu Indonesia (KPPI) perkumpulan organisasi yang terdiri dari
Profauna Indonesia, Sahabat Penyu di Sulawesi Barat, Penimbangan Lestari di Bali, KPBL Raksa Bintana Batu Hiu
di Pangandaran serta Komunitas Lestari Penyu di Makassar,

Koordinator KPPI Muhamad Jayuli, dihubungi dari Mamuju, Kamis mengatakan alasan polisi menghentikan penyidikan kasus pembantaian puluhan penyu tidak tepat.

"KPPI berpendapat, alasan yang disampaikan oleh pihak kepolisian menghentikan penyidikan kasus pembantaian penyu, tidak tepat," kata Jayuli yang juga sebagai Champaign Officer pada Yayasan Penyu Indonesia.

Menurut para aktivis yang bergerak dalam upaya perlindungan penyu tersebut, penghentian penyidikan itu berpotensi menjadi citra yang buruk upaya penegakan hukum dan dapat menjadi alasan pembenaran potensi eksploitasi penyu di masa mendatang.

"Jika memang penyu terbukti mengganggu budi daya rumput laut yang dilakukan masyarakat, hal ini tidak menjadi justifikasi bahwa pengendalian dengan cara membunuh satwa dilindungi dapat dibenarkan," tuturnya.

"Sesuai Permen LHK Nomor P106 tahun 2018 menyatakan bahwa penyu adalah salah satu satwa yang terancam punah dan telah dilindungi," tambah Jayuli.

KPPI lanjut Jayuli, juga menilai bahwa langkah yang dilakukan Polresta Mamuju dengan menghentikan penyidikan, terlebih tidak berkoordinasi dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat, merupakan langkah mundur untuk penegakan hukum di Indonesia, khususnya untuk kasus perdagangan satwa liar dilindungi.

"Idealnya, kepolisian dapat melanjutkan prosesnya hingga ke pengadilan, sehingga hakim dapat memutuskan para terduga pembunuh dan pedagang daging penyu itu bersalah dan patut diberikan hukuman atau tidak," kata Jayuli.

"Jika merujuk pada undang-undang yang berlaku, yaitu UU Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAE, para pelaku pembunuhan dan perdagangan satwa dilindungi dapat dikenakan sanksi kurungan 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta.

Oleh karena itu, KPPI mendesak agar penyidikan kasus pembantaian penyu di Mamuju dapat dilanjutkan, tambahnya.

Sebelumnya, Kasat Reskrim Polresta Mamuju Ajun Komisaris Polisi Rubertus Roedjito menyatakan, pengungkapan kasus penyu itu berlangsung pada 6 Oktober 2020 sekitar pukul 17.00 WITA.

Saat itu, personel Polsek Kalukku menemukan adanya aktivitas penangkapan penyu yang dilakukan masyarakat di Lingkungan Tampalabagu, Kelurahan Sinyonyoi, Kecamatan Kalukku.

Polisi, lanjut Kasat Reskrim, kemudian melakukan koordinasi dengan pihak DKP Provinsi Sulbar dan hasil koordinasi itu kemudian berhasil diamankan lima ekor penyu yang masih hidup dan 14 karung daging penyu kering seberat 220 kilogram dalam keadaan terpotong-potong.

Baca juga: BKSDA sesalkan penghentian penyidikan pembantaian penyu di Mamuju

Baca juga: Polisi: Warga di Mamuju bantai penyu karena makan rumput laut


Polisi juga menyita satu set jaring atau pukat dan satu buah timbangan.

Dari hasil penyelidikan, kata Rubertus Roedjito, masyarakat melakukan pembunuhan terhadap penyu-penyu itu karena dianggap mengganggu mata pencaharian mereka, dimana penyu-penyu itu datang dan menyerang serta memakan rumput laut masyarakat sehingga dua kali panen mereka gagal.

Atas dasar itulah, lanjutnya, sebanyak 99 warga dari tiga RT di Lingkungan Tampalabagu, Kelurahan Sinyonyoi bersepakat menangkap penyu tersebut karena mengganggu tanaman rumput laut yang mereka budidayakan.

"Perlu diketahui bahwa 90 persen masyarakat Lingkungan Tampalabagu berprofesi sebagai petani rumput laut untuk mencari nafkah. Jadi, mereka bersepakat dan itu dituangkan dalam surat pernyataan untuk menangkap penyu-penyu itu karena mengganggu pencaharian masyarakat," kata Rubertus Roedjito.

Polresta Mamuju bersama DKP Provinsi Sulbar dan Polsek Kalukku, kata Kasat Reskrim, pada 14 Oktober 2020 telah melakukan sosialisasi untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat di Lingungkan Tampalabagu tentang penyu sebagai satwa yang dilindungi.

"Kami bersama DKP dan Polsek Kalukku sudah melakukan sosialisasi pada masyarakat bahwa perbuatan membunuh penyu dilarang karena merupakan satwa dilindungi. Dari sosialisasi itu kemudian dibuat pernyataan yang menyatakan masyarakat tidak akan mengulangi perbuatan mereka menangkap penyu," ujar Rubertus Roedjito.

Baca juga: Polisi bongkar kasus pengolahan daging penyu di Mamuju

Baca juga: 301 tukik dilepas masyarakat adat Manokwari-Papua Barat ke laut

 

Pewarta: Amirullah
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020