Emosi merupakan salah satu hal yang dimainkan para provokator, bahkan menjadi penyebab berkembangnya hoaks, radikalisme, dan terorisme di medsos.
Jakarta (ANTARA) - Pengamat media sosial (medsos) Dr. Rulli Nasrullah memandang penting mewaspadai disinformasi (penyesatan informasi) di medsos untuk memprovokasi massa.

Disinformasi tersebut, kata dosen Magister Ilmu Komunikasi di IISIP Jakarta itu, dilakukan dengan cara memotong-motong berita atau fakta yang ada, kemudian ditambahi narasi tertentu untuk diarahkan kepada tujuan tertentu.

"Untuk itu, masyarakat harus bijak dan tidak terburu-buru menelan informasi yang ada," kata Rulli Nasrullah di Jakarta, Kamis, dalam keterangan tertulis.

Baca juga: Menkominfo siap bersihkan disinformasi selama kampanye Pilkada 2020

Rulli melanjutkan, "Saya pikir memang perlu kebijaksanaan yang luar biasa untuk menyikapi realitas yang ada di medsos. Karena biasanya yang memprovokasi itu sering memotong-motong realitas yang ada, jadi tidak secara utuh informasi itu disampaikan."

Salah satu disinformasi yang kini sedang ramai adalah adalah pernyataan Presiden Prancis Emmanuel tentang Islam dan terorisme memunculkan gelombang kecaman yang luas di medsos. Bahkan, di negara-negera Islam, termasuk Indonesia, pernyataan itu memicu untuk memboikot produk Prancis dan berbagai provokasi lainnya.

Salah satu hal penting dalam menggunakan media sosial adalah emosi yang terkendali. Pasalnya, emosi merupakan salah satu hal yang dimainkan para provokator dan menjadi penyebab berkembangnya hoaks, radikalisme, dan terorisme di medsos.

Ketika melihat sebuah foto atau sebuah pernyataan, lanjut dia, jangan buru-buru langsung ditafsirkan.

"Kita tunggu dahulu, ditanyakan dahulu kepada orang yang lebih ahli sehingga kita bisa melihat konten itu sebenarnya maksudnya seperti apa. Saya melihat ini yang dimainkan oleh pihak-pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab untuk memainkan isu-isu seperti itu," kata Rulli mengingatkan kepada pengguna media sosial.

Pengalamannya selama menjadi tim literasi digital di Kominfo dan Kemdikbud, Rulli dan timnya telah banyak melakukan promosi dan diseminasi informasi. Akan tetapi, pada akhirnya itu semua kembali kepada kedewasaan masing-masing pengguna medsos.

Menurut dia, yang terkena hoaks dari disinformasi tidak hanya masyarakat biasa, tetapi juga seorang berpendidikan tinggi seperti profesor.

"Hal itu menjadi persoalan karena memang kembali kepada si penggunanya itu sendiri," katanya.

Baca juga: Presiden Jokowi berikan 10 bantahan atas disinformasi UU Cipta Kerja

Di sisi lain, menurut Rulli, media massa juga harus berperan dalam melawan informasi sesat.

Media sebagai pilar keempat demokrasi, kata dia, selain bertugas mengungkapkan kebenaran, juga harus menekan agar disinformasi, hoaks, dan berita yang misleading itu tidak sampai tersebar lebih jauh.

Selain itu, peran tokoh masyarakat juga penting untuk melawan hoaks dan provokasi di medsos.

Para tokoh masyarakat harus memperhatikan apa-apa saja yang bisa dia publikasikan, apa-apa saja yang bisa dia sampaikan, agar jangan sampai memicu gerakan-gerakan destruktif lebih lanjut yang berhubungan dengan hoaks maupun radikalisme tersebut.

"Dalam teori komunikasi juga, public figure, tokoh masyarakat sering kali menjadi seseorang yang dekat dengan masyarakat itu sendiri sehingga semua pernyataannya kerap lebih dipercaya oleh masyarakat dibandingkan dengan informasi yang disebarkan oleh media," kata Rulli.

Pewarta: M. Arief Iskandar
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020