Vaksin Sinovac yang di dalam negeri masih dalam tahap pengujian, sedangkan di luar negeri masih memasuki uji klinis tahap 3 dan belum terlihat hasilnya.
Jakarta (ANTARA) - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendukung keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang belum bisa memberikan izin penggunaan darurat atas vaksin COVID-19 sehingga membuat rencana vaksinasi tertunda.

Anggota Fraksi PKS DPR RI Kurniasih Mufidayati dalam pernyataannya di Jakarta, Rabu, menerangkan dasar penerapan dan penggunaan Emergency Use Authorisation (EUA) terhadap vaksin memerlukan prasyarat yang ketat.

Pertama, telah ditetapkan situasi kedaruratan oleh pemerintah pusat. Kedua, terdapat cukup bukti ilmiah terkait dengan aspek pengamanan, dan khasiat dari obat untuk mencegah, mendiagnosis, atau mengobati penyakit.

Ketiga, kata anggota Komisi IX DPR RI ini, memiliki mutu yang memenuhi standar yang berlaku serta dan cara pembuatan obat yang baik.

Keempat, memiliki kemanfaatan lebih besar dibanding risiko didasarkan pada kajian, data nonklinik obat untuk indikasi yang diajukan.

"Kelima, belum ada penatalaksanaan yang memadai dan disetujui untuk diagnosis," ujarnya.

Baca juga: 1,4 juta warga Kepri ditargetkan dapat vaksin mulai Februari 2021

Rencananya, vaksinasi COVID-19 di Indonesia akan dilakukan di akhir 2020. Namun, rencana tersebut tampaknya baru bisa direalisasikan di awal 2021 terkait dengan izin penggunaan darurat yang belum bisa diberikan oleh BPOM.

"Pada intinya, vaksin tersebut harus berkhasiat, aman, dan bermutu demi keselamatan warga. Itu yang jadi pegangan utama. Pada saat ini, jika melihat perkembangan pembuatan vaksin di Indonesia, baik vaksin dari luar negeri seperti Sinovac maupun dari dalam negeri vaksin merah putih, maka belum memenuhi standar dan prasyarat yang ditentukan untuk EUA," kata Mufida.

Ia mencontohkan vaksin Sinovac yang di dalam negeri masih dalam tahap pengujian, sedangkan di luar negeri masih memasuki uji klinis tahap 3 dan belum terlihat hasilnya.

"Indonesia memulai uji kinis terlambat 1 bulan dibandingkan Chili, Turki, Brasil, dan Uni Emirat Arab," terang doktor lulusan Universitas Indonesia itu.

Dari awal, lanjut dia, sudah diprediksi analisis interim melibatkan 540 subjek mungkin baru bisa Desember 2020. Bahkan, analisis lengkap mungkin pada bulan Maret 2021.

"Jadi, masyarakat justru kaget dengan berita launching vaksin November 2020 oleh Pemerintah," katanya.

Baca juga: Kemlu: Indonesia tak sulit negosiasi vaksin dengan banyak negara

Mufida mengingatkan semua pihak terkait, terutama pemerintah, agar berbicara berdasarkan perkembangan aktual dan faktual atas pengujian vaksin tersebut.

"Kami percaya bahwa jika data dan hasil pengujian tersebut telah memenuhi syarat, EUA akan dapat dikeluarkan. Jadi, saat ini kita percayakan pada pemerintah, yaitu Kementerian Kesehatan dan BPOM sebagai garda depan pengujian atas vaksin yang ada," katanya.

Jangan sampai, kata dia, memberikan angin surga kepada masyarakat tanpa berdasar hasil kajian yang telah ditetapkan.

"Pemberian vaksin adalah tindakan medis oleh tenaga medis. Jadi, ada hubungan dokter dan pasien. Kepercayaan soal efektif tidaknya suatu tindakan medis wajib berdasarkan data uji klinis. Jadi, mari kita tidak terburu-buru soal vaksin karena data hasil uji klinis belum utuh," pungkas Mufida.

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020